SEBAGAI seni dan keterampilan berbicara di depan publik, retorika memiliki sejarah panjang. Semua mengakui, retorika diperlukan untuk kegiatan apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Apalagi retorika juga dikenal sebagai seni manipulasi atau persuasi politik yang bersifat transaksional. Meskipun retorika juga dapat dilakukan dalam bidang sosial, budaya, dan ekonomi.
Retorika sebagai seni sudah dipelajari sejak abad 5 sebelum Masehi. Saat itu kaum sofis di Yunani mengembangkan pengetahuan tentang politik dan pemerintahan dengan berkelana dan menekankan kemampuan berpidato.
Ketika itu retorika memiliki fungsi untuk mencapai kebenaran atau kemenangan bagi seseorang atau golongan. Retorika lebih berorientasi pada kekuasaan. Maka, untuk dapat menjadi penguasa orang perlu memiliki keterampilan berpidato.
Gregorias tercatat sebagai tokoh yang berpengaruh dalam retorika. Menurutnya, kebenaran satu pendapat hanya bisa dibuktikan dengan kemenangan dalam pembicaraan. Disusul kemudian oleh Protagoras yang lebih menekankan pada keindahan bahasa, bukan sekadar kemenangan dalam berbicara. Tokoh-tokoh retorika selanjutnya adalah Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Cicero.
Memasuki abad ke-20 retorika mengadopsi ilmu psikologi dan sosiologi. Pengertian retorika berubah menjadi komunikasi oral atau public speaking. Faktor-faktor seperti motif, persuasi, maupun pengorganisasian pidato menjadi penting ketika orang berbicara di hadapan publik.
Tahapan Retorika
Retorika mengenal beberapa tahapan. Sebagai seni, retorika memiliki lima hukum yang disebut The Five Canons of Rhetoric yang dijelaskan oleh Aristoteles (Rakhmat, 1994). Tahapan pertama adalah Inventio atau penemuan. Seorang pembicara perlu menggali topik dan meneliti khalayaknya. Selanjutnya merumuskan tujuan sesuai kebutuhan khalayak.
Tahap kedua, dispotisio, yaitu pembicara mengorganisasikan pesan pidatonya. Pengantar pidato dianggap penting, karena berfungsi menarik perhatian. Selain itu, pengantar pidato akan menumbuhkan kredibilitas pembicara di depan khalayak.
Tahap ketiga, orator memilih kata dan bahasa yang tepat untuk mengemas pesan atau elocutio. Caranya dengan menggunakan bahasa yang dapat diterima khalayak, pemilihan kata yang jelas, atau menggunakan keindahan kalimat.
Memoria atau memori merupakan tahapan keempat dalam retorika. Seorang orator haruslah selalu mengingat apa yang akan disampaikan di hadapan khalayak. Jangan sampai, pidato sudah berjalan tiba-tiba lupa apa yang akan disampaikan selanjutnya.
Tahap kelima adalah penyampaian atau pronuntiatio. Pada tahap ini orator menyampaikan pesan secara lisan. Biasanya seorang orator akan sangat memperhatikan olah vokal dan gerakan anggota tubuh dalam berbicara.
Pengaturan suara dan gerakan harus disesuaikan agar tidak menimbulkan kesan buruk pada khalayak. Terlalu banyak gerak tubuh dapat menganggu pandangan; tidak menggunakan gerak tubuh akan membosankan.
Orator Digital
Orang yang memiliki kecakapan retorika yang mumpuni disebut orator. Kemampuan itu bukan hanya dalam memilih kata dan gaya, namun juga kemampuan berbicara dalam jangka waktu yang lama. Bahkan bukan hanya berbicara, orator juga memiliki kecakapan berkomunikasi secara efektif.
Retorika atau kekinian disebut public speaking merupakan keahlian berkomunikasi yang tak pernah lekang oleh waktu. Setiap generasi memiliki orator-orator andal. Bukan hanya tampil dalam panggung politik, orator juga tampil dalam kegiatan dakwah agama, dunia bisnis, dan seni budaya.
Banyak ditemukan orator yang disegani di dunia, termasuk di Indonesia. Adolf Hitler merupakan salah satu orator ulung di masa Perang Dunia II. Indonesia memiliki Soekarno yang dikenal sebagai jago pidato. Di bidang agama (Islam), Indonesia mempunyai orator yang sangat disegani yaitu Buya Hamka. Ada pula Dai Sejuta Umat, Zainuddin MZ.
Saat ini seorang orator tidak harus selalu berada di lapangan terbuka atau gedung pertemuan dengan dihadiri ribuan massa. Jika dahulu orator didominasi oleh tokoh-tokoh politik, kini orator muda banyak dijumpai di media sosial.
Mereka biasanya dikenal sebagai influencer yang memanfaatkan media sosial seperti instagram, twitter, facebook, tiktok, dan youtube. Ada yang bergerak di bidang sosial, dunia politik, bisnis, dakwah agama, maupun seni budaya. Mereka adalah orator digital.
Popularitas orator digital dapat dilihat dari jumlah pengikut maupun subscriber yang melimpah di media sosialnya. Selain itu juga jumlah yang menyukai unggahan serta banyaknya komentar yang diberikan netizen. Orator digital saat ini sering menjadi role model bagi netizen.
Menjelang Pemilu 2024 bakal banyak muncul orator dadakan. Entah itu calon legislatif maupun calon presiden. Semua akan tampil dengan gaya masing-masing dan pesan kampanye yang membius publik. Tujuan mereka sama, berbicara untuk meraih kekuasaan.
Apakah kemampuan beretorika mempunyai korelasi signifikan terhadap keberhasilan seseorang atau pemimpin; perlu kajian lebih mendalam. Sebab, bangsa yang hebat tidak lahir dari pemimpin yang piawai berbicara, tetapi hasil kerja bersama seluruh anak bangsa.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU