KILAU silver rambut Ole diisorot bulan purnama kelima. Rambutnya terurai sebahu, selalu seperti itu. Punggungnya bersandar pada daun pintu berukir Bali. Ia sibuk memotong kuku yang mulai melengkung.
“Sudah jangan atur aku!” Mata Ole melotot ke arah anaknya.
“Tapi itu pamali!” kata anaknya melengking
Ole hanya diam. Usai memotong kuku, dia tetap melanjutkan membaca buku-buku yang mengantri menumpuk di sebelahnya. Batu akik merah di jari tengahnya menyangga buku yang sampulnya sudah koyak. Sesekali matanya menyorot malam sawah di depan rumahnya. Sesekali bibirnya mengucap-ucap sesuatu, entah apa. Rambutnya yang terurai diikatnya. Asap menyembur dari bibirnya. Disemburkan ke langit. Awan merayap dari bukit Gitgit menyerbu pesisir Pantai Penimbangan. Air mulai menetes, semakin deras. Sawah yang tanahnya mulai retak mulai meneguk air.
Hujan guntur semalaman menyisakan banyak problema, termasuk mengapa rambut Ole kembali digerai. Matahari kembali terasa lebih dekat di Buleleng. Menyengat. Saban malam anaknya selalu marah, ingat pesan Guru Agama di sekolah yang mengatakan pamali kalau menggerai rambut malam hari. Ole tetap saja acuh.
“Bu, aku muak memberitahu suamimu masalah rambut!” kata anaknya sembari menaruh piring nasi yang berbahan logam itu. “Aku merasa jijik melihatnya, saat makan, saat ngobrol, saat sembahyang selalu terurai, itu tidak rapi sama sekali!”
Istri Ole mendekati telinga anaknya, “Jangan keras-keras, nanti kamu dihajar ayahmu”.
Ole sudah hidup puluhan tahun. Saat Margarana tanah asalnya berjuang mati-matian melawan kompeni ia sudah lahir menyaksikan peristiwa itu. Walau umurnya belum layak mengangkat senjata, ia sudah akrab dengan darah yang tumpah serta jerit kesakitan di sekitarnya.
“Kompeni datang… segera masuk ke lubang perlindungan!” teriak salah satu komandan pasukan sembari menyamar di antara daun sente. Ole yang saat itu sedang mengais barang berharga dari mayat-mayat yang bergelimpang segera berlari menuju sebuah ceruk. Ia dipeluk erat oleh neneknya. Kompeni beringas melihat pakaian tentara yang sudah dilucuti. Mereka menganggap kaumnya dilecehkan. Pistol mulai memberedel ke berbagai arah, bagai babi rusa yang matanya dibutakan. Bercak darah muncrat dari balik daun sente, arah tembakan menjadi lebih terpusat ke sana. Ole gemetar dalam pelukan neneknya, tangannya semakin erat mengepal sebuah pisau pinggang.
“Ning, kamu jangan keluar, apapun yang terjadi. Diam!” kata neneknya. Bau sirih menerpa wajah Ole
Neneknya menyelinap. Mengusap darah mayat kompeni ke muka dan rambutnya yang keperakan, juga pada sekujur tubuhnya dibaluri darah. Ia ambil salah satu potongan tubuh kompeni yang dirajang oleh jagal Margarana. Giginya mencengkram potongan jari itu.
“Hahaha…” pekik tawa neneknya.
Dari balik pakis mata Ole menyorot tingkah laku neneknya. Ia melihat neneknya menari-nari. Kompeni mulai menghampiri. Salah satu dari mereka mencoba memberikan tembakan peringatan. Neneknya tidak hirau. Kompeni mulai datang menyergap. Dengan sigap rambut neneknya diuraikan. Putih perak bercampur darah menyelimuti.
“Aku akan memakanmu, jangan lari!” Neneknya semakun berani
Kompeni lari terkencing-kencing. Tak satupun bayangan yang berani mendekat, termasuk bayangan kematian yang tadi datang menghampiri. Di Desa Marga, nenek Ole terkenal digjaya. Konon ia bisa mengangkat Gunung Mahameru dengan telunjuknya. Urusan menjadi api adalah hal sepele bagi neneknya. Begitu juga tentang menjadi berbagai jenis binatang sudah ia kuasai. Seperti itu masyarakat desa memandangnya.
Mati-matian masyarakat Marga dibombardir oleh kompeni. Anehnya, tak satupun yang berani mendekati rumah Ole. Kabar kedigjayaan nenek Ole sudah terdengar sampai ke Regen, penguasa wilayah. Setiap malam menjelang ia akan berdiri di ambang pintu rumahnya sambil menggerai rambut, sesekali ia menyepah sirih pinang ketika ada kompeni mendekat. Kompeni akan takut ketika melihat nenek itu menggerai rambutnya, terlebih ketika cahaya matahari sudah menghilang. Dengan rambut yang diurai ia melindungi keluarganya.
Sejak Marga diratakan oleh kompeni ia segera diungsikan ke Buleleng. Bersama ibu serta saudaranya. Ayah dan neneknya masih bertahan di kampung halaman untuk menjaga tanah pekarangan serta ladangnya yang berharga. Dalam luluh lantak pedesaan, hanya angkul-angkul miliknya yang masih berdiri tegak. Dalam gelimpangan bangkai serta anyir darah ia tetap menggarap ladangnya. Sesekali kompeni yang mendekat ia lihat dengan mata menyayat hati para kompeni.
Kalender menunjukan tanggal 28 November 2023, tinggal beberapa bulan lagi tahun akan berganti. Ole kini menetap di Buleleng, sesekali pulang ke kampung untuk melihat kondisi ayahnya. Nenek jagoannya sudah berpulang pada umur 112 tahun.
“Ayah! Hari ini pernikahanku, tolong jaga penampilanmu!” Anakknya menghardik dari balik kelambu.
“Bli Made, ikat rambutmu! Malu pada calon besan kita,” bujuk istrinya
“Biarkan aku begini, tugasku menjaga kalian, jangan atur aku!” mata Ole melotot
Dalam khusus pelaksanaan ritual pawiwahan itu seseorang berbisik pada besan Ole, “Lihatlah rambutnya yang putih diselingi warna merah, itu darah! Ia keramas dengan darah! Seperti neneknya yang sakti!”
“Awas didengar, jangan keras-keras, kasian anaku jadi tumbal!” bisik sang besan memotong bisikan setan itu.
Putri Ole yang mulai geram mendengarkan kasak-kusuk semacam itu langsung berdiri, membanting perhiasan pengantin yang membalut tubuhnya. Ia menghunus keris sentana yang dipegangnya. Orang-orang yang hadir merasakan ngeri tiada tara. [T]
- Cerpen ini adalah hasil workshop Cipta Sastra dalam acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang diselenggarakan Komunitas Mahima, Selasa 28 November 2023, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali.