DI mana kekhasan sastra Bali di tengah-tengah relasi sastra yang luas? Hal ini dapat dibahas pada dikhotomi sastra yang sudah sangat konvensional dan tidak terbantah: apa kandungan sastra dan bahasa yang digunakan oleh pengarang.
Bahasa-bahasa tertentu memiliki konvensi formalisme yang kuat. Di sini bahasa memegang kendali dan para sastrawan menaruh hormat yang setinggi-tingginya. Sastrawan-satrawan pada periode yang panjang tetap sujud di bawah konvensi formalisme itu. Tapi pada kasus lain, terjadi dekonstruksi-dekonstruksi formalistik. Konvensi bahasa dirusak oleh penyair yang baru. Aturan berbahasa dalam sastra yang digubah dibuat dan dijadikan kredo. Maka karya yang lahir pun menyampaikan perubahan, minimal pada satu karya tersebut.
Konvensi bahasa Bali dalam komunikasi sudah sangat kuat dan memadai sebagai bahasa untuk memenuhi seluruh kebutuhan fungsi komunikasi. Dari ranah rumah tangga, perjudian, pertanian, hingga ritual dan komunikasi di ranah adat. Itu semua adalah puncak kebudayaan dalam ranah bahasa.
Namun demikian, ketika bahasa Bali berdampingan dengan bahasa Indonesia, maka mau tidak mau orang Bali menjadi dwibahasawan. Sejak kemerdekaan dan kurang lebih hanya dalam 45 tahun ke depan, orang Bali telah menggunakan bahasa Indonesia menjadi bahasa ibu. Ini terutama terjadi di kota-kota urban di Bali. Namun demikian, gejala atau kasus-kasus yang jumlahnya cukup banyak dalam penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu tidak hanya ada di kota tetapi hingga ke pedesaan. Terutama pada keluarga-keluarga Bali modern. Anak-anak yang lahir berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Di sini generasi tua menyesuikan diri dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tidak tumbuh kesadaran untuk mengendalikan atau mengontrol penggunaan bahasa sehingga lebih setia pada bahasa Bali ketimbang menggunakan bahasa Indonesia.
Sementara itu, pemerintah Bali melakukan resistensi bahasa dengan berbagai peraturan dan aksi nyata yang berupa gerakan menggunakan bahasa Bali, terutama di ranah-ranah pemerintahan, perekonomian modern, dan dunia pendidikan. Resistensi ini memang berjalan dan disambut dengan baik. Namun demikian, berhadapan dengan arus kuat bahasa Indonesia. Peralihan-peralihan penggunaan Bahasa dan pemilihan bahasa Indonesia secara spontan dan praktis, terjadi secara masif dalam kehidupan sehari-hari.
Hal itu menyebabkan ranah penggunaan bahasa Bali semakin terbatas. Di sekolah misalnya praktis yang dipakai adalah bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Bali ternyata tidak mampu menandingi kuatnya dominasi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ragam nonformal atau bahasa Indonesia tidak baku adalah alat komunikasi baru di hampir semua ranah kehidupan orang Bali.
Dalam dunia kesenian dan sastra pun hal ini terjadi. Namun demikian, di panggung seni pertunjukan seperti arja, topeng, barong, dan calon arang, kesetiaan pada konvensi bahasa masih sangat kuat. Hal itu terjadi karena bahasa yang sejalan dengan karakter suatu seni pertunjukan menjadi sangat terintegrasi dengan dunia pertunjukan tersebut. Maka di dalamnya konvensi bahasa Bali terjaga dan karakternya tetap hidup menjiwai seluruh komunikasi para pemain di atas panggung.
Namun demikian, konvensi bahasa Bali tidak bisa diadopsi oleh sastra Bali Anyar atau sastra modern berbahasa Bali yang pengaruhnya didapat dari sastra kolonial. Sastrawan Bali modern berkarya bentuk-bentuk sastra modern dari barat, seperti cerpen, novel, dan drama.
Gejala atau peristiwa hilangnya konvensi artistik bahasa Bali yang kaya dengan metafora dan tata kalimat yang kaya pula karena pengaruh dialek dari daerah-daerah penggunaan bahasa yang terisolasi; tidak hanya terjadi pada sastra. Hal ini juga terjadi dalam jurnalistik berbahasa Bali, pemberitaan, dan lagu pop Bali. Pada semua ranah itu, karakter bahasa Bali sama sekali semakin terancam.
Sastra Bali modern memang ditandai dengan penggunaan bahasa Bali dan huruf latin dan sejak awal adalah karya yang untuk dibaca, menjadi sastra cetak atau sastra kertas. Karena ciri modern ini, maka struktur dan aspek estetika yang dibangun di dalam sastra Bali Anyar adalah sastra Indonesia. Bahasa dalam cerpen-cerpen atau novel (terutama setelah periode Mlancaran ka Sasak atau Tresna Lebur Ajur satonden Kembang) hanyalah terjemahan dari struktur dan estetika dalam bahasa Indonesia. Ini adalah gejala yang sangat kuat dalam sastra Bali Anyar.
Kejadian ini melahirkan karya-karya sastra Bali Anyar yang sulit dibedakan dengan sastra Indonesia atau sastra asing lainnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Bali. Mungkin karena para pengarang sastra Bali Anyar terlebih dahulu mengenal konvensi bahasa dan estetika sastra Indonesia atau sastra yang dipengaruhi oleh sastra barat.
Kenyataanya para sastrawan Bali modern atau Bali Anyar itu pernah mengenyam pendidikan modern dan di sinilah mereka mendapat pengaruh sastra Indonesia. Dengan berbagai alasan pun akhirnya mereka berkarya dalam bentuk sastra Indonesia dalam bahasa Bali. Di luar kesadaran mereka, bahasa yang digunakan yakni bahasa Bali dinilai sudah dapat mewakili karakter bahasa Bali. Karena itu, karya-karya mereka terasa sangat miskin idiom bahasa Bali. Sebaliknya, banyak memasukkan gaya bahasa Indonesia dengan upaya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Bali.
Padahal mereka sejatinya menulis dalam bahasa Bali terjemahan dari bahasa Indonesia. Ini adalah tantangan estetika sastra yang semakin diabaikan karena tidak sanggup kembali menggali kedalaman dan kekayaan metafora atau idiom dalam bahasa Bali. Mereka para sastrawan Bali Anyar lebih ironis lagi karena tidak pernah mendalami sastra Bali Purwa yang sangat kaya.
Kenyataan ini memang tampaknya tidak terbendung, tetapi mau tidak mau akan menjadi model dalam sejarah sastra Bali Anyar pada masa yang akan datang dengan lahirnya generasi-generasi yang baru. Maka, sudah pada ghalibnya akan tercipta suatu konvensi sastra Bali Anyar yang baru. Mungkin bunyinya: ”sastra terjemahan”. Dan, konvensi ini telah tampak dengan sangat jelas pada ketimpangan bahasa Bali dalam sastra Bali Anyar. Konvensinya mungkin tidak berlebihan dirumuskan menjadi: sastra Bali modern adalah sastra yang ditulis dalam bahasa Bali dengan metode terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali. Mungkin pandangan ini tidak mengenakkan!
Dari aspek konvensi bahasa dan aspek formalisme (keindahan bahasa) terasa novel karya Putu Wahya Santosa ini menjadi anomali. Mungkin karena dia sendiri banyak mendalami sastra dari khazanah sastra Bali purwa yang sangat kaya tidak tertandingi, sebelum dirinya menulis sastra Bali Anyar. Bahasa novel ini masih dengan sangat kuat menyisakan persambungan karakter dengan alam bahasa Bali. Wahya Santosa dalam novel ini berdiri di atas formalisme dan karakter bahasa Bali yang pernah digunakan dalam khazanah sastra purwa. Hal itu memberi kesan kuat atau cita rasa original bahwa ini adalah novelet yang berhulu pada sastra Bali Purwa dan bukan pada sastra Indonesia.
Modal diri berupa kekayaan khazanah sastra Bali purwa yang mendalam dalam dirinya menjadikan pilihan bahasa di dalam novel ini bukan sebagai karya terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali dan di atas semua itu, bahasa dalam novel ini terasa sangat alamiah dan tidak dipaksakan untuk menjadi novelet berbahasa Bali.
Para sastrawan Bali modern tetap masih menghadapi tantangan semacam itu: memaksakan diri menulis dalam bahasa Bali dengan diri mereka tidak pernah meraup pengalaman dalam sastra Bali purwa. Hal ini memang dinilai sebagai pencapain atau perkembangan sastra Bali Anyar. Namun demikian, tahapan ini harus menjadi titik dimana para sastrawan Bali Anyar bersedia kembali memasuki dunia dan khazanah sastra Bali Purwa. Hanya dengan kesadaran itu, sastra Bali modern bersambung dengan hulunya dalam dinamika yang sangat hebat.
Atas dasar itulah, persoalan sastra Bali Anyar yang ada pada aspek bahasa sebagai firanti utama seni sastra; harus mendapat pembicaraan, sebagaimana di dalam kata pengantar ini dan inilah yang menjadi krusial sehingga fokus penulis dalam kata pengantar ini adalah aspek bahasa. Aspek isi sama sekali tidak disinggung. Di luar itu, sastra adalah soal cerita. Apapun yang ditulis dalam sastra tetap akan dilarutkan dalam bahasa atau menyatu dengan aspek-aspek formalnya.
Sampai saat ini, di tengah dinamika yang sangat kuat ini, perkembangan sastra Bali Anyar sangat menggembirakan; sastra Bali Anyar mengalami persoalan mendasarnya, yakni pada aspek bahasa. Dengan belajar kembali secara mendalam dan jauh ke dasar dunia sastra Bali Purwa, untuk membangun hulu sastra Bali Anyar dengan kesadaran kreatif yang tinggi-lah akan menjadikan sastra Bali Anyar bukan karya-karya beraroma sastra terjemahan (dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali) yang dipaksakan.
Yang perlu dicoba di luar perjalanan ke dunia sastra Bali purwa adalah para sastrawan Bali Anyar harus menggali dan memanfaatkan kekayaan dialek bahasa Bali. Karya-karya mereka harus berdasar pada bahasa Bali dialek-dialek tertentu. Sampai saat ini belum ada kesadaran sastrawan Bali Anyar yang menulis dengan menggunakan bahasa Bali dialek tertentu.
Jadi, selain dengan kembali ke dalam arkeologi sastra Bali Purwa itu, solusi dinamik yang dapat diambil oleh para pengarang Bali Anyar adalah dengan berkarya sastra Bali Anyar dengan menggunakan kekuatan dan kekayaan dialek bahasa Bali, sebagai ragam bahasa sehari-hari yang masih tetap hidup. [T]
BACA artikel lain dari penulisI WAYAN ARTIKA
.