“KARENA di Singaraja tidak ada bioskop, maka kami hadir sebagai ruang alternatif pemutaran film dan diskusi seputar film di Singaraja,” ujar Kardian Narayana, Direktur ProgramSingaraja Menonton.
Benar, sejak berdiri pada akhir tahun 2020, Singaraja Menonton secara konsisten menjadi platform yang menyediakan informasi seputar screening, workshop, arsip,dan festival film di Singaraja. Dengan program pemutaran film satu bulan dua kali—minggu ketiga dan keempat.
Kardian, dengan Komunitas Singaraja Menonton-nya, seakan membuat lupa para penikmat film di Singaraja bahwa di kota ini, sampai saat ini, memang tidak ada bioskop. Barangkali itulah salah satu alasan mengapa komunitas ini selalu ditunggu-tunggu para penikmat film di Singaraja untuk memutar film, baik film karya sturadara lokal maupun internasional.
Seperti malam kemarin, Jumat, 22 Maret 2024. Bertempat di Kedai Kopi Dekakiang, Komunitas Singaraja Menonton menghadirkan beberapa film pendek karya sutradara lokal Buleleng. Dengan tema Dewadi Edition, malam itu, terdapat lima film pendek yang diputar: Metuun (2019), Air Bening Bercerita (2023), Salah Jalan (2017), Cintai Aku Satu Hari Saja (2019), dan Abu-abu (2023).
Suasana pemutaran film “Dewadi Edition” | Foto: Singaraja Menonton
Setelah hujan benar-benar reda, kedai kopi sederhana di Jl. Sedap Malam, Kelurahan Banyuasri, Kecamatan Buleleng, itu mulai didatangi para pengunjung setianya. Ada yang secara khusus datang untuk menonton film, ada juga yang hanya sekadar nongkrong.
Kursi-kursi sudah tertata rapi, layar sudah terpasang, dan film diputar. Semuanya tampak asik menikmati film-film pendek karya Dewadi Wijaya, sutradara muda dari Desa Kubutambahan itu. Selama film diputar, ada yang tampak serius, ada juga yang asyik menonton sambil berbincang. Riang ketiga anak kecil yang datang menonton bersama ibunya, menambah suasana hangat pada malam hari itu.
Secara keseluruhan, selain film Meetuun dan Air Bening Bercerita, film-film pendek karya Dewadi merupakan film pendek yang mengangkat tentang isu kenakalan remaja dan pencarian identitas. Bagaimana proses pencarian jati diri dan kenakalan seorang remaja agar bisa diterima di lingkungannya sangat terlihat di film Salah Jalan.
Film itu, menceritakan seorang gadis SMA dengan latar ekonomi pas-pasan, yang ingin bergaya hidup seperti teman-temannya—memiliki hp bagus dan berpenampilan modis. Namun, hidupnya mulai berubah setelah ia mengikuti saran temannya. Tapi nahas, saran temannya tersebut, yang membawa kehancuran di hidupnya, akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri.
Ya, isu kenakalan remaja dalam dunia film Indonesia barangkali sudah banyak melahirkan sutradara-sutradara baru. Banyak film yang menggunakan ide serupa, yakni penggunaan narkoba sampai pergaulan seks bebas.
Eksploitasi kenakalan remaja merupakan suatu isu yang sangat sering terjadi yang kemudian dijadikan film. Sekadar menyebut film, Realita Cinta Dan Rock n Roll (2006), Radit dan Jani (2008), adalah film yang sangat kental dengan isu kenakalan remajanya. Maka, apa yang Dewadi tawarkan dalam film Salah Jalan sebenarnya bukan hal baru.
Menurut Dewadi, selaku sutradara dari kelima film itu, ide dari pembuatan film-filmnya merupakan sesuatu hal yang dekat dengan dirinya. Ia memperoleh ide membuat film tentang isu kenakalan remaja dari tempatnya mengajar. Ya, sebagai seorang guru, ia sering mendapat curhatan, baik dari sesama guru maupun dari siswanya sendiri.
“Saya memperoleh ide membuat film itu dari sekolah. Saya sering mendapat curhatan mengenai siswa dari guru BK ataupun dari siswa sendiri,” ujarnya sesaat setelah filmnya selesai diputar.
Ia bercerita, bahwa belajar membuat film sudah ia tekuni sejak tahun 2013 secara otodidak. Dari hasil ketekunannya dan ketertarikannya dalam dunia film tersebut, sejak tahun 2017, ia telah menghasilkan beberapa film pendek yang ia produksi bersama rekan-rekannya.
Meski begitu, tampaknya ia masih belum puas dengan film-film yang sudah dihasilkannya itu. Menurutnya, sebagai orang yang tidak mempunyai basic di bidang perfilman, ia masih sering mengalami kesulitan untuk menyampaikan ide-idenya ke dalam film yang ia buat.
“Kadang idenya bagus, tapi pas eksekusi, malah berbeda dan terasa kurang,” tutur Dewadi.
Benar, beberapa filmnya yang diputar pada malam itu juga mendapat respon yang serupa dari para penonton. Seperti misalnya, Adib—mahasiswa Fakultas Kedokteran Undiksha, itu—berpendapat jika film-film karya Dewadi tersebut merupakan film yang bernuansa tentang anak muda. Namun, ada beberapa hal yang justru tidak dimasukan si pembuat film untuk penguat di dalam cerita yang ia buat.
“Mengapa tidak dijelaskan apa alasan Kadek [tokoh disabilitas pada film Cintai Aku Satu Hari Saja] itu meninggal, dan ia mengalami sakit apa?” tanya Adib. Barangkali, sebagai mahasiswa kedokteran, pertanyaan itu penting baginya untuk segera mendapat jawaban.
Kardian Narayana dan Dewadi saat sesi diskusi film “Dewadi Edition” | Foto: Singaraja Menonton
Selain Adib, Bli Gus—sapaan akrab owner Kedai Kopi Dekakiang—tak luput memberikan tanggapannya. Menurutnya, konsep ide yang Dewadi berikan di dalam film Cintai Aku Satu Hari Saja, merupakan sesuatu yang unik. Berbeda dengan Adib yang terlihat teliti dengan penyakit yang menyebabkan Kadek meninggal, Bli Gus tampak asyik menikmati film itu secara keseluruhan.
“Film ini menarik. Karena jarang ada film yang membahas tentang bagaimana anak disabilitas mempunyai rasa cinta kepada seseorang,” katanya.
Sedangkan, menurut Kardian, film Dewadi yang berjudul Metuun, memiliki kelemahan di dalam menarasikan sebuah cerita. Ia menganggap, si pembuat film kurang bisa memanfaatkan momen-momen yang terjadi pada saat proses syuting film tersebut.
“Seharusnya, percakapan pas metuun-nya diperlihatkan. Padahal itu poin penting di film ini,” jelas Kardian.
Menurut Dewadi, ia sering mengikuti berbagai perlombaan film lokal maupun nasional. Dan, tanggapan-tanggapan dari para penonton tersebut sebenarnya sama dengan masukan dan kritik yang ia peroleh pada saat mengikuti lomba film yang pernah ia ikuti.
“Masukan teman-teman sebenarnya sama dengan masukan-masukan yang saya dapat pada saat pemutaran film maupun pas lomba-lomba kemarin,” katanya. “Tapi, saya itu pelupa, dikasih masukan sepuluh, yang ingat cuma lima,” katanya lagi sembari tertawa.
Meski begitu, sebagai seorang yang mempunyai keinginan lebih di bidang perfilman, ia mengaku bahwa masukan-masukan tersebut yang membuatnya secara konsisten melahirkan karya-karya filmnya.
“Dari masukan-masukan itu yang membuat saya akan terus berusaha membuat film-film yang lebih baik ke depannya,” katanya, dengan nada bersungguh-sungguh di depan para penonton yang hadir sebelum Kardian Narayana menutup acara pemutaran dan diskusi film malam itu.[T]
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto