PRESIDEN SOEHARTO telah mencanangkan Mei sebagai Bulan Buku pada 1995, saat menjelang 50 tahun Indonesia Merdeka, dengan menjadikan Hardiknas sebagai momentum. Soeharto juga sempat mencanangkan September sebagai Bulan Gemar Membaca dengan Hari Aksara Internasional (8 September) sebagai momentum dan 14 September sebagai Hari Kunjung Perpustakaan.
Dua puluh satu tahun kemudian pada 2016, ketika Mendikbud dijabat Anies Baswedan juga menetapkan Mei sebagai Bulan Pendidikan. Dengan semangat Hardiknas. Anies Baswedan juga mewariskan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sampai kini masih dilakukan sekolah-sekolah. Semua program itu bertautan dengan buku yang kini bentuknya bisa berupa buku cetak atau buku digital.
Artinya, betapa pentingnya arti membaca buku bagi dunia Pendidikan dalam memajukan peradaban sebuah bangsa. Tidak berlebihan bila Taufiq Ismail menjuduli salah satu puisinya, “Kupu-Kupu di dalam Buku”, yang menjadi judul tulisan ini.
Apa makna di balik perayaan dan pencanangan itu ? Pertama, para pemimpin bangsa khawatir rendahnya budaya membaca buku ini, tidak saja dari kaum rakyat biasa tetapi juga dari kaum terdidiknya. Kekhawatiran itu terlihat dari suburnya budaya menerabas dan pencapaian serba instan. Sering munculnya berita plagiat di kalangan kaum terpelajar Indonesia adalah bukti rendahnya budaya literasi. Tantangan itu makin nyata pada zaman digital kini dengan respon serbacepat dan apresiasi yang sama untuk sebuah pencapaian dengan ungkapan : mantap, keren, top, sebagai bentuk pujian..
Kedua, para pemimpin Indonesia dari masa ke masa paham betul dan sadar bahwa membaca (buku dengan berbagai variannya) itu penting untuk merawat ingatan dan membangun peradaban. Kaum literat sering menganalogikan kekayaan berupa buku atau lontar sebagai Candi Pustaka yang perlu terus dirawat, dibina, dan dikembangkan untuk menyehatkan batin bangsa selain juga menyehatkan raga bangsa seirama dengan Indonesia Raya, “… bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”. Orde Baru menyimplifikasikannya dengan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Walaupun Gerakan itu telah dilakukan lebih dari dua dekade, bahkan emberionya jauh sebelum Indonesia Merdeka yang ditandai dengan berdiri Commisie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat) oleh Belanda pada 14 September 1908, persoalan literasi di negeri ini belum menunjukkan perbaikan secara signifikan yang akarnya dapat diurai dari dunia Pendidikan.
Selama ini, dunia Pendidikan (dalam arti luas) kaya dengan ritual yang spiritnya masih terus-menerus harus diperjuangkan agar substansinya makin nyata adanya. Itu pula sebabnya, berbagai gerakan yang dicanangkan dengan biaya besar berhenti seketika setelah kegiatan secara serimonial ditutup pejabat. Ritual selalu ramai pada awalnya, setelahnya nyaris tak terdengar.
Tidak berlebihan, dalam konteks literasi temuan Lukman Ali (2000) menunjukkan tidak satu pun ditemukan SMU (kini : SMA) di Indonesia yang melaksanakan pembelajaran Sastra dengan kewajiban membaca, menganalisis, dan mendiskusikan buku karya sastra di kelas.
Pada 1996, empat tahun sebelum temuan Lukman Ali yang mengatakan nol buku bagi Indonesia terkait pembelajaran Sastra dibandingkan dengan 13 negara yang diteliti, Taufiq Ismail telah menulis puisi berjudul, “Kupu-Kupu di dalam Buku”. Puisi ini mencerminkan kegundahan pengarang tentang rendahnya budaya baca buku di negeri ini yang berbeda dengan negara-negara maju.
“Ketika singgah di sebuah rumah, kulihat ada anak kecil bertanya tentang kupu-kupu
pada mamanya, dan mamanya tak bisa menjawab keingitahuan putrinya, kemudian katanya, “Tunggu mama buka ensiklopedia dulu, yang tahu tentang kupu-kupu”. dan aku bertanya di rumah negeri mana gerangan aku sekarang,
Agaknya inilah yang kita rindukan bersama, di setasiun bis dan ruang tunggu kereta
api negeri ini buku dibaca, di perpustakaan Perguruan, kota dan desa buku
dibaca, di tempat penjualan buku laris dibeli, dan ensiklopedia yang terpajang
di ruang tamu tidak berselimut debu karena memang dibaca.
Puisi itu mengingatkan kita untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat di mana saja (desa), kapan saja (kala) dengan cara apa saja (patra) walaupun sudah mengantongi ijazah yang disebut STTB (Surat Tanda Tamat Belajar). Seyogyanya STTB menjadi Surat Tetap Terus Belajar. Dengan begitu, orangtua, guru, tokoh masyarakat sama-sama belajar dengan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Argumentasi dibangun dengan rujukan buku-buku/jurnal bermutu dari hasil penelitian yang dapat dipercaya dengan dukungan data akurat.
Setelah 78 tahun Indonesia merdeka angka melek aksara menunjukkan peningkatan signifikan, dari 2 persen penduduknya yang melek aksara pada awal kemerdekaan, kini sudah menjadi 96 persen yang melek aksara (Ismunandar Kompas.id, 8/9/2022) Dari persentase kenaikan angka melek huruf ini membanggakan tetapi tampak bias gender yang bertentangan dengan semangat demokratisasi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Bangsa yang cerdas menjadi hak bagi seluruh warga negara tanpa padang bulu dan menjadi kewajiban bagi negara untuk mengusahakan dan memperjuangkannya.
Pemerintah juga terus-menerus mengusahakan pengadaan buku di sekolah-sekolah, taman bacaan masyarakat terus diberdayakan, perpustakaan desa juga terus digalakkan. Sekolah dapat menggunakan dana BOS untuk pengadaan buku teks dan nonteks termasuk pengadaan buku digital, langganan koran dan majalah.
Pemerintah desa juga dapat menggunakan dana desa untuk memerkaya koleksi perpustakaan desa. Gairah membaca buku di kalangan masyarakat desa dapat bekerjasama dengan Tripusat Pendidikan dengan masing-masing pusat ada penggeraknya seperti layaknya sekolah penggerak. Cara-cara aktif-produktif dan menyenangkan diagendakan. Pendongeng bisa diundang untuk penguatan membaca buku. Lomba-lomba digelar secara berjenjang untuk melahirkan duta baca/duta literasi desa.
Duta literasi desa bisa dioptimalkan dengan mengadakan konferensi duta literasi daerah, regional, dan nasional. Mereka dapat dimanfaatkan untuk mengedukasi masyarakat lapisan bawah agar terhindar dari berita bohong. Fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dapat dimulai dari sini. Dari desa. Ini perlu langkah bersama sesuai dengan semangat Pengembangan Komunitas Berbasis Aset yang dilaksanakan di sekolah penggerak dengan Kurikulum Merdeka. [T]
- BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT