KONEKTIVITAS dan kekerabatan Batur dengan masyarakat desa-desa di hilir Pulau Bali juga dilahirkan melalui pelaksanaan melasti. Namun, jejaring kekerabatan ini kini dalam kondisi “rawan”. Jejaknya semakin pudar akibat tergilas modernisasi dalam pelaksanaan melasti. Kisah yang tersisa pun kini beranjak semakin jauh, bergerak pelan dari kisah nyata ke cerita sastra rekaan. Bukan tidak mungkin pada suatu wakti di masa depan akan berakhir menjadi mitos—dalam arti yang umum.
Desa Adat Batur hanya menggelar melasti ketika dilaksanakan ritual besar. Kami tidak seperti kebanyakan desa adat di Bali yang melasti ke pantai setiap tahun menjelang Nyepi. Batur hanya akan melasti ketika akan melaksanakan upacara pakelem (danu kerthi) berskala besar, setelah merampungkan pembangunan atau perbaikan palinggih,atau setelah menobatkan pemangku/pemimpin adat.
Pantai tujuan dari setiap pelaksanaan upacara berbeda-beda menurut fungsi masing-masing. Apabila melasti dilaksanakan serangkaian pakelem, maka dipilihlah pantai yang berada di selatan. Sementara itu, melasti yang dilaksanakan berkenaan dengan penobatan pemimpin adat atau rampungnya pembangunan palinggih dilaksanakan di pantai utara.
Pantai-pantai di selatan yang jadi tujuan pelaksanaan melasti antara lain Pantai Batubolong di Canggu, Pantai Masceti di Gianyar, dan Pantai Watuklotok di Klungkung. Pantai utara yang digunakan untuk ritual melasti adalah Pantai Pegonjongan di Tejakula, Buleleng dan Pantai Labuhan Aji di Temukus, Buleleng. Khusus melasti ke Pantai Labuhan Aji hanya dilaksanakan ketika penobatan jero balian.
Dahulu kala ketika kendaraan belum memadai, melasti dilaksanakan dengan berjalan kaki. Perjalanan menyunggi arca/pralingga Ida Bhatara-Bhatari dapat memakan waktu hingga berhari-hari untuk sampai di pantai tujuan dan kembali lagi ke Batur. Perjalanan yang panjang mengharuskan rombongan berhenti sejenak untuk beristirahat, dan bermalam di pura-pura tertentu. Peristiwa inilah yang memantik interaksi antara masyarakat Batur dengan masyarakat desa setempat.
Saya mendengar sejumlah cerita berkenaan interaksi yang muncul dalam proses tersebut. Ketika Ida Batara-Bhatari Sakti Batur beristirahat, penduduk sekitar biasanya akan mempersembahkan upacara ke hadapan Ida Bhatari. Sementara, pangayah Batur yang menyunggi biasanya akan dijamu makan oleh masyarakat sekitar.
Menurut cerita seorang teman dari Denpasar, dalam sebuah perjalanan melasti ke Pantai Batubolong beberapa puluh tahun yang lalu, arca Ida Bhatara-Bhatari Batur pernah singgah di sebuah pura di Kesiman, Denpasar. Pada momen yang lain, arca Ida Bhatara-Bhatari juga pernah singgah di Pura Tambangan Badung.
Informasi serupa saya dapatkan dari seorang kawan yang berasal dari Gianyar. Ia generasi muda Kelenteng Cong Poo Kong Bio di Gianyar. Konon, pada sebuah perjalanan melasti ke Pantai Masceti beberapa puluh tahun lalu, arca Ida Bhatara-Bhatari singgah dan distanakan di kelenteng itu. Pada saat itu terjadilah peristiwa spiritual berupa hujan lokal yang terjadi hanya di sekitar kelenteng. Peristiwa itu semakin menambah keyakinan umat terhadap kebesaran Ida Bhatari hingga akhirnya dituliskan sebagai wacana sejarah pada website kelenteng (baca pada: https://rumahibadah.kemenagbali.com/index.php/id/detail/315).
Saya sempat mendengar kabar momentum Ida Bhatara-Bhatari singgah di Desa Sebatu, Tegalalang. Menurut Jero Penyarikan Alitan, ketika Ida Bhatari disinggahkan, masyarakat Sebatu bahkan sempat mempersembahkan ritual beras gunung sari. Sayang sekali, Jero Penyarikan Alitan tidak ingat peristiwa tersebut terjadi tahun berapa dan digelar untuk tujuan apa.
Pada Karya Agung Danu Kerthi tahun 2018, Ida Bhatara-Bhatari Batur disinggahkan di Desa Bayung Gede dan berstana di sana semalaman. Ida Bhatara-Bhatari dijemput (kauntap) di kawasan Pura Dukuh untuk selanjutnya beramai-ramai diarak berjalan kaki hingga Pura Bale Agung Bayung Gede. Saya yang telah terlibat sebagai pangayah saat itu sangat ingat bagaimana semarak warga adat Bayung Gede mengikuti prosesi dan mempersembahkan upacara layaknya Ngusaba Kadasa ke hadapan Ida Bhatari. Pagi harinya—sebelum Ida Bhatari meninggalkan pura—mereka turut mempersembahkan ritual beras gunung sari. Sayang sekali, pada Karya Agung Danu Kerthi 2023 ritual itu tidak dilakukan karena Bayung Gede sedang melaksanakan brata desa.
Kisah-kisah seputar perjalanan suci Ida Bhatara-Bhatari juga bermekaran di sejumlah desa di Bali Utara. Saya sedikit mengingat peristiwa di kisaran tahun 2002/2003. Kala itu adalah penobatan jero balian dan pemangku di mana bagian akhirnya adalah pelaksanaan melasti ke utara. Arca Ida Bhatara-Bhatari Batur saat itu sempat singgah di Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Masyarakat Batur pun dijamu oleh desa setempat.
Belum lama ini saya bertemu seorang panglingsir dari Desa Les, Tejakula. Ia menceritakan bahwa dahulu jika Ida Bhatara-Bhatari Batur melasti ke Pantai Pegonjongan, Ida Bhatara pasti akan singgah dan beristirahat di Pura Bale Agung desa setempat. Peristiwa itu membekas pada ingatannya, sebab menurutnya hasil panen penduduk akan melimpah-ruah setiap kedatangan Ida Bhatari. Ia meyakini, Ida Bhatari seolah memberikan energi kehidupan berlipat bagi lahan pertanian sehingga tanaman mampu menghasilkan hasil paripurna. Oleh karena itulah, ia sempat menitipkan harapannya kepada saya: apabila ada upacara melasti ke Pegonjongan semoga Desa Adat Batur berkenan menyinggahkan Ida Bhatari ke desanya seperti dahulu.
Saya juga sempat mendengar samar-samar bahwa dalam perjalanan suci Ida Bhatara-Bhatari terdahulu, ada beberapa desa seperti Desa Sangsit, Air Sanih, dan Tejakula yang akan disinggahi. Hanya saja, sampai tulisan ini disajikan, saya belum mendapatkan informasi yang kuat perihal peristiwa itu.
Bersandar pada narasi-narasi tersebut, kita dapat melihat ritual melasti bukan hanya menyoal perjalanan untuk menyucikan arca/pralingga Ida Bhatari, tetapi juga menjadi medium menjaga kekerabatan antarmasyarakat. Melasti menciptakan interaksi dan ikatan antara masyarakat Batur dengan masyarakat desa jejaringnya di hilir. Interaksi itu menjadi modal penting membangun solidaritas demi kesejahteraan bersama.
Namun, teknis pelaksanaan melasti yang saat ini diefisiensi dengan memanfaatkan kendaraan patut pula diperhatikan. Di balik berbagai keunggulannya, pola ini saya amati berpeluang menggerus dan memudarkan interaksi masyarakat Batur dengan desa jejaringnya. Bagaimana nilai-nilai keterhubungan itu tetap bisa bertahan dan diwariskan pada generasi di kemudian hari? Karya Agung Danu Kerthi 2023 kembali membuka ruang perenungan untuk memikirkan pola pewarisan kearifan leluhur yang berkeadilan. [T] [bersambung]