DI ATAS MEJA PELUKIS MADE BUDHIANA
di atas meja
ada kepala- kepala berserakan
menggelinding ke berbagai arah
seperti mencari badannya
tak kutahu milik siapa
raut wajahnya menakutkan
mengejekku sambil berbisik
mengapa tak kau lepaskan saja kepalamu seperti kepala-kepala ini?
bebas menggelinding bersama kemana kau suka
ayolah
kau tanggalkan saja kepalamu di sini
bertukar kepala dengan kepala-kepala yang kau suka
kau boleh memilih
kepala-kepala itu menggelinding lagi ke segala arah
seperti bermain petak umpet
terlihat betapa riang
aku tercenung bimbang menjawab tantangan
tapi entah ada apa
tiba-tiba tanganku mulai bergerak
gemetar
kepala berputar-putar mengikuti arah jarum jam
makin lama semakin kencang
berontak ingin dilepas
aku berteriak sekuat tenaga
tapi kepalaku sudah lepas
menggelinding di atas meja
tersenyum bebas mencari kepala-kepala yang berserakan
meninggalkan tubuhku tanpa kepala
berdiri kaku
kepala-kepala yang menggelinding di atas meja
bersorak gembira
menyambut kepalaku yang baru lepas dari badan
terasa aneh permainan ini
dan aku tak mengerti
dalam kebingungan
aku mencoba mencari kepalaku sendiri
dengan meraba-raba
tapi aku tak tahu yang mana kepalaku
kuambil saja satu yang tertangkap
dan kupasangkan pada tubuhku
aku kembali menjadi manusia berkepala
sungguh asing terasa
kepala yang kukenakan tertawa sekeras-kerasnya bahkan mengejek
sekali waktu menangis sejadi-jadinya
sedih
aku tak tahu
apakah kepala yang kukenakan itu kepalaku?
aku ragu
untuk kemudian mencoba mencari-cari lagi
dimanakah kepalaku bersembunyi
di atas tumpukan buku
ada sebuah kepala
menempel di kanvas penuh warna pucat
berair mata
itukah kepalaku?
pelan -pelan kudekati
dan katanya, kaukah kepalaku?
air matanya mengalir semakin deras
sementara kepala yang kukenakan
membrontak tak mau lepas dari tubuhku
“aku ingin tetap tinggal di sini!”
permainan ini
semakin tak kumengerti
aku tanyakan pada setiap orang yang kutemui
“apakah kepala yang kukenakan ini kepalaku?”
tak ada terdengar yang menjawab
menghindar ketakutan
sambil bersembunyi dalam warna-warna tebal di kanvas
siapakah aku dengan kepala ini?
malam semakin larut
aku lelah mencari kepalaku
di kursi panjang aku duduk
tanganku meraba-raba permukaan meja
sampai akhirnya kepalaku terantuk di kanvas basah
di atas tumpukan buku
melekat keras
aku meronta-ronta
sampai kepala yang kukenakan terlepas
menggelinding berkumpul dengan kepala-kepala yang lain
dalam keletihan
tanganku meraba-raba permukaan meja menyentuh sesuatu
aku berteriak keras
kepalaku! ini kepalaku!
aku menemukan kepalaku
sungguh
aku seperti menemukan kembali bagian dari hidupku yang hilang
dalam perjalanan panjang menyusuri waktu
(denpasar, akhir nov-des‘23
sebuah puisi eksperimen).
MENIKMATI KOPI MAESTRO
setiap kali aku datang
selalu terdengar denting sendok dalam cangkir
dan itu pasti
secangkir kopi akan terhidang di atas meja
kopi panas tanpa gula
racikan sang maestro
rasa borju
di kaki lima
terasa pahit memang
tapi membawaku dalam perjalanan panjang
menikmati rasa manis
pahitnya kehidupan
berpadu dalam warna-warna kelam
di kanvas-kanvas lusuh
umah panjer, feb ‘24
SEBUAH SKETSA MADE BUDHIANA TENTANG KEPALA IKAN
ikan bakar di atas meja
bumbu pedas nasi hangat
aromanya melampaui batas penciuman
bercampur bau arak
membuat gairah menyantap semakin liar
hari ini
pesta sunyi orang lapar
makan besar tak terbendung
jangan sampai ada yang tersisa
bagi perut yang memendam dendam
aku menyantap ikan bakar di atas meja
semua terlahap habis
hanya tersisa tulang kerangka
sampai pada batas
bagian kepala
yang masih utuh
tak tersentuh
aku terhenyak
mata ikan itu
membelalak liar
berputar-putar
mencari siapa yang mengoyak tubuhnya
sungguh mengerikan
tatapan tajam
mengiris
menebar ancaman
jangan kau telan semua
sisakan kepalaku
siapa tahu nanti
dapat menggantikan
kepalamu yang terlepas
umah panjer, maret ‘24
WAJAH-WAJAH DI KANVAS
tak kutahu
wajah-wajah siapakah yang bersembunyi dalam balutan warna kelam di kanvas itu
penuh dengan kecemasan
menatap kosong
ke langit jiwa
kucari wajah yang selalu kucari
bergelayut dalam mimpi sepanjang malam
adakah diantaranya?
karena aku tahu
kecemasan itu juga milikku
yang kuperam
dalam setiap pencarian
sampai pada batas
ketidakberdayaan
diantara wajah-wajah itu sendiri
wajah-wajah muram
penuh dengan kecemasan
terbingkai
dalam kesangsian
akan hari esok
tak menjemput matahari
umah panjer, januari ‘24
UPACARA KE RUMAH IBU
anak lanang
yang semata wayang
kau tahu apa
tentang gambar rerajahan
dan aksara magis
yang ditulis di kain putih
menempel di hulu hatiku
itu bukan jimat tolak bala
seperti yang kau kenakan
saat upacara potong gigi
dengarkanlah bahasa angin
lihat kepingan mata uang perunggu
yang ditabur beras lima warna
hanya bisa dipahami oleh para balian
tanyakanlah!
pesan apa yang disampaikan para leluhur
kau kan tahu
gambar rerajahan dan aksara magis
yang ditulis di kain putih
oleh para tetua
adalah bekalku
buat jalan pulang
mencari rumah ibu
agar tak sesat
membaca arah mata angin
di persimpangan jalan
ingat itu
kau pun nanti
akan dibuatkan bekal yang sama
umah panjer, maret ‘24