TULISAN ini ringkas, ya memang diniatkan untuk ringkas. Isinya mengajak kita untuk kembali menelaah tentang terminologi, diksi, leksikografi seni, khususnya seni rupa pada kitab lontar berjudul Wiswakarma milik Griya Gede Delod Pasar, Intaran, Sanur.
Menariknya, membaca kalimat pembuka pada kitab ini kita dihadapkan pada asal-muasal kitab ini ditulis, berdasarkan kitab babonnya, yaitu Usana Jawa. Setelah itu prolog menjelaskan tentang dua dewata, yaitu Hyang Brahma dan Wisnu, yang menciptakan tiga manusia yakni manusia kdi (kedi), jalu, dan wadwan—mereka terus berkembang hingga menumbuhkan keturunan manusia yang banyak.
Manusia-manusia tersebut tidak tahu akan apa-apa, tidak tahu caranya mencari makan, tidak tahu caranya berbusana (asal-muasal ditemukannya fashion?), tidak tahu caranya bersosial, tidak tahu caranya membuat rumah sehingga hidupnya dibawah terik matahari, kadang-kadang di bawah pohon, dll.
Singkat kata, kemudian turunlah Hyang Wiswakarma ke dunia untuk mengajari para manusia ini untuk membuat rumah, membuat perabot rumah tangga yang tajam-tajam, tata cara membangun tempat suci, dll. Sehingga manusia dapat hidup dengan layak dan mengingat asal-muasal penciptaan manusia.
Selanjutnya oleh para manusia tersebut, apa yang diajarkan oleh Hyang Wiswakarma disebut sebagai Citragopta yang membawa ajaran tentang menatah, punggu (?), palu, kisa, membuat busana-pakaian yang dapat dipergunakan dengan layak.
Seturut kemudian, turunlah Hyang Citrakara dengan berbagai rupa yang kemudian bersatu menjadi hamrabangkara. Narasi ini kemudian ditutup dengan penjelasan bahwa begitulah para dewata ketika turun di dunia dengan membebaskan manusia dari kebodohan dengan Aji Sastra, mengetahui baik dan buruk, kurang dan lebih.
Secara ringkas pada bagian awal narasi kitab Wiswakarma ini menyajikan kosmologi, sebuah narasi tentang asal mula manusia, proses memahami akan ruang dan waktu pada alam yang evolutif hingga bagaimana keahlian diturunkan.
Yang hendak digaris bawahi adalah adanya tiga frasa kata yang berhubungan dengan keahlian manusia, yaitu citrakara, citragopta, dan prabangkara—tiga frasa ini sering dikaitkan dengan seni sebagaimana yang dipahami di Indonesia bahwa seni dipadankan dengan kata “art” (eng. Spesifik dimaknai khusus pada seni lukis, rupa, visual).
Seni di Indonesia dipergunakan untuk merangkum keseluruhan seni sekaligus ragam jenis-jenisnya, lahirlah kemudian seni rupa dan seni pertunjukan dengan berbagai cabangnya. Khusus pada seni rupa dibagi kembali menjadi seni rupa murni dan seni rupa terapan, tujuannya untuk mengklasifikasikan yang mana seni murni untuk ekspresi dengan kerajinan.
Sialnya, seni terapan tersebut dibelokan maknanya dengan kriya sekaligus kriya dipadankan pada bentuk-bentuk kerajinan tangan padahal pada kerajinan itu juga ada ekspresinya. Bahkan pada kitab Wiswakarma itu jelas tertulis tatah; hatatah-tatahnya.
Kata tatah bagi orang Bali dipahami dengan keterampilan tangan mengolah pahat dengan kulit, biasanya dipergunakan di dalam istilah pembuatan wayang atau mengukir dengan teknik tembus pada bidang dua dimensi.
Pada entri Jawa Kuna dalam bukunya Zoetmoelder & Robson pun menuliskan arti katanya sebagai memahat; pahat kecil; untuk anatah, tinatah juga dimaknai sebagai memberikan bentuk kepada sesuatu; merencanakan; mempersiapkan.
Dengan demikian, apakah asal-mula citra yang diartikan sebagai lukisan (term Jawa Kuna) dimulai dari hanatah/tinatah? Sebelum dipikirkan ulang ada baiknya kita kembali ke judul yaitu Citrakara, Citragopta, dan Prabangkara.
Yang pertama adalah Citrakara. Di dalam kitab Wiswakarma disebutkan dengan menambahkan kata Hyang di depannya sehingga menjadi Hyang Citrakara dan sejalan dengan itu, maka Hyang Citrakara adalah dewata pujaannya para pelukis, merujuk kepada term citrakāra pada Jawa Kuna diserap dari bahasa Sansekerta berarti pelukis.
Yang kedua adalah Citragopta, kata ini secara langsung tidak saya temukan dalam bukunya Zoetmulder & Robson. Terminologi ini ada sebagai diksi dari citraloka yang berarti penulisan yang mencatat apa yang terjadi di dunia ini, atau kita dapat membaginya dengan citra dan gopta, arti kata gopta merujuk kepada sesuatu yang sifatnya rahasia seperti ajaran, mungkin disakralkan(?).
Yang ketiga adalah Prabangkara dalam Jawa Kuna berarti matahari, dalam konteks yang lain berarti pelukis, seniman, artist. Prabangkara juga disamakan dengan Citrakara oleh Berg di dalam mengartikan kata ini dalam Kidung Sunda, “katur punang pĕṭa sang rajaputri dene si prabangkara”.
Kitab Wiswakarma tersebut medeskripsikan bahwa turunnya Hyang Citrakara dengan berbagai macam rupa (hamancarupa), berpadu kemudian hamrabangkara (melukiskan berbagai hal/mewujudkan berbagai bentuk kesenian).
Jadi, secara kosmologi, asal mula seni adalah pelajaran ilahiah berdasarkan pada Aji Sastra yang diturunkan oleh Hyang Citrakara, lekatnya pada ajaran Hyang Wiswakrma mengenai bagaimana konsep proses mencipta ala Bali.
Secara terminologi, citrakara, citragopta, dan prabangkara—acuan Kawi-nya—berasal dari kata citra atau citraka yang berarti lukisan, gambar, sketsa. Lantas bagaimana kalau hari-hari ini jika kita ingin menyatakan lukisan kita sebutkan dengan citraka? Atau justru kita lebih nyaman mempergunakan painting? Atau biarlah sebut lukisan saja biar tidak ribet?
Ah, apa pentingnya juga di masa kontemporer ini berbicara tentang terminologi? Rasanya hanya akan menambah beban hidup saja, bukan?[T]
Pohmanis, 4 Januari 2024