BICARA ogoh-ogoh pada hari-hari menjelang Nyepi, sepertinya banyak orang lebih fokus membicarakan kehebatan bentuk dan rupa ogoh-ogoh di Denpasar dan Gianyar, lengkap perangkat mesin, dengan nama-nama seniman muda yang hebat dan populer bak artis ibukota. Jarang orang menyebut-nyebut nama Buleleng, apalagi menyebut nama-nama seniman muda di balik pembuatan ogoh-ogoh di Bali utara.
Tradisi membuat dan mengarak ogoh-ogoh saat Hari Pengerupukan di Buleleng memang datang belakangan. Di wilayah Bali bagian selatan, ogoh-ogoh sudah muncul, ramai dan heboh, pada sekitaran tahun 1980-an. Sedangkan di Buleleng tradisi itu baru benar-benar memasyarakat secara luas pada sekitaran tahun 2000-an. Namun begitu, semangat pemuda dan seniman Buleleng untuk mengejar kehebohan teman-temannya di Bali selatan, secara kuantitas maupun kualitas, terus dipompa. Ogoh-ogoh di Buleleng, baik di desa maupun di kota, juga tak pernah sepi.
Selain jumlah ogoh-ogoh terus bertambah setiap tahun, kualitas dalam bentuk, rupa, estetika, dan lain-lain, pun meningkat dari tahun ke tahun. Hingga, pada tahun 2024 ini, pada perayaan menyambut Hari Nyepi Tahun Saka 1946, muncul sejumlah ogoh-ogoh yang cukup mengundang perhatian, dan bisa dikata unggul secara kualitas. Salah satunya adalah ogoh-ogoh dari Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan.
Ogoh-ogoh di Desa Bengkala diberi nama Bhuta Kala Pengulun, yakni bhuta kala yang menjaga area Pura Dalem. Dari segi bentuk, rupa, dan keselarasan anatomi, ogoh-ogoh ini bisa dibilang punya kualitas jauh di atas rata-rata.
Pembuat ogoh-ogoh di Desa Bengkala itu adalah seniman muda, yang meski namanya belum setenar seniman ogoh-ogoh di Denpasar, tapi ia punya akal dan kreatifitas, tentu juga punya semangat tinggi untuk berkarya, dalam kondisi sedikit modal dan minim sarana. Ia menciptakan ogoh-ogoh berkualitas dengan biaya yang amat rendah.
Seniman itu, Komang Juni Pariawan. Ia memang pemuda asli Desa Bengkala. Ia adalah tamatan S1 Pendidikan Seni Rupa, Undiksha Singaraja, yang saat ini menjadi guru seni rupa di SMPN 2 Kubutambahan.
“Ogoh-ogoh ini saya kerjakan bersama anak-anak didik saya di SMP,” kata Juni Pariawan memulai cerita tentang ogoh-ogoh yang dibuatnya itu.
Ogoh-ogoh itu mereka kerjakan selama kurang lebih sebulan dan sempat berkali-kali terhenti karena kesibukan Juni sebagai guru. Namun, dengan semangat yang terus membara, ogoh-ogoh Bhuta Kala Pengulun itu pun selesai.
Komang Juni Pariawan | Foto: Dok. pribadi
Ogoh itu sempat diikutkan dalam lomba ogoh-ogoh yang diadakan Komunitas Bli Braya dan diarak keliling Desa Bengkala pada saat Hari Pengerupukan, Minggu, 10 Maret 2024.
“Proses pengerjaan ogoh-ogoh ini cukup menguras isi kepala,” kata Juni Pariawan.
Selain karena biaya yang tersedia sangat minim untuk ukuran ogoh-ogoh besar, Juni juga dihadapkan pada alat-alat dan fasilitas pengerjaan yang tergolong sederhana dan seadanya. Rangka yang digunakan untuk ogoh-ogoh itu sepenuhnya menggunakan bahan kayu, dan hanya beberapa saja menggunakan besi ulir seperti pada bagian pembuatan jempol di tangan ogoh-ogoh. Bambu dicari sendiri dan dibelah sendiri secara manual.
“Sejujurnya, dari awal tidak ada ekspektasi bisa memaksimalkan karya ogoh-ogoh ini,” kata Juni.
Proses pembuatan ogoh-ogoh karya Juni Pariawan di Desa Bengkala, Buleleng | Foto: Dok, pribadi
Dana yang tersedia pada awalnya hanya 2 juta rupiah. Dari modal sekecil itu Juni berpikir terus, darimana lagi bisa mendapatkan uang untuk menyelesaikan ogoh-ogoh yang telanjur dikerjakan dengan serius itu. Akhirnya ia bersama anak-anak meminta sumbangan sukarela kepada warga saat sembahyang pada Hari Raya Galungan. Sumbangan terkumpul 600 ribu rupiah.
Dana sebesar itu tentu saja belum cukup. Juni akhirnya memutuskan menyumbangkan sendiri uang yang didapatkan dari hasil orderan membuatkan ogoh-ogoh untuk orang lain. Sehingga dana yang terkumpulkan secara keseluruhan mencapai sekitar 4 juta rupiah. Tentu dana sekecil itu tidak cukup untuk membuat ogoh-ogoh dalam ukuran besar. Namun Juni punya akal.
“Saya ajak anak-anak di SMP tempat saya mengajar untuk diajak ikut mengerjakan ogoh-ogoh itu, sekalian belajar juga,” katanya.
Dengan dana yang kecil, Juni Pariawan terus memutar akal agar ogoh-ogoh bisa selesai dengan hasil karya yang tak mengecewakan.
“Saya terus berusaha dan belajar bagaimana caranya dengan dana sekian bisa memaksimalkan sebuah karya dan semoga apa yang sudah saya lakukan berbuah positif terhadap generasi-generasi mendatang terutama anak-anak yang sudah ikut bekerja untuk menciptakan karya ogoh-ogoh ini,” ujar Juni Pariawan.
Dalam proses berkarya, Juni tampaknya memang lebih mengutamakan manfaat dan makna-makna, serta nilai-nilai pengetahuan, ketimbang menciptakan nilai fisik secara kuantitas.
“Kami tetap menciptakan karya seni yang indah sekaligus belajar ikhlas dan tanpa pamrih untuk sebuah karya seni, budaya dan tradisi,” ujarnya dengan tegas.
Tapel ogoh-ogoh karya Juni Pariawan | Foto: Dok. Pribadi
Meski masih tergolong muda, Juni Pariawan memiliki proses dan pengalaman yang cukup panjang di bidang seni rupa. Ia sudah bergelut dengan bidang seni rupa sejak masih duduk di bangku SD.
“Sama seperti sama halnya dengan anak kecil pada umumnya, saya suka menggambar,” kata Juni yang lahir di Desa Bengkala, 26 Juni 1996, itu.
Saat SD ia sempat mewakili sekolah dalam lomba menggambar di tingkat gugus serta kecamatan. Bakat seninya terus berkembang, dan setamat SMA ia melanjutkan pada program pendidikan seni rupa di Unduksha.
Belakangan ini, selain tetap disiplin mengajar di sekolah, ia terus menekuni karya seni ogoh-ogoh, entah ogoh-ogoh besar maupun ogoh-ogoh mini, terutama tapel atau kepala ogoh-ogoh. Ia ikut aktif dalam banyak event dan lomba tapel ogoh, misalnya yang sering diadakan di areal Garuda Wisnu Kenaca (GWK).
Kesukaannya pada pembuatan karya ogoh-ogoh dilatari juga oleh pendidikan yang ditempuhnya di Undiksha. Pada saat masih kuliah, ia mengambil keahlian konsentrasi seni patung dan sempat berpameran di galeri kampus bawah Undiksha. Selain itu, ia juga pernah berpameran di Galeri Monkey Forest di Ubud, serta di Kulidan Space di Gianyar. Saat ini ia juga mengikuti pameran tapel ogoh-ogoh di GWK.
“Pada saat itu saya memamerkan hasil kerja tugas akhir (TA), yakni patung yang terbuat dari sabut kelapa,” katanya.
Juni memang tertarik membuat ogoh-ogoh sejak masih kelas 1 SD. Saat itu ia sering membuat ogoh-ogoh dari sabut kelapa dan botol bekas air mineral. Saking tertariknya pada proses pengerjaan ogoh-ogoh. Ia selalu minta diantar kakaknya ke balai banjar untuk melihat sekaa teruna membuat ogoh-ogoh.
“Lambat laun, saat Hari Pengrupukan ketika saya remaja, saya mencoba membuat ogoh-ogoh yang ukurannya besar bersama teman-teman sebaya,” kata Juni.
Ogoh-ogoh yang dibuat saat remaja itu tentu saja hanya sekadar saja, karena Juni bersama teman-temannya masih sekolah dan belum memiliki cukup uang. Namun, setelah pengalaman pertama itu, ia bersama teman-temannya secara rutin membuat ogoh-ogoh pada setiap perayaan Nyepi, dengan modal rata-rata 150 ribu sampai 300 ribu rupiahj.
“Dari proses itulah saya sangat tertarik sekali dengan dunia seni tiga dimensi khususnya ogoh-ogoh serta patung,” katanya.
Dari keluarga, kata Juni, tidak ada satupun yang memiliki darah dan bakat di bidang seni rupa. Namun, bakatnya di bidang pembuatan ogoh-ogoh terus mengundang perhatian orang. Selain membuat ogoh-ogoh untuk dadia atau banjar, ia juga terbiasa menerima pesanan ogoh-ogoh untuk orang lain. Sering juga ia menerima pesanan kepala ogoh-ogoh, baik dengan bahan ulatan bambu, maupun dari bahan styrofoam.
Bicara soal dunia seni ogoh-ogoh di Buleleng, Juni mengatakan ia selalu berdoa semoga seni di Buleleng bisa dihargai sebanding dengan karya seni lain dari daerah lain, dan semoga memiliki tempat di hati masyarakat.
Ogoh-ogoh Bhuta Kala Pengulun karya Juni Pariawan | Foto: Dok. pribadi
“Seni di Buleleng sangat minim apresiasi dibandingkan dengan di daerah Bali selatan, dan untuk seni di bidang ogoh-ogoh, khususnya untuk di Buleleng semoga semakin berkembang dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah setempat, misalnya dengan memberikan bantuan pembinaan atau dengan diadakannya lomba ogoh-ogoh yang cukup serius,” kata Juni Pariawan dengan nada suara serius. [T]
Reporter/Penulis: Adnyana Ole
Editor: Wayan Sumatika