31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Erich Fromm, Psikoanalisis, dan Zen Buddhisme: Eksegesis tentang Degradasi Egotistical dan De-Represi

Made Ferry KurniawanbyMade Ferry Kurniawan
October 28, 2023
inEsai
Erich Fromm, Psikoanalisis, dan Zen Buddhisme: Eksegesis tentang Degradasi Egotistical dan De-Represi

Erich Fromm | Foto: Logos Indonesia, diolah tatkala.co

ERICH FROMM (1900-1980) lahir di am Maim, Jerman. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Naphtali Fromm dan Rosa Fromm (nee Krause). Sebagai seorang yang lahir dari keluarga penganut Yahudi Ortodoks, Erich Fromm menghabiskan sebagian besar masa mudanya untuk memelajari Talmud. Walaupun ia berhenti memelajari kitab suci dan secara total meninggalkan liturgi ke-Yahudi-an pada usia 26 tahun.

Kendati demikian, cara pandangnya tentang dunia, banyak dipengaruhi oleh horizon Yudaisme. Meminati studi etika dan hukum, memantik Fromm untuk masuk jurusan hukum di Universitas Frankfurt. Dan, pada tahun 1919 memelajari studi sosiologi di bawah bimbingan Alfred Weber (saudara Max Weber) di Heidelberg.

Minat psikoanalitik Fromm mulai terlihat ketika ia menyusun disertasi pada tahun 1922, dengan memahami secara total ide-ide Sigmund Freud. Di sinilah titik awalnya mulai mengembangkan teori, metode, dan cara pandang terhadap dunia sosial melalui instrumentasi psikoanalisis.

Pemikiran Erich Fromm banyak dinarasikan dalam bahasa Jerman. Untungnya, jejak kompendiumnya banyak diterjemahkan ke berbagai jenis bahasa, terutama ke dalam bahasa Inggris. Sehingga, pokok penting mengenai psikoanalisis, sosiologi atau teori sosial bisa dinikmati oleh akademisi non-Jerman dan yang hanya bisa berbahasa Inggris—seperti saya, misalnya.

Para pembelajar menaruh minat besar pada analisis Fromm tentang sosio-psikoanalitik, otoritarianisme, adagium ‘karakter pemasaran’, kekuatan produktif manusia yang meliputi akal, budi dan cita, internalisasi ide mengenai sikap humanistik, dan pemahaman seni hidup untuk mencapai ‘masyarakat yang waras’.

Mengenai ‘masyarakat yang waras’, Fromm mencoba memformulasikan dan menciptakan katalisator psikoanalisis, guna menghubungkan narasi neurotik dengan ajaran Zen Buddhisme. Hal tersebut dilakukan untuk membuat formula baru dalam mendistorsi ketidakbahagiaan, atau melakukan de-represi sebagai realitas psikotik masyarakat era ini.

Individu dan komunitas sosial saat ini, oleh Fromm digambarkan sebagai ‘keadaan yang terdegradasi’. Maksudnya, baik dalam skala mikro, meso, atau makro sosial, kita telah mengalami krisis eksistensi dan berada dalam pusaran krisis. Citra krisis tersebut digambarkan sebagai malaise, ennui, mal du siècle, ‘kelumpuhan hidup’, otomatisasi manusia, alienasi dari diri-sendiri, dari sesamanya dan dari alam.

Manusia dalam limitasinya, dipaksa untuk mengejar rasionalisme sampai pada titik kulminasi. Mengejar rasionalisme sampai titik tersebut diistilahkan dengan ‘hilangnya hakikat ke-diri-an manusia’ dan kepasitas nalar mereka telah menjadi ‘irasionalisme total’. Fromm melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan, semenjak kelahiran filsafat modern—dipelopori oleh Descartes—manusia telah terpisah dari kemampuan afeksinya, hanya pikiran yang dianggap rasional, dan dimensi afeksi diasosiasikan irasional.

Cara berpikir rasional melahirkan entitas intelektual, yang berkuasa atas alam serta manusia dipaksa untuk memroduksi lebih banyak benda-benda—diinterpretasikan sebagai antroposentrisme, kapitalisme dan ‘ekonomi berbagi’. Dalam keadaan seperti itu, manusia tekah mengubah dirinya menjadi elemen subordinat, membiarkan keadaan corporeal yang didominasi oleh hasrat-hasrat untuk memiliki. Akumulasi dari keterkungkungan itu ‘menyeret’ manusia ke dalam keterpurukan dan keterlemparan pada situasi schizoid.

Schizoid adalah ketidakmampuan untuk memahami dan mengalami afeksi—dan karenanya, individu menjadi cemas, takut, terepresi dan putus asa. Meski mereka masih ‘berbasa-basi’ dengan tujuan hidup yang bahagia, inisitatif untuk bebas dari keterbelegguan, sebenarnya kita sama sekali tidak memiliki tujuan.

Keadaan-keadaan yang menekan itu tentu menghambat penciptaan ‘masyarakat yang waras’, sehingga dibutuhkan formula khusus untuk melakukan de-represi atas keadaan tersebut. Disinilah Fromm banyak menggunakan kompendium Zen Buddhisme sebagai ‘jembatan psikoanalisis’ dalam menciptakan ‘kewarasan sosial’.

Fromm melihat bahwa Zen Buddhisme berkontribusi besar dalam menciptakan ‘kewarasan sosial’ karena Zen mengajarkan tentang realisme unggul—bagi pemikir Barat, pemikiran Zen dan Buddhisme jauh lebih rumit dari konsepsi Heraclitus, Meister Eckhart atau Heidegger. Ia dan ajaran Buddha mampu melihat manusia secara realistis dan objektif. Dikatakan bahwa, manusia tidak memiliki seseorang atau siapapun kecuali dirinya sendiri. Ke-diri-an itu akan bangkit dan membimbingnya.

Zen menuntun manusia untuk menemukan jawaban atas pertanyaan eksistensi, dan tidak serta merta bertentangan dengan rasionalitas, realisme, dan independensi yang menjadi capaian berharga bagi manusia modern. Fromm melihat, esensi Zen dan linieritasnya dengan psikoanalisis adalah seni untuk memahami hakikat keberadaan diri, juga orang lain—menunjukkan jalan keluar dari keterbelengguan menuju kebebasan.

Keterbelengguan diartikan sebagai kegilaan serta kelumpuhan. Sedangkan, kebebasan menjadi inti dari penjelasan psikoanalisis untuk menciptakan dorongan kreatif yang secara inheren ada dalam setiap diri individu. Dengan ini, manusia memiliki kapasitas untuk membuat diri mereka bahagia secara utuh—kondisi de-represi. Di sini bisa kita pahami bahwa Fromm dan Zen Buddhisme melahirkan kanonisme tentang indepndensi, social emphatic, dan berkontribusi besar membentuk karakter diri.

Selain itu, melalui ajaran Zen, Fromm berupaya melahirkan ‘radical humanism’ atau manusia yang secara intelektual memahami tujuan hidup dan akar eskatologisnya (Durkin, 2023; Wilde, 2015). Fromm mencoba memahami keadaan problematik yang merepresi manusia, ia menegaskan bahwa tiap individu harus menyadari partikularitas sekaligus dependensinya dengan orang lain. Dengan demikian, mereka bisa memosisikan diri kapan menjalani hakikat sebagai individum dan kapan menjalani esensi sebagai socius.

Melalui perkawinan psikoanalisis dan ajaran Zen, Fromm berhasil membangun psychotherapy, menyeimbangkan antara kebutuhan diri dan kolektivisme (Alexander, 2021; Harris, 2019). Inilah jalan fundamental menuju ‘masyarakat yang waras’, di mana individu mampu mengikis egotistical, ‘mengosongkan diri’ dan menyongsong kebangkitan penuh dari kepribadian total menuju kenyataan.

Dengan mengombinasikan narasi psikoanalitik dan Buddhisme, Fromm menyatakan, manusia yang mampu mengikis egotistical dan telah ter-de-represi, mengalami kebangkitan penuh akan realitas. Maksudnya, individu tersebut mampu mencapai ‘orientasi produktif’ seutuhnya.

Dalam keadaan ‘orientasi produktif’, mereka tidak lagi menghubungkan diri sendiri dengan dunia secara represif, eksploitatif, tertimbun oleh orientasi materialistik atau pasar. Melainkan, secara kreatif dan aktif membangun produktivitas penuh bahwa tidak ada tabir yang memisahkan antara Aku dan bukan-Aku, objek bukan lagi objek, dan objek itu sendiri tidak bertentangan, melainkan menyertaiku. Dalam mode perseptual semacam ini, tidak ada lagi distorsi parataksis sama sekali.

Aku mengalaminya secara intens—namun objek dunia dibiarkan apa adanya. Aku menghidupinya, dan objek itupun menghidupiku. Melalui pernyataan itu, Fromm ingin menjelaskan bahwa manusia bukanlan entitas superior, ia harus menurunkan egosektoralnya. Dengan mendegradasi ego itu, kebehagiaan dan depresi bisa diminimalisir. Ia juga menegaskan tentang efek lain dari rasionalitas. Rasionalitas dipandang sebagai sumber penderitaan, karena mengharuskan manusia mendefinisikan setiap fenomena, dan proses penciptaan sebuah terminologi berimbas pada keangkuhan serta tingkat depresi yang luar biasa.

Maka dari pada itu, menurut Fromm (dengan menyadur pemikiran Zen), manusia harus ditempatkan dalam sebuah dilema, yang darinya ia harus melarikan diri, tidak melalui logika, tetapi melalui pikiran yang lebih tinggi. Inilah sisi positif dan tujuan etis Zen, yang dalam psikoanalisis diartikan sebagai cara untuk mencapai totalitas ketenteraman dan keberanian, agar dapat beranjak dari keterbelengguan/kemelekatan menuju kebebasan.

Melalui Zen, Fromm menambahkan bahwa pemikiran Buddhisme berkontribusi besar dalam psikoanalisis karena adanya penegasan karakter dan non-intelektualitas, yang semua masalah hidup tidak cukup diselesaikan dengan akal budi, di mana rasonalitas kerap kali memenjarakan manusia pada keegoisan serta penderitaan. Sejauh mana manusia bisa melepaskan diri dari realitas material dan filter sosial (bahasa serta logika), mampu mengalami dirinya secara universal, sejauh itu pula represi dapat diminimalkan.

Jika represi dapat diminimalkan, maka tidak ada lagi pertentangan antara bawah sadar dengan kesadaran. Kesadaran yang digapai dengan keterbukaan diri, atau demi melonggarkan filter sosial, beragam kontradiksi akan lenyap. Lenyapnya kontradiksi akan menghadirkan pengalaman sadar secara langsung, tak-terefleksi atau jenis pengalaman yang hadir tanpa inteleksi.

Terakhir, dalam pengalaman yang hadir tanpa inteleksi, manusia mengalami penggapaian langsung. Ia sebagai ‘seniman kreatif kehidupan’, mampu mengekspresikan orisinalitas, kreativitas dan sisi kepribadian yang hidup. Tidak ada konvensionalitas, konformitas, dan tidak ada sesuatu yang menghambat.

Mereka tidak lagi memiliki jati diri yang terbungkus dalam eksistensi ego-sentris. Individu yang telah membersihkan dirinya dari ‘interferensi inteleksi’, dapat mewujudkan kehidupan bebas, spontan dan keberadaan perasaan yang mengganggu (ketakutan, kecemasan atau ketidaknyamanan) tak memiliki ruang untuk menyerangnya.

Dari narasi di atas, bisa dilihat bahwa Fromm memformulasikan kembali aras pemikiran Zen sebagai basis konstruksi simbolik dalam membangun pemahaman human psyche dan socio-analysis. Dengan tepat menarasikan human character untuk menghindarkan manusia dari beragam jenis kecemasan ataupun alienasi (Cheliotis, 2011; Durkin & Braune, 2021; Friedman, 2014).

Inilah ulasan panjang Zen yang coba dinarasikan ulang oleh Fromm tentang upaya menciptakan individu waras di tengah geliat ‘kegilaan sosial’.[T]

Daftar Pustaka

  • Alexander, J. C. (2021). The Prescience and Paradox of Erich Fromm: A Note on the Performative Contradictions of Critical Theory. Thesis Eleven, 165(1), 3–9. https://doi.org/10.1177/07255136211032830
  • Cheliotis, L. K. (2011). For a Freudo-Marxist Critique of Social Domination: Rediscovering Erich Fromm Through the Mirror of Pierre Bourdieu. Journal of Classical Sociology, 11(4), 438–461. https://doi.org/10.1177/1468795X11415133
  • Durkin, K. (2023). Book Review: Neil McLaughlin, Erich Fromm and Global Public Sociology. Sociology, 57(1), 253–254. https://doi.org/10.1177/00380385221081396
  • Durkin, K., & Braune, J. (2021). Book Review: Erich Fromm’s Critical Theory: Hope, Humanism, and the Future. European Journal of Social Theory, 24(1), 165–169. https://doi.org/10.1177/1368431020942496
  • Friedman, L. J. (2014). Book Essay on The Lives of Erich Fromm: Love’s Prophet. Journal of the American Psychoanalytic Association, 62(3), 503–519. https://doi.org/10.1177/0003065114536613
  • Harris, N. (2019). Reconstructing Erich Fromm’s ‘Pathology of Normalcy’: Transcending the Recognition-Cognitive Paradigm in the Diagnosis of Social Pathologies. Social Science Information, 58(4), 714–733. https://doi.org/10.1177/0539018419881403
  • Wilde, L. (2015). The Radical Humanism of Erich Fromm. Political Theory, 13(4), 565–566. https://doi.org/10.1111/1478-9302.12101
Fyodor Dostoyevsky: Prolegomena tentang Penderitaan, Kegilaan, dan Kekonyolan
Pemikiran Soedjatmoko tentang Pendidikan Abad ke-21 dan Masa yang akan Datang
Catatan Dari Meja Rene Descartes | Seri Pertama Soal Being
Filsafat Pendidikan Emansipatif Jacques Ranciére
Siasat Filsafat “Tractatus Logico Philosophicus” dalam Hidup Wittgenstein
Tags: esaifilsafatPsikologitokoh
Previous Post

“Gema Ladang”: Nyanyian Ladang dan Ratapan dari Flores Timur

Next Post

Bulan Bahasa: Momen Refleksi Diri dalam Penggunaan Bahasa

Made Ferry Kurniawan

Made Ferry Kurniawan

Mahasiswa S2 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Next Post
Bulan Bahasa: Momen Refleksi Diri dalam Penggunaan Bahasa

Bulan Bahasa: Momen Refleksi Diri dalam Penggunaan Bahasa

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more

PENJARA: Penyempurnaan Jiwa dan Raga

by Dewa Rhadea
May 30, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

DALAM percakapan sehari-hari, kata “penjara” seringkali menghadirkan kesan kelam. Bagi sebagian besar masyarakat, penjara identik dengan hukuman, penderitaan, dan keterasingan....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co