LELAKI itu mengatakannya dengan logat Jawa-Madura yang khas. “Tahun 2009 saya sudah mulai budidaya bonsai,” katanya, di sebuah warung kopi di kawasan Ruang Terbuka Hijau Taman Bung Karno Singaraja, Rabu (21/3/2024) siang. Ia duduk di sebelah Ketua Panitia Pamnas Bonsai 2024, Ketut Windu Saputra.
Lelaki kelahiran tahun ’96 itu berasal dari Bondowoso, Jawa Timur. Sekira dua hari sebelum acara pameran bonsai di Taman Bung Karno dimulai, dirinya sudah datang dengan tujuh pohon yang siap dipamerkan—termasuk satu pohon kecintaan istrinya, sancang ukuran 15 cm.
Bagi orang Singaraja yang tak pernah ke mana-mana, bisa jadi Bondowoso adalah tempat yang jauh—yang tak terjangkau, yang teronggok di pulau seberang sana. Tetapi, bagi orang yang senang bepergian, jarak 213 km tentu bukan alang-rintangan. Seperti Galih Saputra, misalnya. Ia menyeberangi Selat Bali dengan riang gembira. Dan seperti menuntaskan sebuah misi, Galih pantang kembali ke tanah asal sebelum pameran selesai.
“Jangankan di Singaraja, pameran bonsai di perbatasan Malaysia saja saya datangi,” katanya membandingkan, seolah ingin menunjukkan bahwa jarak Bondowoso-Singaraja bukanlah apa-apa.
Galih seorang yang bisa dikatakan hidup dari bonsai. Di rumahnya di Bondowoso, ia membudidayakan ribuan pohon yang dikerdilkan itu. Bonsai-bonsai yang ia budidayakan sudah dikirim sampai ke belahan dunia lain, yang tak pernah ia bisa bayangkan, seperti Amerika. “Bonsai saya pernah dibeli orang Amerika. Kami kenal di Facebook,” ujarnya.
Tahun ini, di Pameran Nasional Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (Pamnas PPBI) 2024 di Ruang Terbuka Hijau Taman Bung Karno Singaraja, sebagaimana telah disinggung di atas, Galih membawa tujuh pohon untuk dipamerkan. Salah satu pohon yang ia daftarkan adalah sancang ukuran 15 cm yang bertengger di kelas mame pratama—kategori bonsai dengan ukuran tak lebih dari 15 cm.
Galih mengaku telah merawat pohon sancang itu selama lima tahun. Bonsai mame pilih tanding tersebut didapatnya dari mencangkok. Selama lima tahun, dari mulai menanam, merawat, sampai hari ini, paling ia hanya menghabiskan biaya tak lebih dari tiga juta rupiah.
Pohon sancang kerdil milik Galih menyandang gelar “best ten”. Dan tinggi sancang itu hanya seukuran dua kali panjang korek api—sangat kerdil. Tapi karena kualitasnya tidak main-main, harga pohon kerdil itu setara dengan motor 150 cc bikinan Jepang.
“Kemarin ditawar 20 juta, tapi tidak saya lepas. Kalau 30 juta saya lepas,” tutur Galih dengan logat Maduranya yang medok. Semacam ada nada kebanggan saat ia mengatakannya. Dan hingga hari ini, ia telah banyak meraup keuntungan dari budidaya bonsai—pohon yang ditanam dan dirawat hanya untuk dikerdilkan itu.
Cerita lain datang dari pembudidaya bonsai lainnya, Kadek Armayasa dari Buleleng. Armayasa sudah menggeluti dunia bonsai selama 15 tahun lamanya. Awalnya ia mendongkel di alam. Tapi sekarang sudah mengembangkan bibit dari kebunnya sendiri. Seperti Galih, ia juga mencangkok dan menyetek. “Saya buka stand di sini. Bawa bahan-bahan bonsai untuk dijual,” katanya sambil menyalakan sebatang rokok.
Armayasa berkisah, dirinya pernah mendapat hadiah sebuah rumah di Kabupaten Jembrana saat pohon bonsainya mendapat gelar juara. Itu sesuatu yang tak terbayangkan. Ia tak pernah mengira bahwa apa yang ia lakukan selama ini telah menghidupi keluarga kecilnya. “Awalnya saya membuat bonsai dari pohon loa. Kecil saja. Coba-coba waktu itu, otodidak,” katanya, dengan nada terkesan mencoba meyakinkan pendengarnya.
Armayasa memulai semuanya sejak masih memiliki satu anak. Kini ia telah memiliki lebih daripada itu. Dan semuanya, dari bekal hidup, pendidikan, ditopang dari jual-beli bonsai. Ia termasuk pembudidaya yang tekun. Tak hanya pandai menanam, Armayasa juga memprogram sekaligus merawat bonsai-bonsainya sendiri. “Saya pernah beli pohon seharga 400 ribu, saya rawat selama dua tahun, tadi sudah ada yang menawar 15 juta,” katanya. “Kami hidup dari bonsai,” sambungnya tegas.
Bonsai pohon asam yang ditawar hingga 500 juta | Foto: Dian
Di Ruang Terbuka Hijau Taman Bung Karno Singaraja, 717 pohon dari 574 peserta dari seluruh Indonesia, berderet memamerkan diri. Macam-macam pohon, seperti sancang, serut, anting putri, sianci, asam, waru, ficus, santigi, dan nama-nama lain yang sulit diingat, meliuk-liuk indah di atas pasir Malang, di dalam pot tembikar, di atas batu yang bolong. Semua pohon tak ada yang besar dan tinggi, sebagaimana aslinya di alam.
Pohon-pohon yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan seniman itu, teronggok dalam tujuh kategori yang berbeda: mame, small, prospek, prospek plus, pratama, madya, dan utama. Pameran Nasional Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (Pamnas PPBI) 2024 ini diselenggarakan bertepatan pada perayaan HUT Kota Singaraja yang ke-420 tahun.
Saat pembukaan pemeran, Selasa (19/3/2024) pagi, Penjabat (Pj) Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana menginginkan ajang pameran dan lomba bonsai di Kabupaten Buleleng menjadi agenda rutin tahunan, khususnya pada HUT Kota Singaraja—ini ucapakan khas seorang pejabat pemerintahan.
Menurut Ketua Panitia Pamnas Bonsai 2024, Ketut Windu Saputra, peserta terjauh datang dari Provinsi Lampung. Banyak juga peserta dari Pulau Jawa, seperti Bandung dan Surabaya. Dan jika berkaca dari tahun laiu, pameran di Buleleng kali ini ada peningkatan. Pada tahun 2023, pameran masih bersifat lokal. Sedangkan tahun ini sudah skala nasional.
Tetapi seharusnya memang demikian. Komunitas bonsai memang tidak hanya ada di Buleleng saja, tapi di seluruh Indonesia. “Karena komunitas kami ini tidak hanya ada di Buleleng. Buleleng hanya menjadi cabang dari Perkumpulan Penggemar Bonsai Indonesia (PPBI) yang pusatnya ada di Jakarta. Jika tidak salah, di seluruh kabupaten/kota di Indonesia ada cabangnya,” tutur Windu, lelaki berambut gimbal yang akrab dipanggil Jro itu.
Di pameran yang mengusung tema “Sudamala Bonsai” ini, yang berlangsung dari tanggal 16 hingga 24 Maret 2024, kata Windu, ada satu bonsai yang ditawar hingga 500 juta oleh salah seorang kolektor dari Jawa. “Tapi tidak dilepas!” sambung Windu tegas.
Bonsai asam jawa dengan gaya formal milik salah seorang penghobi dari Buleleng itu, sudah dirawat selama 43 tahun. Dan ini alasan orang itu tak melepasnya, dia sudah menganggap pohon asam kerdil dan tua itu seperti keluarganya sendiri—bahkan mungkin termasuk bagian dari tubuhnya sendiri. Namun sayang, siang itu sang pemilik tak ada di lokasi pameran.
Terlepas dari bahasan di atas, untuk saat ini, pohon santigi sedang banyak diminati di Bali. Para penghobi, seniman, kolektor, banyak berburu sampai ke pelosok-pelosok Sumba, Maluku, Sulawesi—tiga daerah yang terkenal dengan kualitas pohon santiginya. Santigi, dalam dunia perbonsaian, dianggap sebagai pohon yang lengkap.
Tumbuhan dengan nama latin Phempis Accidula itu memiliki gerak dasar atau liukan yang indah—kadang ekstrem. Karakternya yang khas, unsur tuanya yang mencolok, menjadikan santigi sebagai primadona—walaupun bukan satu-satunya pohon yang mempesona.
“Saya akui, santigi memang pohon yang berkelas. Semua kriteria bonsai, ada pada dirinya. Daunya yang kecil, kulitnya yang terkesan tua, liukannya, semuanya dimiliki santigi,” ujar Windu sambil mengikat rambutnya yang gimbang sepaha.
Dalam dunia perbonsaian di Indonesia, diakui atau tidak, Bali, khususnya Gianyar, masih menjadi wilayah yang diperhitungkan. Di Gianyar, para kolektor, seniman, pemula, tumbuh berjibun seperti gulma di musim penghujan.
Orang-orang di Gianyar memperlakukan bonsai seperti emas batangan. Mereka membiayai perawatannya sebagaimana menyekolahkan anak-anaknya. Dan bagi para penghobi, pameran di Gianyar merupakan ujian yang berat—beberapa orang bahkan merasa ngeri, saking ketatnya persaingan.
“Sejak pandemi, peminat bonsai di Bali semakin banyak,” kata Windu. Hal ini membuktikan bahwa seni kuno membentuk pohon yang berasal dari Jepang ini masih eksis hingga hari ini.
Hari ini, di Bali, sebagaimana dikatakan Windu di atas, perkembangan bonsai semakin pesat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Peminat bonsai semakin banyak. Pohon-pohon baru diproduksi, tidak setiap tahun atau bulan, tapi setiap hari. Hal tersebut didukung dengan teknologi audio visual yang semakin melesat. Media sosial menjadi medium yang efektif untuk bertransaksi jual-beli bonsai.
Sebagaimana Galih dan Armayasa, yang memanfaatkan aplikasi yang merubah wajah dunia itu sebagai media jualan, ratusan orang, bahkan mungkin ribuan orang lainnya, juga melakukannya—dan sama-sama berharap bisa bernasib seperti Galih atau Armayasa.
Media sosial adalah penemuan penting abad ini—walaupun tetap tak terlepas dari sisi negatifnya. Selain melenakan, aplikasi tersebut juga banyak membawa keberkahan. Buktinya, bonsai Galih bisa sampai Amerika karenanya.[T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana