FENOMENA lagu-lagu lokal yang dinyanyikan oleh tokoh penting maupun penyanyi mancanegara cukup meggemparkan jagad dunia maya beberapa waktu lalu. Suara Ariana Grande dan Jungkook yang menyanyikan lagu “Komang” karya Raim Laode ataupun suara Presiden Jokowi yang menyanyikan lagu”Asmalibrasi” karya Soegi Bornean mengudara di laman berbagai media sosial.
Pasalnya, suara tersebut bukanlah berasal dari penyanyi asli yang benar-benar menyanyikan lagu tersebut secara nyata, melainkan hasil rekayasa kecerdasan buatan. Munculnya teknologi kecerdasan buatan atau yang akrab disebut Artificial Intelligence (AI) menjelma kontroversi yang tak berkesudahan.
Ketakutan akan ancaman tergantinya peran manusia dalam berbagai lini kehidupan maupun penyalahgunaan AI untuk tindak kriminal terbesit dalam pikiran banyak orang. Namun, sebagian orang lainnya ada yang memandangnya secara optimis sebagai sesuatu yang ditawarkan oleh perkembangan zaman untuk mempermudah tugas manusia.
Lagu “Komang” versi Ariana Grande melalui rekayasa AI/Foto:YouTube “Raim Laode”
Kesenian sebagai salah satu bidang yang terdampak oleh AIseolah mengusik ketenangan para seniman dalam proses berkarya. Sebuah respon terhadap hal tersebut kemudian dikemas dalam konser yang bertajuk “Artificial Intelligence: Respon terhadap Masa Depan Komposer” yang diselenggarakan oleh beberapa mahasiswa prodi Penciptaan Musik ISI Yogyakarta.
Konser yang diadakan 24 November 2023 lalu di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta itu secara spesifik memberikan tanggapan perihal AI dalam bidang musik, khususnya bagi para komposer. Optimisme para komposer terdengar dari sambutan ketua produksi Sophian Malista Kolinus yang memberikan perspektif untuk menatap AI sebagai suatu peluang yang memacu diri agar terus berkembang dan tidak menolak perkembangan zaman. Lantas sudah sejauh mana jejak eksistensi AI dalam bidang musik?
Sebuah video yang diputar melalui layar proyektor di awal acara memperkenalkan penonton kepada software AIVA (Artificial Intelligence Virtual Artist) yang digunakan dalam konser tersebut untuk memperlihatkan bagaimana sebuah kecerdasan buatan menciptakan komposisi musik. Maka dapat dikatakan penampil pada konser tersebut tidak hanya manusia, melainkan juga AI.
Tak lama setelah video diputar, beberapa pemain instrumen gesek (string) memasuki panggung. Pewara pun membacakan judul karya pertama yang dimainkan. “Divertimento No.1 in C Major: ‘Pelog’” karya Eggy Rusmin, dibawakan dengan format ansambel gesek yang terdiri dari biola, biola alto, dan cello.
Dengan bentuk komposisi Sonata dan tempo Allegro (cepat), nuansa musik pada era klasik terasa kental pada karya ini. Justru tangga nada Pelog yang digunakan tidak terasa terlalu menonjol dalam memberikan nuansa Jawa.
Setelah karya pertama usai, kini giliran AI menampilkan komposisi ciptaannya. Seorang programmer yang duduk di depan laptop mengatur proses penciptaan musik melalui AI. Setelah menyisakan keheningan beberapa saat, musik karya AI pun diputar.
Musik yang menggunakan instrumen gesek dengan durasi yang tidak lama tersebut seolah mengajak penonton untuk merasakan perbedaan sensasi yang diciptakan dari mendengar musik yang dimainkan secara langsung oleh manusia dibandingkan musik yang diciptakan oleh AI. Juga membandingkan bagaimana kualitas musik yang diciptakan selama beberapa minggu oleh komposer dengan musik yang diciptakan dalam waktu kurang dari lima menit oleh AI.
Komposisi orisinil komposer yang kedua adalah “The Adventure” karya Delano Christian. Karya ini masih dimainkan dengan format ansambel gesek, tetapi dengan tambahan instrumen contrabass.
Alunan nada rendah cello dan contrabass membuka karya dengan suasana sedikit misterius yang kemudian ditimpa dengan nada yang lebih tinggi dari biola. Musik bertema petualangan, sebagaimana judulnya, membawa penonton terhanyut pada lika-liku seorang petualang yang merasa putus asa, tetapi akhirnya bangkit dan kembali melangkah.
Pemain ansambel gesek dalam konser Artificial Intelligence/Foto: Tim Dokumentasi konser Artificial Intelligence
Sama seperti sebelumnya, setelah karya selesai dimainkan, panitia memutar karya yang diciptakan oleh AI dengan tema yang sama seperti karya sebelumnya. Musik bertema petualangan yang diciptakan oleh AI dengan instrumen gesek terdengar sedikit menegangkan.
Ilustrasi video pada layar proyektor juga membantu dalam memvisualisasi sebuah perjalanan yang penuh persimpangan. Sejauh ini musik yang diciptakan oleh AI masih dapat dinikmati dari segi musikalnya, seperti adanya dinamika keras dan lembut, harmonisasi, hingga variasi ritme dari instrumen yang digunakan.
Repertoar selanjutnya berjudul “Indonesia FPV Bali Java” karya Sophian Malista Kolinus yang merupakan interpretasi dari video landscape panorama pulau Bali dan Jawa oleh saluran YouTube Timelab Pro. Alunan nada pentatonik pelog terdengar jelas menjadi unsur yang paling ditonjolkan, menunjukkan musik kedua pulau yang memiliki persamaan dalam penggunaan tangga nada, tetapi tetap memiliki ciri khasnya masing-masing.
Penonton dapat merasakan perpaduan musik khas Bali dan Jawa yang berkelindan dalam satu komposisi musik. Teknik pizzicato (petikan) pada instrumen contrabass, cello, dan biola alto yang dipadukan dengan gesekan biola memberikan kesan manis dalam repertoar tersebut.
Setelah jeda selama kurang lebih sepuluh menit, konser pun dilanjutkan dengan sesi kedua. Dalam sesi ini penonton disuguhkan dengan instrumen musik yang berbeda dari sesi sebelumnya. Beberapa pemain combo yang terdiri dari piano, saxophone, gitar elektrik, bass elektrik, serta drum elektrik tampak menata diri untuk menyuguhkan beberapa karya terakhir.
Sesi kedua pun dibuka dengan sebuah penampilan musik improvisasi bertema atmosferik yang ditampilkan dengan format combo beserta tambahan instrumen tiup yang dimainkan oleh Vincentio Hadiputra. Penampilan yang tidak masuk dalam daftar repertoar tersebut seolah menjadi peralihan, mengantar penonton pada nuansa berbeda yang diciptakan dari perubahan instrumen akustik menuju instrumen elektrik.
“Drained Melody” karya Stefan Arnold W. W. menjadi suguhan selanjutnya. Sang komposer menjelaskan bahwa karya ini merupakan suatu kolaborasi dengan AIdari Korea Selatan bernama “Musia One”. AItersebut membantunya dalam mencari unsur musik, seperti chord. Penonton pun dimanjakan dengan musik groove bertempo sedang yang menuntun ketukan kaki maupun anggukan kepala untuk mengikuti irama.
Setiap bagian instrumen terkemas dalam harmonisasi yang segar dan asyik. Melodi dipegang oleh saxophone dan gitar elektrik, ritme dijaga oleh bass elektrik dan drum elektrik, isian-isian yang manis diberikan oleh piano maupun suara dari AIMusia One.
Hanya satu kekurangan dalam penampilan ini, yaitu layar proyektor yang tidak menampilkan gambar ilustrasi dan hanya menampilkan background biru, sedikit tidak nyaman secara visual karena sangat kontras dengan tema ruangan museum Tembi yang didominasi warna cokelat.
Penampilan karya “Drained Melody” dalam format combo/ Foto: Tim Dokumentasi konser Artificial Intelligence
Konser ditutup oleh repertoar terakhir karya Joshua Sibuea dengan judul “Takkan Gapaimu”. Joshua yang sepanjang acara menjadi programmer AI turut bergabung bersama pemain lainnya dengan sebuah pianika di tangannya. Semacam kata sambutan diucapkan oleh suara laki-laki dari AIdi awal lagu, beserta lemparan pertanyaan kepada penonton untuk menebak instrumen apa saja yang dimainkan AI dalam karya ini.
Secercah keyakian dari sudut pandang komposer terabadikan dari judul karya hingga lirik yang dinyanyikan oleh sang komposer sendiri. Ya, karya ini merupakan satu-satunya karya di konser ini yang terdapat vokal di dalamnya.
Joshua menggunakan berbagai jenis AI yang terdengar mengisi posisi backing vocal perempuan, serta instrumen gitar yang dinyanyikan dengan suara manusia. Komposisi ini tak ubahnya sebuah pengandaian AI yang mengatakan pada manusia bahwa masih ada hal-hal milik manusia yang tidak tergapai ataupun tidak tergantikan oleh AI.
Konser Artificial Intelligence oleh mahasiswa Penciptaan Musik ISI Yogyakarta /Foto: Tim Dokumentasi konser Artificial Intelligence
Hal yang tidak tergapai tersebut sebenarnya sudah terasa sejak repertoar pertama. Penonton tentu merasakan impresi yang berbeda ketika mendengarkan musik yang dimainkan secara nyata dan langsung oleh manusia, dibandingkan musik ciptaan AI yang diputar melalui alat-alat elektronik.
Saat menyaksikan permainan musik oleh manusia, penonton dapat merasakan secara langsung penghayatan dan ekspresi para pemain, bahkan hingga tarikan napasnya. Dengan begitu, kedalaman emosi yang terangkum dalam komposisi karya manusia pun dapat tersampaikan kepada penonton. Musik yang disajikan terasa lebih hidup dan memberikan pengalaman mendengar yang lebih nyata.
Mendengarkan musik karya AI terasa tidak berbeda dengan mendengarkan rekaman musik pada umumnya melalui alat elektronik. Meskipun secara musikal bisa dinikmati, tetapi musik karya AI tidak memiliki makna ataupun konteks yang terkandung di dalamnya. Hal ini turut dikatakan oleh Sophian Kolinus dalam wawancara, bahwa proses penciptaan musik melalui AI hanya dapat dilakukan dengan memasukan unsur musikal yang general, seperti tangga nada, durasi, maupun nuansa.
AI belum dapat mengadaptasi musik yang berlatar belakang kebudayaan, seperti pada karya “Indonesia FPV Bali Java” karya Sophian Kolinus, serta belum dapat menciptakan karya yang berangkat dari sebuah sinopsis seperti pada karya “The Adventure” karya Delano Christian. Meski tidak ada yang tahu apakah di masa mendatang AI dapat menyentuh hal-hal yang belum tergapai saat ini, kiranya pelaku seni apa pun, tidak hanya komposer, dapat melihatnya sebagai suatu tantangan untuk terus mengasah keterampilannya sambil mengikuti laju zaman yang penuh dengan kejutan di depan sana.[T]