SEBAGAI ANAK yang bertempat tinggal di pinggir pantai, tentu saya sudah akrab dengan pantai dan seisinya, juga kebiasaan masyarakatnya. Saya akrab dengan perahu, pasang surut air laut, dan hilir mudik para nelayan. Saya juga mengerti kapan waktu yang pas untuk menangkap ikan, dan kapan musim ikan melimpah.
Karena memang dilahirkan di sebuah rumah yang barangkali hanya sekedipan mata dari pantai—ya rumah saya bisa dibilang mepet pantai—maka apa yang saya sampaikan di atas benar-benar saya alami sejak kecil.
Maka, pantai bagi saya bukan hanya sebagai tempat rekreasi—atau meminjam istilah sekarang, healing—tapi, pantai saya ibaratkan sebuah taman di tengah-tengah pusat kota, di mana saya bisa menghabiskan waktu di sana, dari bermain pasir, berlarian mengejar ombak, tiduran di pasir pantai dan tentu sebagai tempat merenung juga.
Selama sembilan belas tahun ini, pantai adalah saksi perjalanan kehidupan keluarga saya. Sebab, orang tua saya, selain memilih rumah di pinggir pantai, kami juga hidup dan mencari rejeki dari hasil lautnya. Ya, orang tua saya adalah nelayan. Saya hidup dari orang tua yang setiap paginya harus mendorong sampan dan menunggu di sore hari sembari berharap bapak pulang dengan ikan yang banyak di atas perahunya.
Kehidupan seorang anak pesisir, sejauh yang saya alami, sangatlah unik. Karena, tidak ada seorang pun yang saya temui—mereka yang rumahnya tidak di pinggir pantai, tentunya—mengatakan bahwa dirinya tidak suka dengan pantai. Bahkan, mereka sampai berkeinginan suatu saat bisa memiliki rumah di dekat pantai.
“Kamu enak, ya, rumahnya dekat pantai” atau “Wah, seru dong rumah di pinggir pantai, bisa nyunset setiap sore”. Barangkali, kalimat tersebut sudah sering saya dengar dari mulut teman-teman saya. Tapi saya juga yakin, mereka tidak tahu kalau rumah di pinggir pantai ada tidak enaknya juga.
Selain rumah di pinggir pantai dapat menimbulkan rasa iri teman-teman saya, tentu mereka juga merasa iri dengan kebiasaan masyarakat pesisirnya. Sebab, jika saat musim ikan, mereka sering bilang “Enak banget kamu makan ikan setiap hari”. Ya, sekali lagi saya berpikir bahwa mereka tidak tahu kalau keseringan makan ikan juga tetap ada rasa bosannya.
Ini yang barangkali tidak semua orang tahu tentang kehidupan masyarakat di pesisir pantai. Begini, di tempat saya tinggal, hampir setiap pagi orang-orang yang rumahnya jauh dari pantai, mereka selalu datang dengan membawa kantung plastik atau wadah lainnya untuk berburu ikan gratis hasil tangkapan para nelayan.
Ya, gratis. Ikan yang mereka cari adalah ikan yang telah disortir oleh nelayan setempat, dan merupakan ikan yang bukan ikan target yang nelayan cari. Memang hal tersebut sangatlah wajar bagi kami, kalau ikan yang tidak masuk kategori ikan jual, maka ikan-ikan itu akan dibagi-bagikan kepada siapa pun yang datang.
Bagi kami, masyarakat pesisir pantai di Desa Celukanbawang, sudah akrab dengan hal-hal semacam itu. Hampir mirip dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat pesisir di Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, itu. Mereka menyebut kegiatan tersebut dengan istilah blantik. Sebab, kalau tidak ada yang mengambilnya, maka ikan-ikan itu akan dibiarkan membusuk begitu saja di pinggir pantai.
Selain mencari ikan sebagai mata pencaharian bagi keluarga saya, kami juga memiliki usaha kecil-kecilan di rumah. Kami memiliki warung kecil yang namanya diambil dari nama Bapak. Warung Pak Udin, namanya. Membuat warung di pinggir pantai bukan tanpa alasan, karena Bapak memiliki prinsip “kita harus bisa memanfaatkan momen, di mana hal itu dapat membantu orang lain, dan memberikan rezeki untuk keluarga kita”.
Warung Pak Udin tak seperti warung-warung pada umumnya. Kami hanya buka ketika hasil tangkapan ikan sedang melimpah, atau saat musim ikan saja. Sebab, kami memiliki sebuah balai yang memiliki kamar, yang biasanya digunakan para nelayan beristirahat—bahkan menginap ketika musim ikan. Maka, ketika musim ikan dan banyak nelayan menginap di balai kami, maka hasil penjualan Warung Pak Udin pun meningkat
Kebetulan tempat penampungan ikan atau Balai Nelayan terletak tepat di depan rumah saya. Oleh karena itu, ketika musim ikan melimpah, Warung Pak Udin biasanya hanya membutuhkan waktu satu hari saja untuk menghabiskan seluruh dagangannya. Sebab, yang datang ke Balai Nelayan bukan hanya masyarakat sekitar saja, melainkan dari berbagai daerah seperti para nelayan dari Jembrana.
Tampaknya realitas warung pelabuhan memang seperti itu, selalu ramai pada saat musim ikan saja. Meskipun hanya dengan menu kopi hitam dan mi rebus plus telur, sudah cukup menghangatkan badan nelayan yang basah sepulang menangkap ikan di tengah laut.
Warung Pak Udin, meskipun tidak buka seperti warung-warung pada umumnya, ketika musim ikan, bisa buka sampai 24 jam, setiap harinya. Ya, itu karena banyak nelayan yang menginap di balai kami dan biasanya mereka memesan makanan di tengah malam sesaat sebelum mereka berangkat mencari ikan. Dan itu merupakan keberkahan tersendiri bagi Warung Pak Udin.
Biasanya, untuk mengisi waktu luang sebelum berangkat memancing, mereka bisa bermain kartu atau karaoke di Warung Pak Udin. Ya, bapak memang suka menyanyi. Oleh sebab itu biasanya mereka bernyanyi-nyanyi sembari menunggu giliran untuk berangkat berlayar menangkap ikan. Baik memancing atau menjaring ikan.
Keberadaan Warung Pak Udin sangat dimanfaatkan betul oleh nelayan yang berkumpul di Balai Nelayan. Selain warung kami menyediakan berbagai makanan yang bisa untuk mengganjal perut, adanya balai di warung kami juga merupakan sebuah keuntungan bagi para nelayan. Sebab, mereka tak perlu pulang-pergi ke rumah mereka yang notabennya lumayan jauh jaraknya dari Balai Nelayan.
Sejak adanya warung itu, bagi saya sangat memberikan keberkahan di keluarga kami. Sebab, menurut saya, sebuah kebahagiaan itu terletak pada senyuman orang tua. Dan senyuman itu menjadi senyum bahagia ketika dagangan mereka laku dan habis.[T]