KALAU ada orang yang mengatakan bahwa dirinya muak dengan pemilu, saya yakin, Grudug akan mengikuti orang itu. Muak ini sudah lebih dari apa yang Grudug bayangkan sebelumnya. Kini, ia sudah sampai pada level pusing, dan ingin muntah-muntah. Ya, di satu sisi Grudug sesungguhnya ingin berterima kasih pada pemilu, karena berkat pemilu ia mengurangi konsumsi sosmed, tapi di sisi lain, ia harus melewati segala halangan-rintangan untuk mengubah kebiasaannya.
Saya ingin menceritakan hal buruk Grudug pada saudara. Jadi begini: Grudug sesungguhnya belum lama ini tamat kuliah, jadi kebiasaan kuliah masih ia bawa, dan menanggalkan kebiasaan itu baginya seperti ular mengelupas daging. Setiap bangun tidur, bayangan idealnya adalah mematikan alarm, membersihkan kamar, lalu mandi dan sikat gigi, kemudian bekerja bagai kuda.
Ah… Grudug… Grudug… bayangan muluk-muluk itu berulang setiap hari dan gagal setiap ia coba. Pada kenyataannya, begini yang terjadi: bangun karena alarm, lalu mematikannya. Sembari mengusap-usap mata, ia meregangkan badan seperti beruang yang baru bangkit dari hibernasi lalu membuka ig lalu membuka fb yang isinya sama saja. Semua tentang pemilu, tentang caleg, tentang capres!
Algoritma itu memang kejam, Ferguso. Sekali terpikat, maka postingan sejenis akan datang seperti Jelangkung. Mereka menyerang kita seolah-olah kita adalah samsak paling kokoh yang tak tumbang karena tubian postingan mereka. Awalnya, Grudug berpikir positif-positif saja. Ia mencoba menjadi lebih bijak, sangat berbeda dengan ia ketika kuliah. Ketika kuliah ia akan berkata begini–saya hafal dengan seluk-beluk bikas Grudug–“Semua sama-sama pembohong! Semua pembual! Dasar orang-orang tua!”
Kini, Grudug dewasa nan pengangguran ini memetik pesan moral yang berbeda dari pemilu–meskipun ia bukan orang yang konsisten, Saudara-Saudara. Baginya, pemilu kali ini sungguh pemilu yang menarik, karena banyak caleg dan Capres berusaha menonjolkan kreativitas, dari video-video mereka, goyang-goyang, kostum yang seperti cosplay bahkan foto-foto caleg yang didampingi gambar ternak, caleg dengan foto kapal pesiar, ultraman dan banyak lainnya.
Benar-benar berbanding terbalik. Grudug Muda selalu memilih golput karena banyak alasan. Beberapa di antaranya itu tadi, “yang kita pilih tak akan mengubah apa-apa, paling hanya mengubah hidup teman-teman calon.” atau “memilih presiden, atau memilih anggoda dewan adalah memilih majikan. Memilih penindas!” atau “memilih capres adalah memilih satu gerbong oligarki.” Wah… luar biasa, Saudara-Saudara.
Itu yang kerap Grudug katakan, padahal sesungguhnya ia lebih memilih rebahan dari pada menempuh waktu dua setengah jam untuk ke TPS. Dalam hati yang paling dalam, paling tersembunyi, bahkan ia sendiri malu mendengar kata hatinya, adalah begini: “Perjalanan jauh. Harus melewati jalan dingin, lalu panas. Biaya singgah di minimarket untuk ngopi mahal, tambah satu rokok, dan godoh. Belum lagi singgah beli babi genyol.”
Sementara itu, kini Grudug tampak lebih sibuk dari tim sukses calon-calon itu sendiri. Tampaknya, kebiasaan berselancar di dunia medsos justru membuatnya termakan narasi dangkal. Ia berubah total, saudara-saudara. Setiap ada waktu untuk ngobrol dengan teman-temannya, ia seolah-olah sedang berkampanye soal pemilu. “Satu suara itu menentukan nasib lima tahun bangsa ini.” Di lain waktu, ia akan berkata “Pilih yang tidak memiliki sejarah buruk! Pilih yang cerdas!”
Saudara tahu, yang lebih konyol adalah ini. Grudug berdeklarasi ke teman-temannya setelah melihat unggahan video yang memperlihatkan para guru besar menyampaikan kritik terhadap pemilu tahun 2024 ini. Pada teman-temannya ia berkata “Orang-orang sekarang lebih percaya pada artis-artis sosmed atau influencer dari pada profesor. Pemilih sekarang buta narasi sejarah. Pemilih sekarang terlalu melibatkan emosi!” Saya sebut konyol karena saya tahu, semua yang dia katakan tak ada bedanya dengan celotehan yang sering muncul dalam komentar postingan calon.
*
Ada kata-kata bijak yang menarik. Segala yang berlebihan akan menjadi tidak baik. Air putih yang memiliki sejuta narasi kebaikan pun menjadi tidak baik jika diminum segalon sekaligus. Nah, begitu juga dengan cara saudara kita satu ini menghadapi pemilu. Saudara Grudug ini.
Sialnya, hari itu, kondisi fisik Grudug sedang tidak baik-baik saja. Setelah membuka sosmed–seperti biasa–Ia keliling mencari tempat makan yang menggairahkan. Hari itu ia tidak ingin makan ayam geprek, tidak ingin babi guling, tidak ingin masakan padang. “Kadang memilih menu makan pagi sama sulitnya dengan memilih calon pemimpin yang selalu muncul di feed instagram,” keluhnya.
Namanya juga tidak enak badan, segala hal yang ia lihat jadi tidak mengenakkan. Ini normal saudara. Normal! Hal ini sama dengan kekesalan saudara dengan pengendara lain yang tiba-tiba terasa menyebalkan ketika saudara-saudara buru-buru ke kantor atau sekolah atau kampus karena saudara-saudara telat berangkat. Saudara tahu? itu belum tentu berarti keadaan yang salah. Saya garis bawahi, belum tentu! Bisa iya bisa tidak.
Ketika keliling mencari makanan itulah grudug merasa penat, mual, dan rasanya semua situasi tidak enak itu desebabkan oleh baliho-baliho di pinggir jalan. Dalam hati ia sudah mulai mengumpat-umpat. “Kota ini adalah kota yang tidak nyaman, sangat akrab dengan macet, akrab dengan debu, pohon di pinggir jalan dihabisi untuk pelebaran jalan, banjir, dan kini ada tambahan: baliho caleg, dan capres yang akan menjadi jibunan sampah.” Ia tiba-tiba merasa mual dengan segala kemaran itu.
Saudara-saudara, janganlah saudara marah dengan orang seperti Grudug. Barangkali kita semua pernah ada dalam kondisi seperti itu. Semua hal terlihat salah di matanya, bahkan kesalahan itu melebar seperti api yang muncul di tengah-tengah tumpukan ranting kering. Tapi situasi kritis seperti itu kadang perlu kita rawat. Saudara bisa membayangkan, Grudug tiba-tiba menjadi orang yang bijaki karena situasi itu.
“Isi dunia ini tak jauh berbeda dengan apa yang aku lihat di reels instagram, atau postingan Facebook. Semua tentang keburukan, kini semua tentang pemilihan. Foto yang sama, warna yang sama, gerakan yang sama, mimik yang sama, narasi yang sama. Ah… kepala Grudug sedikit lagi akan meletus seperti balon hijau. Kini dunia benar-benar menyebalkan dan membingungkan: sosmedkah yang meniru dunia fisik ini atau sebaliknya, dunia fisik ini yang telah meniru sosmed?” Saya ingin bertepuk tangan jika ia menelusuri pertanyaan itu. Tapi ia sedang emosional karena sakit. Terpaksa kita maklumi, bukan tepuktangani.
*
Karena hidup sendiri itu lebih menyakitkan ketika sakit, maka Grudug memutuskan pulang kampung berbekal segala kekesalan itu. Tentu saja, kampungnya memiliki situasi yang tidak jauh berbeda, khususnya soal baliho. Kiri-kanan jalan, tempat lenggang, dekat bale banjar, bahkan dekat pura. Di mana luang di sana baliho menjulang.
Belum sempat berganti pakaian dan menaruh tas di kamar, Grudug langsung menuju bale dauh tempat biasa pamannya termenung jika tidak ke sawah. Ia mengisahkan semua kekesalan ini pada pamannya. Sialnya, lelaki tua yang menjadi samsak kemarahan Grudug itu hanya tertawa–saya tahu, dalam hatinya pasti ia menyimpan umpatan pada Grudug–tapi saya salah.
Paman Grudug itu justru mengeluarkan jurus paling normatif yang selalu kita dengar pada saat pemilu, tapi barangkali itu adalah kebenaran paling hakiki yang ia pegang: “Siapa pun yang terpilih toh sama saja. Jangan terlalu memikirkan hal itu. Sudah bagus mereka banyak-banyak masang baliho. Semakin besar semakin bagus. Semakin banyak, semakin baik.”
“Baik apanya? Sampah itu, Wa!”
“Iwa, sudah bilang pada jumah kaja kangin, di sana ada baliho caleg. Itu sudah Iwa tandai. Baliho di Jaban Pura juga Iwa sudah bilang sama tim suksenya. Tapi yang di dekat bale banjar sudah mau diambil oleh orang dari delod dangin. Mereka rakus. Semua baliho mau diembat.”
“Untuk apa Iwa berebut Baliho?”
“Lah, kita kan sudah tidak punya pohon bambu, pagar kandang bebek sudah rusak, atapnya juga banyak berlubang.”
“itu saja?”
“Apa lagi?”
“Begini saja, Wa. Cari aja caleg atau timses yang mau membantu memperbaiki kandang bebek iwa.”
Aha, Grudug benar-benar berlebihan, dia langsung mengambil tas yang ia sandarkan di tembok bale dauh, lalu ia beranjak ke kamarnya. Tentu perubahan zaman menjadi penanda perubahan strategi. Tapi langkah Grudug tiba-tiba berhenti, bola lampu tiba-tiba muncul dalam batok kepalanya.
“Kenapa gak dicabut sekarang, aja?” kata Grudug.
“Wus… Ngawur,” balas pamannya.
Di kamar, Grudug menerawang. Sepertinya dunia ini tiba-tiba terasa benar-benar mengecewakan. Tapi, dalam hati ia berkata, “Sejelek-jeleknya baliho fisik, ia lebih berguna daripada poster di sosmed. Ya… ya… ya… Ini serangan poster. Kenapa ya, setiap serangan dalam pemilu ada saja orang yang senang? Dulu serangan fajar, sekarang serangan poster.” [T]
BACA ESAI dan artikel lain dari penulis AGUS WIRATAMA