SINGARAJA memiliki beberapa cerita historis, yang bisa dikatakan, membuat bangga masyarakatnya. Sebut saja, Singaraja sebagai kota kelahiran ibu dari putra sang fajar (sebutan untuk Ir. Soekarno).
Kemudian setelah era kemerdekaan, Singaraja pernah menjadi pusat pemerintahan di Bali, hingga kemudian secara resmi dipindahkan ke Denpasar pada 23 Juni 1960. Dan yang terpenting menurut saya, Singaraja pernah mendapat julukan sebagai Kota Pendidikan karena di sekitar tahun 1980, berdiri Fakultas Keguruan pertama di Bali yang mana saat itu, masih menjadi salah satu bagian dari Universitas Udayana.
Dua sejarah terakhir yang saya sebutkan, sudah tidak lagi melekat pada kota kelahiran saya ini. Saya tidak yakin betul, kapan tepatnya brand image sebagai kota pendidikan ini mulai menghilang. Namun, ketika Singaraja Literary Festival membuat workshop untuk menulis gagasan apa yang bisa saya berikan untuk memajukan kota ini kedepannya, saya rasa ini kesempatan terbaik saya untuk bisa menyampaikan segala kegundahan, pendapat, saran serta keinginan saya untuk mengembalikan branding Singaraja sebagai Kota Pendidikan, dalam versi modern.
Tahun 2011, saya menamatkan pendidikan terakhir saya di SMA N 1 Singaraja. Seperti yang kita ketahui, SMA 1 Singaraja terkenal akan siswa-siswinya yang berprestasi dan cemerlang. Saya sangat jumawa saat itu, karena saya, orangtua saya, bahkan keluarga saya di desa, bisa dengan bangga menyebut dimana putri semata wayangnya bersekolah.
“Dije panake masuk?”
“Di SMANSA, nak kemula dueg ye.”
Ya, saat itu, nilai akademik dan prestasi saya cukup baik. Dan saya pikir, itu semua sudah cukup. Setelah menamatkan bangku SMA, saya akan kuliah dan memiliki karir yang cemerlang. Tapi ternyata, dunia nyata tidak bekerja sesederhana itu.
Dunia nyata, tidak cukup dengan orang-orang pintar yang memiliki sederet nilai A+. Dari pengalaman hidup yang saya jalani, pendidikan karakter dan pola pikir yang solutif jauh lebih penting, melampaui nilai akademik itu sendiri. Berapa banyak dari para siswa di sini, yang harus menyontek hanya agar bisa melampaui passing grade yang ditetapkan? Syukurnya sudah ada Kurikulum Merdeka yang sedang ditahap uji coba, tapi bagaimana jika kita mencoba berpikir jauh ke depan, mengenai sistem pendidikan kita?
Seberapa banyak teknologi sudah masuk kekehidupan kita dalam 10 tahun terakhir? Lalu, sudah seberapa banyak perkembangan dunia pendidikan kita untuk beradaptasi dengan teknologi itu selama 10 tahun terakhir? Yes. Ada masalah dengan dunia pendidikan kita di Indonesia, karena kita hingga saat ini, belum menemukan formula yang tepat untuk bisa dikategorikan sebagai Negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Jadi, gagasan saya untuk Kota Singaraja yang begitu saya cintai, salah satunya untuk berkonsentrasi pada dunia pendidikan dan mengembalikan julukan lamanya. Singaraja harus dikenal sebagai kota dimana banyak para orang-orang kreatif, cerdas dan terdidik tercipta. Kota yang menelurkan begitu banyak tokoh intelektual, budayawan dan juga seniman. Baik dulu, saat ini dan hingga ribuan masa mendatang.
Jika memungkinkan, suatu saat nanti, saya ingin mendirikan lembaga pendidikan formal dengan konsep boarding school mulai dari tingkat SD hingga SMA. Di sini, saya tidak mencari anak-anak pintar yang ingin nilainya sempurna. Saya mencari anak-anak yang ingin memberi dampak dan bermanfaat, bukan hanya untuk diri merek sendiri, tapi untuk orang-orang di sekitarnya. Anak-anak yang ingin saya didik untuk memiliki integritas, komitmen dan tentunya kecintaan untuk membangun negeri.
Metode pembelajaran yang akan saya gunakan adalah kombinasi Waldorf (metode pendidikan yang dirintis oleh Rudolf Steiner dari Austria) dan Sariswara (metode pendidikan yang digagas oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara). Kedua metode ini mengedepankan aspek kesenian dalam proses pembelajarannya dan menumbuhkan rasa cinta belajar dari dalam diri anak-anak itu sendiri, bukan dari iming-iming hadiah liburan ke luar negeri.
Penggabungan dua metode ini penting menurut saya untuk ditanamkan sejak dini untuk mengasah imajinasi, kreativitas dan rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Selain itu, saya meyakini bahwa Buleleng sangat berpotensi melahirkan generasi-generasi kreatif yang berdedikasi pada dunia seni.
Untuk menuju semua itu, saya akan mulai dengan membangun karakter dan rasa cinta mereka terhadap sekolah, di mulai dari tingkat Sekolah Dasar. Karena tidak jarang, anak-anak kelewat dimanja oleh orangtua mereka karena para orangtua tidak tahan pada rengekan. Mereka berlindung di balik kata ‘sayang’, tapi jika itu menjadi boomerang, bukankah kata ‘sayang’ tersebut pantas untuk dipertanyakan? Untuk bisa mengurangi rasa ‘sayang’ yang berlebihan dari orangtua, maka saya pikir konsep asrama adalah yang terbaik untuk dilakukan.
Selama 6 tahun di Sekolah Dasar, anak-anak akan fokus, bukan pada hitung-hitungan 1+1=2, melainkan pada pendidikan budi pekerti, empati, kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan bukan untuk citra diri, tapi menumbuhkan rasa bahagia dalam diri mereka sejak dini. Mereka akan belajar untuk menjawab : Kenapa 1+1=2 dengan segala imajinasi yang mereka bayangkan. Itu salah satu contoh idenya.
Lanjut ke tingkat Sekolah Menengah Pertama, anak-anak ini akan memasuki usia remaja dimana secara naluriah dan hormonal, mereka memang akan memiliki hasrat dan ketertarikan pada remaja lainnya. And this is so normal! Kita hanya harus mengarahkan mereka tentang konsep konsensual, mengajari mereka bagaimana cara untuk membagi waktu untuk diri mereka sendiri sebagai pelajar dan sebagai remaja. Membimbing mereka, untuk menjadi versi terbaik yang mereka bisa. Di tahap ini, akan ada banyak kegiatan extrakurikuler yang bisa mereka coba untuk lebih memahami potensi diri mereka di masa mendatang.
Berikutnya, tingkat Sekolah Menengah Akhir, dimana mereka akan dipersiapkan untuk menjadi orang dewasa sebelum pada akhirnya siap dilepas ke dunia nyata. Di fase ini, mereka sudah tidak lagi menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari teori di ruang kelas, namun akan lebih banyak berkegiatan di luar sekolah. Mengerjakan proyek berkelompok ataupun secara individu, membuat riset atau karya ilmiah, membuat kegiatan hiburan rakyat untuk mengasah mental dan keterampilan dan masih banyak lagi.
Di tahun terakhir, mereka akan mendapat kesempatan magang di profesi yang mereka cita-citakan, untuk melihat langsung realita dunia kerja di lapangan, sebelum benar-benar memutuskan untuk lanjut kuliah di jurusan yang sebelumnya ingin mereka tuju.
Sebagai contoh, sebut saja Niluh, ingin menjadi dokter kandungan. Saat kelas 3 SMA, dia akan magang di klinik bersalin sebagai staff administrasi atau sekedar asisten bidan atau doula untuk para ibu yang akan melahirkan. Tentu sebelumnya mereka akan diberikan kesempatan untuk belajar dasar-dasar teorinya.
Namun, setelah melihat aksi dokter kandungan dalam jarak yang begitu dekat, Niluh baru menyadari kalau proses melahirkan membuatnya begitu ketakutan. Jerit histeris para ibu yang melawan sakit membuatnya merinding sepanjang hari. Setelah menyadari bahwa menjadi dokter kandungan mungkin bukanlah profesi yang tepat untuknya, ia masih berkesempatan untuk mengubah tujuan karirnya. Tentu saja dengan dibekali konseling oleh psikolog remaja yang ahli di bidangnya.
Akhir kata, sebagai orangtua, saya menyadari bahwa fondasi awal untuk pembentukan karakter anak-anak adalah melalui keluarganya. Namun, realitanya saya sadar bahwa berkarir sambil mendidik anak itu bukan tugas yang mudah dan jika ada lembaga pendidikan yang lebih kompeten untuk melakukannya, saya rasa tidak ada yang salah untuk menyerahkan pendidikan awal kepada orang yang ahli di bidang tersebut. [T]
- Esai ini adalah salah satu hasil dari workshop menulis gagasan tentang Kota Singaraja pada acara Singaraja Literary Festival 2023