AKHIR-AKHIR ini muncul banyak permukiman ekslusif. Di Ubud misalnya ada proyek Hidden City, di Tabanan ada Nuanu City. Pola-pola pertumbuhan kota secara tradisional yang bersifat organik kini dianggap sudah ketinggalan jaman, bahkan di beberapa kasus mungkin dianggap sebagai permukiman liar dan dicap kumuh. Padahal, kota tradisional justru dapat menjadi gambaran demokrasi dimana negosiasi dan konsensus antar penghuninya merupakan regulator ruang yang paling efektif.
Permukiman-permukiman saat ini dibangun dengan prinsip top-down, diregulasi dari atas oleh pemerintah dan disediakan oleh pengembang. Artinya, penyediaan permukiman menjadi ranah politik dan kapital besar. Landasannya adalah kemudahan kontrol dan, tentu saja, efisiensi ekonomis.
Dengan semakin populernya pola terakhir, banyak masalah muncul, sehingga mungkin perlu kita lihat kembali pola yang lama untuk mencari nilai yang bisa diteruskan ke masa kini. Pola tradisional ini sepertinya dekat dengan sistem pertanian tradisional saat manusia masih berperan sebagai pengumpul dan peramu makanan.
Awal tahun ini, seorang kawan dari Oxford mengenalkan kepada saya apa yang disebutnya sebagai rustic system dalam pengelolaan hutan. Di dalam sistem ini, segala jenis tumbuhan dan hewan dibiarkan hidup dengan kondisi alamiahnya. Tanaman kopi tumbuh bersama semak di bawahnya dan pohon naungan di atasnya yang dipenuhi juga oleh tanaman merambat.
Tanaman-tanaman tersebut harus berjuang dan bernegosiasi untuk dapat hidup saling berdampingan di lingkungan yang sama. Binatang: serangga, reptil, burung, dan sebagainya hidup sebagai bagian dari ekosistem. Penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi demikian tanaman kopi tumbuh dengan baik bahkan kualitasnya konon lebih baik dibandingkan dengan yang ditanam dalam perkebunan.
Kawasan pusat kota Denpasar yang tumbuh organik tetapi coba dikontrol | Foto: Google earth
Pola rustic system tidak membutuhkan pestisida ataupun insectisida, juga tidak perlu pupuk buatan. Ekosistem memastikan semuanya berjalan alamiah. Serangga tertentu membantu penyerbukan sementara yang lainnya bisa menetralisir serangga atau binatang lain yang menganggu tanaman. Jasad renik menyediakan humus dan hara yang membuat tanah menjadi subur. Inilah negosiasi, kompetisi dan konsesi yang terjadi secara alamiah sehingga kontrol manusia menjadi minimal.
Kelemahannya? Sistem ini tidak mampu memenuhi skala industri, hanya mencukupi kebutuhan masyarakat setempat yang juga menjadi bagian dari ekosistem tersebut. Selanjutnya, minimnya kontrol manusia juga membuat hasil panen menjadi tidak menentu. Kadang, sangat tergantung kondisi alam yang dipengaruh oleh musim, cuaca dan kualitas udara.
Meski demikian, dengan biodiversitas yang tercipta, ia bisa menggerakkan kemandirian pangan seandainya dipraktekkan dengan tepat. Dengan demikian, jika sistem ini diberlakukan di banyak wilayah, maka semakin banyak kawasan yang bisa mandiri.
Sistem tersebut berlawanan dengan pertanian industri dengan prinsip monokultur di mana dalam satu areal ditanam jenis tumbuhan yang sama. Di dalam monokultur, kontrol dipegang penuh oleh manusia. Bahan-bahan kimia menjadi alat pengendali kesuburan, pencegah hama, hingga membantu proses penyerbukan. Hasilnya tentu saja berskala besar karena memang dibangun untuk memenuhi kebutuhan massal, memenuhi permintaan di pasar-pasar yang jauh.
Kebutuhan manusia yang terus meningkat mendorong pertanian monokultur untuk memproduksi lebih banyak komoditas dalam waktu yang lebih pendek. Hal ini memicu dibutuhkannya lebih banyak kontrol untuk mencapai tujuan. Selain itu, seringkali dibutuhkan pula keputusan-keputusan politik untuk mengalihfungsikan lahan tertentu dan memberikan hak kepada kelompok penguasa kapital untuk melaksanakan program ini. Akibatnya, banyak kawasan yang awalnya bersifat rustic system harus beralih pola.
Kawasan-kawasan pertanian baru ini membutuhkan bahan kimia yang banyak, mensyaratkan mesin-mesin pembajak, penanam dan pemanen skala gigantik. Diperlukan juga bibit-bibit baru yang genetikanya dimodifikasi agar mampu tumbuh dan menghasilkan lebih cepat dibandingkan yang tidak mendapat modifikasi. Akibatnya, lingkungan kehilangan biodiversitas dan ekosistemnya terganggu karena kontrol kimia dan mekanis melalui tangan manusia yang berlebihan.
Kawasan permukiman baru yang disediakan oleh pengembang/developer dengan izin pemerintah | Foto: Google Earth
Kota-kota di Asia Tenggara juga bisa dilihat dengan cara yang sama. Beberapa wilayah, termasuk di Bali, kini sedang membentuk apa yang disebut sebagai ‘enclave’, lingkungan ekslusive penuh kontrol. Di dalamnya, terdapat fasilitas dengan standar tertentu. Fungsinya sama serupa, tunggal permukiman untuk kelompok ekonomi tertentu, umumnya kelompok yang kemampuan bayarnya di atas rata-rata penduduk sekitarnya. Ketentuan membangun diatur ketat dengan alasan kenyamanan dan ketertiban. Malam hari, lampu-lampu dipadamkan, jalanan sepi, ruang terbukanya minim kehidupan meskipun didesain dengan baik. Kawasan-kawasan steril seperti ini mulai berkembang pesat, menjamur di beberapa titik kota dengan mantra: one gate system.
Peraturan membangun dan mengembangkan wilayah yang dibuat oleh pemerintah memfasilitasi permukiman-permukiman baru semacam ini. Besarnya biaya yang dibutuhkan menyebabkan hanya investor yang mampu mewujudkannya.
Jika ditelisik ke belakang, akarnya bisa kita lihat di awal abad ke-20 saat gerakan modernisme dalam arsitektur dan rancang kota melanda dunia. Saat itu, pabrik-pabrik dibangun untuk mengolah surplus material pertanian. Ini memicu terjadinya gelombang perpindahan penduduk ke kawasan industri dan membutuhkan penyediaan permukiman dalam skala besar dan waktu singkat. Standarisasi diciptakan untuk mewujudkannya.
Arsitek Swiss-Perancis Le Corbusier menjadi salah satu pioneer pemikir kota modern yang mengadopsi standarisasi dan pembagian zona wilayah menjadi fungsi permukiman, pekerjaan/usaha, pelesiran. Ketiganya dibuat steril satu sama lain. Material bangunan dibuat modular, estetika mesin sama serupa antara bangunan satu dengan yang lain, kepadatan tinggi dan dengan system layanan infrastruktur terintegrasi merupakan beberapa prinsip yang dikenalkannya.
Prinsip-prinsip tersebut ternyata sangat sesuai dengan kondisi masyarakat saat itu yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi. Kelahiran negara-negara baru di pertengahan abad ke-20 yang membutuhkan prinsip efisiensi dalam membangun wilayahnya membuka banyak peluang.
Le Corbusier mandapat reputasi baik dan mendapat penugasan untuk membangun di banyak negara. Kota-kota tradisional, banyak diantaranya yang merupakan warisan masa kolonial, dianggap tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia masa depan.
Meski prinsip kota modern menjadi norma baru pembangunan di banyak wilayah berkat efisiensi dan kemudahan kontrol yang ditawarkannya, di kawasan lain, masih banyak lingkungan yang berkarakter campuran. Tempat bekerja, tempat berbelanja, tempat bersantai, tempat orang melakukan berbagai aktivitas tersedia. Aturan dan kontrol pemerintah yang bersifat top-down tidak begitu ketat karena masing-masing memegang norma tak tertulis untuk tidak saling menganggu.
Di kawasan semacam itu, denyut kehidupan terasa lebih energik. Beberapa bangunan mungkin dirancang oleh arsitek tetapi sebagian besar dibangun dengan ketrampilan ketukangan lokal dengan material apa adanya, vernacular kata Paul Oliver. Segala kerusakan atau ketidaksesuaian yang terjadi mampu diselesaikan dengan mudah oleh para penduduk dengan sumber daya yang mereka miliki. Ketergantungan terhadap kontrol dari luar diri, termasuk dari pemerintah dan investor, sangat minim. Ini adalah lingkungan yang mandiri, mirip rustic system dalam pertanian.
Permukiman di Dalung, Kabupaten Badung, awalnya direncanakan dengan top-down kini berkembang organik | Foto: Google Earth
Permukiman-permukiman tradisional yang tumbuh organik sering dianggap lebih humanis dan memberi dukungan bagi terciptanya kehidupan sosial yang lebih baik. Ide kota modern dengan prinsip efisiensinya dianggap mematikan inti kehidupan perkotaan yang berakar dari negosiasi, asimilasi, adaptasi serta konsesi dari warganya.
Dalam kota modern, ide dan pendapat didominasi oleh pemerintah dan investor sedangkan di kota organic justru masyarakatlah yang memiliki ide. Suara-suara penghuni memiliki pengaruh kuat dalam kota tradisional sehingga dipandang jauh lebih demokratis.
Pandemi Covid-19 yang baru saja berlalu merupakan tes yang baik bagi kedua jenis lingkungan ini. Pada kondisi dimana terjadi penguncian wilayah, lockdown, permukiman yang serba terkontrol memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap kehadiran pemerintah. Mereka membutuhkan layanan kesehatan dari lembaga penyelenggara kesehatan formal. Makanan yang biasanya diperoleh dari grocery store berjejaring harus disediakan oleh pemerintah. Gangguan terhadap jalur distribusi bisa menyebabkan pukulan penderitaan berat bagi kelompok ini.
Pada permukiman campuran, rustic system, hal tersebut mungkin bisa diatasi karena diversitas penghuni dan aktivitasnya. Penduduk di kawasan tersebut mungkin ada yang berprofesi sebagai dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lain yang bisa memberi layanan bagi tetangganya.
Selain itu, bisa jadi di kawasan tersebut masih ada warung yang memiliki supply makanan yang berasal dari pertanian skala rumah tangga dan bisa dibeli oleh masyarakat tanpa harus keluar wilayah akibat pemberlakuan penguncian wilayah. Kepedulian wilayah yang terbentuk dari ikatan sosial sehari-hari dapat membantu menciptakan rasa nyaman dan aman yang secara psikologis membantu proses pemulihan.
Kawasan seminyak, penghuni terseleksi hanya mereka yang memiliki dana banyak | Foto: Google Earth
Dengan kata lain, permukiman dengan tingkat heterogentitas tinggi ini memiliki resilience yang lebih baik dibandingkan dengan yang homogen.
Kondisi di atas adalah saat pandmi terjadi. Apakah sistem campuran bisa diterapkan untuk mencegah terjadinya penyebaran virus? Mampukah sistem ini menghindari tumbuhnya virus yang berbahaya?
Jika kita melihat dari sistem yang sudah diterapkan dalam kasus agroforestry rustic system dimana setiap komponen berperan menjaga keseimbangan ekosistem, maka bisa jadi ada solusi tersembunyi yang belum mampu kita ungkapkan. Tentu saja, kita masih membutuhkan riset mendalam soal ini.
Sir Terry Ferrel, arsitek dan perencana kota terkemuka, sebenarnya pernah mendorong para perencana dan arsitek untuk mengikuti para ahli biologi—melihat, belajar dari, dan, tentu saja, mengapresiasi sifat dari kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan alam, dan kemudian dengan kerendahan hati dan rasa hormat, bekerja bersama mereka untuk mendorong, mengantisipasi, dan bersiap menghadapi apa yang akan terjadi terhadap kota-kota di masa depan.
Tidak ada sistem yang sempurna dalam hal perkembangan wilayah. Masih ada peluang jika kita tidak berhenti memikirkan jalan keluar dengan cara belajar dari cara kerja alam. Sayangnya, kapitalisme saat ini sudah sangat menggurita tanpa lawan. Berpilin dengan kepentingan politik, ia membidani kelahiran kota-kota dan permukiman monokultur yang abai terhadap pola tradisional yang terlebih dulu ada dan berkembang. [T]
BACA artikel-artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA