RANIA tertegun menatap laut. Hatinya gelisah. Matanya awas tertuju pada satu perahu. Sementara di depannya ada Raden yang sibuk makan. Ia dengan mantap melahap hidangan yang ada di meja. Sedikitpun ia tidak memperhatikan Rania. Begitu juga dengan Rania yang seakan tidak peduli dengan Raden. Mata Rania seakan tidak berkedip. Perahu di tengah laut itu terus saja ia perhatikan.
“Rania, makanlah. Makanannya mulai habis. Ini enak,” kata Raden tanpa melihat Rania. Ia tetap sibuk menyomot satu per satu hidangan di meja.
Rania hanya melirik sebentar. Pandangannya kembali ke laut. Rania kaget, perahu itu tidak ada di tempat semula. Ia tambah gelisah. Kemana perahu itu? Rania mendongakkan kepala dan memandang sekitar laut. Ia menghela napas panjang, perahu itu kini berada di sebelah barat. Pergerakan perahu itu begitu cepat. Padahal Rania hanya berpaling sebentar. Sesekali ia melirik handphone yang tergeletak di meja.
“Kamu kenapa? Tidak makan? Makanlah. Ini sangat enak.” Kali ini Raden membujuk Rania. Ia memandangi Rania. Ia sadar ada yang aneh dengan calon kekasihnya itu. Tapi Raden tidak mau tahu terlalu jauh. Raden baru seminggu mengenal Rania. Ia merasa masih belum pantas jika terlalu buru-buru bertanya hal pribadi.
Seolah tidak mendengar Raden, Rania terus menatap perahu itu. Tatapannya semakin tajam. Seperti elang yang membidik mangsanya.
“Rania,” kata Raden mengagetkannya. “Ayo, makan!” Rania mengangguk dan tersenyum tipis. Tetapi Rania masih mencuri-curi pandang ke tengah laut saat Raden sibuk dengan piringnya. Ia tak ingin lagi kehilangan perahu itu. Makannya pun tak selahap Raden. Nafsu makannya terganggu. Hatinya semakin gelisah.
Kegelisahan Rania tertangkap Raden. Ia penasaran. Hal apa yang membuat pandangan Rania tertawan, hingga ia begitu gelisah. “Kamu lihat nelayan? Sudahlah, nelayan itu hidupnya memang di laut. Tugasnya mencari ikan. Nah, kita tugasnya makan ikan,” kata Raden mencoba menenangkan Rania, tetapi ia tetap menyantap makanan.
Tapi hal itu sama sekali tidak mengubah apa pun. Pandangan Rania masih tetap tertawan ke perahu itu. Matanya seperti corong. Segala gerak-gerik nelayan itu ia perhatikan dari kejauhan 200 meter. Sesekali Raden ikut melirik perahu itu sambil menoleh wajah Rania yang mungil simetris. Ia tersenyum tapi masih tetap melanjutkan untuk menyantap ikan bakar, udang pedas manis, kerang saus padang. Perlahan namun pasti masuk ke mulut Raden. Lahap sekali.
Sementara nasi di piring Rania masih utuh. Sendok dan garpu yang dipegang hanya dimainkan. Jam tangan kecil yang melingkar di tangan kirinya ia pandang lalu memandang kembali ke perahu itu. Seolah ia menanti sesuatu. Tanpa disadari, Raden telah menyelesaikan makanannya. Rasa puas tergambar pada wajahnya. Raden menjentikkan jari memanggil waitress restoran itu.
“Terima kasih, Mbak,” ujar Raden sembari memberikan beberapa lembar uang kepadanya. Raden kembali memandang Rania. Ia heran kenapa gadis yang dicintainya itu selalu memandang laut. Raden ingin bertanya tetapi niat itu ia urungkan.
“Rania, ayo pulang. Rania…Rania!”
“Hah,” Rania kaget hingga lututnya terantuk di ujung meja. Ia bergegas bangkit dari kursi. Ia berjalan mengekor Raden. Matanya pun masih mencuri-curi pandang menengok perahu nelayan di tengah laut.
Saat perjalanan pulang, Rania sangat gelisah. Ia melirik lagi jam tangannya. Pukul 18.30 wita. Dalam perjalanan Rania hanya diam. Ia resah. Ia ingin segera sampai di rumah. Sikap Rania pun membuat Raden ikut tegang. Tapi lagi-lagi Raden tak berani bicara.
Selama 30 menit perjalanan akhirnya Rania sampai di rumah. Ia turun di depan gang rumah, karena mobil Raden tak cukup bila masuk ke gang itu. Rania turun tergesa-gesa tanpa berpamitan dengan Raden. Ia membanting pintu mobil dan berlari ke dalam gang. Raden bingung melihat sikap Rania. “Aku salah apa? Apa karena makanannya aku habiskan? Tapi, ah sudahlah,” Raden membatin. Ia kemudian meninggalkan Rania.
Setibanya di rumah Rania segera berganti baju. Dari dapur ibunya tak berhenti mengomel. Suara piring dan gelas terdengar beradu menandakan betapa kesal ibunya menunggu Rania pulang. “Kamu bisa lebih cepat, kan!” teriak ibu dari dapur.
Tanpa mengiraukan ibunya, Rania segera mengendarai sepeda motornya. Matanya was-was. Alisnya mengkerut. Laju gas sepeda motor ia kencangkan lagi. Tidak berapa lama, motor berwarna hitam itu terparkir di pinggir pantai.
Hari sudah mulai gelap. Dari kejauhan lampu berkedip-kedip. Sebuah perahu mendekat. Mesinnya mulai terdengar menderu dengan jelas. Sesaat perahu itu menepi. Rania berlari menghampiri dengan sumringah.
“Bapak!”[T]
- Cerpen ini adalah hasil workshop Cipta Sastra dalam acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang diselenggarakan Komunitas Mahima, Selasa 28 November 2023, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali.