SAYA tidak pernah paham dengan sentimen ‘tanah air’. Bagi saya, idiom you can take the person out of their home, but you can’t take their home out of their person terdengar sangat…fantastis. Saya pribadi tidak rela disematkan identitas primordial—aneh rasanya untuk membanggakan yang terberi tanpa perlu meraih apa-apa. Muasal dan kebanggaannya saya pandang dengan begitu sinis. Toh, hidup saya seumur-umur berada di simpang jalan dan terminal.
Saya perantau, maka saya kudunya memahami para perantau. Sialnya, saya selalu menemukan sweet spot untuk betah dengan cepat jika diharuskan berpindah. Saya sudah lama tidak mengalami homesick atau rindu kampung halaman karena bagaimana pun, saya sudah lanjur menggali semayam bernama home sendiri. Saya toh paham, keadaanlah yang merentangkan jarak para perantau ini. Mencerabutnya dari zona nyaman hingga didera sawan bernama ‘kangen rumah’.
Agar adil, mari kita kulik terlebih dahulu, apa itu ‘rumah’ atau ‘kampung halaman’. Bahasa Inggris menyebutnya hometown, dengan ditabur sedikit patriotisme ia mekar menjadi homeland. Menalar homeland adalah penalaran berlapis makna dan terikat konteks yang luar biasa subyektif. Homeland menjadi konsep asali untuk mengenali dan mengenangi diri sendiri dalam wujudnya yang bermatra jamak. Merenungi homeland adalah merenungi keruangan yang tidak terbantahkan dalam menjelaskan apa dan siapa diri kita.
Bahasa Indonesia punya makna-makna alternatif atas apa yang dinalar sebagai homeland. Kita telah kenali makna awam homeland sebagai apa yang kita sebut ‘tanah air’. Bila mengulik penalaran keruangan, homeland tidak lain dan tidak bukan adalah ‘kampung halaman’. Dalam konteks geografi, homeland juga dapat berarti ‘nusa bangsa’. Semangat juang memaknainya lain lagi, homeland adalah ‘tanah tumpah darah’. Jika disejajarkan dengan sentimen identitas, kesejarahan (bahasa), dan gender, maka homeland dapat dipertukarkan dengan motherland, mengandung arti ‘ibu pertiwi’.[1]
Agung, ya? Sepertinya yang terberi menyematkan keagungan pada insan-insan yang lahir tanpa punya apa-apa. Maka, digenggamnya identitas erat-erat. Meletus konflik karenanya—karena ada dorongan untuk menegakkan panji atas siapa diri kita di dunia. Mula dari warna kulit hingga cara berpakaian, dari ruang-ruang bersifat natural hingga demarkasi tipu-tipu—selalu ada peluang untuk meneriakkan bahwa darah dan tumpahnya adalah demi ‘rumah’.[2]
Setiap peradaban adalah hikayat perjuangan kelas.[3] Peradaban—dan kelas masyarakat sebagai ‘perumahan’ adalah akibat dari konflik jatuh bangun antara si kecil dan si besar. Dalam bentuk paling purbanya, adalah ‘gesekan’ atau ‘penaklukan’ manusia atas alam. Selain arena sosial, karena wujud manusia yang fisik, ia juga menjadi arena spasial. ‘Kampung halaman’ tidak pernah terberi dengan tiba-tiba. Setiap panji, setiap bangsa, adalah hasil upaya para pendahulu. Apakah tegak dengan damai atau darah—itulah mengapa, sebagian maknanya menjadi ‘tanah tumpah darah’.
Datanglah masa-masa damai. Tanpa agresi, tidak ada alasan untuk mengangkat panji tinggi-tinggi. Tanah kampung menjadi klaustrofobik. Maka, manusia melanglang buana. Ia kemudian menemui hal lain dan yang-liyan. Ia ingin membaur, namun ia curiga dan dicurigai. Ia angkat panjinya yang menganggur jauh dari tlatah rumah. Ia kemudian disematkan padanya identitas asalinya.
Begitulah, ‘rumah’ kemudian menjadi suar. Agar yang-lain mendekati dirinya dengan prasangka baik-buruk dan mengukurnya. Agar yang-lain dapat berdiri menyalaminya dan menyelaminya. Agar yang-lain tidak gegas menjadi yang-liyan dan lekas berkawan.[4] Manusia tidak mampu melihat manusia sebagai satu karena tlatahnya yang dirasa menyempit di kepala.
Temuilah manusia itu rekannya dari rumah yang sama. Kebanggaan meluap, hendak bertanya apa kabar kampungnya. Di lidahnya mencecap, berkalang waktu dia jauh dari rumah, pun tak terkikis identitasnya sebagai warga rumahnya. Keberjarakan menjadi amplifikasi. Keberjarakan spasial menggandakan keakraban afektifnya; mendaulat diri sebagai warga rumahnya penuh waktu. Di kepalanya, realitas lain terbayangkan dan merumah karena pengalaman.[5]
Asyik meromantisir, manusia menggambar rumah dalam sebuah karikatur. Sebagian bahasa dan hikayat meletakkannya sebagai ibu, banyak lainnya—notabene karena kekasarannya—meletakkan sebagai ayah.[6] Hampar luas kemudian dilihat manusia tidak lebih dari bawah pusarnya sendiri. Narsisisme yang, hampir-hampir, meletakkan kampung halaman lebih dekat dengan nafsu dan nafas sendiri. Daya teluhnya kemudian mengukuhkan ‘tanah tumpah darah’ mengalir via jantung yang sama—menjadikan panji-panji kemudian semakin runcing dan hubungan manusia-manusia semakin runyam.
Sampai di sini, homeland menjadi sesuatu yang kisut. Lebih mudah menalarnya sebagai agonisme cangkang dan antagonisme benda asing yang memaksa masuk. Iritasi yang disebabkan benturan tersebut hanya akan lebih masuk akal dipahami dalam konteksnya yang ekonomi politik. Penjajahan dan opresi pertama-tama adalah soal sumberdaya—kemudian, (melalui) penguasaan atas satu atau lainnya.
Saya tidak sedang menyinggung mereka yang membela rumahnya dari serbuan penjajah. Saya juga benci mereka-mereka yang tetap memutuskan memakai sepatu mereka yang kotor ke ruang tamu tanpa dipersilakan dan malah berkalang kekerasan. Untuk urusan itu, unjuk panji adalah bukan kerja-kerja meliyankan melainkan bela diri. Toh manusia-manusia najis yang merangsek masuk sembarangan ini yang malah menganggap manusia lainnya liyan dan sampiran.
Dalam kekerasan, harapan mekar dibasuh perlawanan. Perlawanan kemudian diselimur sentimen identitas. Sentimen tersebut, kemudian dijalin dengan ingatan dan waktu. Susan Abulhawa membayangkan tentang masa lalu dan masa depan rumahnya di Palestina adalah wilayah dengan agama dan budaya jamak.[7] Latar metropolitan adalah imajinasi pamungkas tentang tanah berlanda konflik seperti Palestina. ‘Tanah tumpah darah’ menjelma belanga-belanga yang menampung mimpi-mimpi metropolitan para penyintasnya.
Bunga-bunga budaya yang mekar dalam perlintasan manusia adalah akibat kehendak yang luar biasa manusiawi. Dalam hiruk-pikuk dan perjalinannya, tanah air dan rumah menjelma dalam kepala orang-orang. Identitas bergeser karena ruang-ruang yang menyempit akibat semakin banyaknya manusia. Identitas kemudian menjadi sesuatu yang lapang dan carut-marut. Kampung halaman dalam kota, adalah kenangan dan lakon di mana sejarah bekerja terus-menerus untuk mencatat jadinya tlatah—tanpa pernah final kemenjadiannya.
Dalam jiwa-jiwa kelana, rumah kemudian adalah kemenjadian terus menerus, di dalam manusianya sebagaimana di atas tanah-tanahnya. Lazim dimaknai bahwa kampung halaman tidak melulu merujuk pada wilayah administratif. Sah belaka, bahwa kampung halaman adalah sudut dan kelokan jalan yang dikenali—membumikan diri dari kebanggaan panji-panji yang dimaknai sebatas awang dan kejumawaan.
Baiklah, saya mulai memahami sentimennya. Lahirlah kita sekalian. Lahirlah saya selembar daun dari pohon kampung halamannya. Pohon yang berkalang tahun meranggas, tumbuh, tersambar, tebang, terbakar, dan berlubang sarang. Lahirlah kita selembar daun, dan dengan tangkainya mengalir air dari cabang, batang, akar, kemudian parasit, jamur, tanah, dan kembali ke badan air. Saya sintas karenanya.
Saya kini paham tabiat tanah air, saya kini mengerti sifat kampung halaman—saya kini paham mengapa rumah bersemayam di jiwa-jiwa. [T]
[1] Urusan ini dijabarkan dengan cantik oleh Wikipedia sendiri https://en.wikipedia.org/wiki/Homeland
[2] Fukuyama, Francis (2018). “Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment”. Farrar, Straus and Giroux
[3] Marx, Karl dan Engels, Friedrich. 1818-1883. “The Communist Manifesto”. London
[4] Webber, Jonathan (2019). “Against type: what existentialist philosophy reveals about prejudices”. Aeon.
[5] Anderson, Benedict. (2016). “Imagined communities”. Verso Books.
[6] Luar biasa seram bagaimana patriarki begitu prevalent dalam konotasi soal ‘tanah air’ ini, James, Caroline (May 2015). “Identity Crisis: Motherland or Fatherland?”. Oxford Dictionaries. Oxford University Press. Tahukah kamu bahwa patriotisme bersepupu akar kata dengan father?
[7] Abulhawa, Susan (2014). “We Have Only Ourselves and People of Conscience to Effectuate Our Own Liberation”. Middle East Eye, Edisi Musim Panas 2014. Diterbitkan ulang oleh Literary Hub, May 16 2018.
BACA esai lain dari penulis HAMZAH