KENAIKAN beras yang melambung tinggi membuat masyarakat kecil resah. Ironisnya kenaikan harga beras terjadi setelah perhelatan politik. Masyarakat menduga, kelangkaan beras dan tingginya harga beras kemungkinan diakibatkan penyaluran bansos yang jor-joran jelang pemilu. Masyarakat bertanya-tanya mengapa tidak ada bansos bagi-bagi beras lagi.
Presiden memberikan klarifikasi bahwa kenaikan harga beras diakibatkan oleh cuaca ekstrem sekaligus adanya badai El Nino itu menyebabkan kesuburan lahan menjadi terganggu. Akibatnya, para petani banyak yang mengalami gagal panen. Secara tidak langsung, hal tersebut memicu kelangkaan pangan sehingga menyebabkan harga pangan naik di pasaran. Masyarakat sebenarnya tidak butuh penjelasan seperti ini. Hal ini merupakan bentuk penyederhanaan logika berpikir tentang kenaikan harga beras.
Logika berpikirnya yang lebih berterima adalah mengapa pemerintah tidak mengantisipasi hal seperti ini. Ketika kenaikan harga beras pada akhir tahun 2023, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyarankan makanan mengonsumsi makanan pokok non-beras, seperti ubi dan sorgum, untuk menyiasati kenaikan harga beras. Bahkan, wakil presiden menyarankan makan tiga buah pisang untuk mengganjal perut lapar.
Himbauan itu memang logis, karena ubi,sorgum, dan pisang dapat membuat perut kenyang. Logika dimaknai sebagai jalan pikiran yang masuk akal. Berpikir logis adalah suatu proses berpikir dengan menghubung-hubungkan data atau fakta sampai pada suatu simpulan. Dengan demikian, logika dalam berbahasa berarti penggunaan logika di dalam menyampaikan hasil pemikiran yang dituangkan dalam bahasa.
Apabila logika berbahasa seperti itu terus dipertahankan oleh pejabat, tentu hal itu tidak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh rakyat kecil. Penyederhanaan logika berbahasa seperti itu hanya untuk mencari pembenar bahwa harga beras tidak saja mengalami kenaikan di Indonesia tetapi juga terjasi di negara lain.
Rakyat memang bisa makan ubi tetapi apakah masyarakat terbiasa makan sorgum? Masyarakat yang sudah terbiasa mengkonsumsi beras tetapi masyarakat disarankan makam ubi, sorgum, dan bahkan pisang setiap hari, dan bahkan bisa berbulan-bulan tentu pemikiran seperti itu tidak logis.
Dikhawatirkan, penyederhanaan berpikir para pejabat tentang kenaikan harga beras pada akhir 2023 akan terjadi lagi. Pemerintah hendaknya tidak sibuk mencari berbagai alasan sebagai pembenar tentang kenaikan harga beras. Masyarakat tentu berharap harga beras kembali normal sehingga kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi.
Alasan yang disampaikan oleh pemerintah penyebab kenaikan harga beras memang logis tetapi itu merupakan bentuk penyederhanaan berpikir. Implikasi yang terkandung dalam cara berpikir seperti itu adalah bentuk “lempar tanggung jawab pemerintah”.
Logika berpikir seperti itu seolah-olah pemerintah tidak berusaha untuk mengatasi kenaikan harga beras yang begitu fantastis. Diyakini masyarakat kenaikan harga kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan jelang bulan Ramadhan. Akankah pemerintah berdalih lagi? [T]