Dirangkum oleh Cendhani Sari dan Ayu Dewantari
“Titip kak ya, sama kakak panitia, makasih udah ngadain lomba, saya jadi bisa baca puisi kayak bapak dan kakek saya…,” ujar Utari, siswi SDN 1 Lokapaksa, Bali.
Berikut sebuah potongan wawancara dari salah satu peserta Lomba Membaca Puisi dalam Singaraja Literary Festival. Tahun ini, tepatnya pada tanggal 29 dan 30 Septermber beserta 1 Oktober 2023, telah diselenggarakan sebuah wadah eksplorasi gagasan terhadap peninggalan seni di masa lalu melalui Perpustakaan Lontar di Gedong Kirtya. Namun acara yang diprakarsai oleh Kadek Sonia Piscayanti (Direktur Singaraja Literary Festival) dan Made Adnyana Ole (Pendiri Yayasan Mahima Indonesia) juga secara tersirat memiliki misi lain yakni untuk membangkitkan lagi semangat kesenian dalam konteks yang lebih luas.
.
Antusiasme yang ditunjukkan pengunjung festival terhadap acara ini sangat positif. Dari pengambilan data acak (random sampling) yang dilakukan di Gedong Kirtya, Puri Kanginan, Museum Buleleng dan Sasana Budaya, keseluruhan pengunjung yang diwawancarai secara signifikan menginginkan festival perdana ini untuk hadir kembali di tahun selanjutnya. Berikut potongan wawancara lain dari beberapa perspektif pengunjung terhadap acara ini:
“Ini festival perdana ya, tapi udah cukup bagus. Nonton juga pagelaran wayang dan pembukaan acaranya, perbanyak pertunjukan visual kak, misal ide cerita dari lontar tapi versi live-action mungkin?” ujar Narita, Pengajar di SMK Swasta di Singaraja.
“Seneng ya bisa ikut lomba puisi, terus kalo bisa puisinya diacak aja kak, biar ada kejutannya untuk peserta” kata Lestari dari SMPN 2 Busungbiu.
“Sangat cocok sama jurusan saya, bisa belajar nuangin ide kita dalam tulisan, rekomendasi banget untuk yang suka sastra” kata Anggi, mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha.
.
“Cukup terkait sih acara ini dengan mata kuliah saya, jadi ya, saya kesini juga nyari penerapan-penerapan ilmu kebudayaan, jadi di kampus belajar ilmunya, disini tentang bagaimana ilmu itu dikemas menjadi sebuah penampilan” ujar Kika, Mahasiswa Jurusan Agama dan Kebudayaan.
“Melihat dari luar, sepertinya modern tidak seperti dulu. Mudah-mudahan ndak berhenti sampai disini, dikembangkan lagi,” ujar Kakek Made, warga dari Kelurahan Paket Agung, Singaraja.
“Sangat mendukung ya acaranya ini, anak-anak juga butuh media untuk menyalurkan minatnya seperti berpuisi, kami kan sekolahnya agak di pelosok jadi kesempatan ini sangat berarti bagi anak-anak kami,” ujar Bu Mega dari SMPN Satu Atap 1 Sukasada.
.
“Saya suka membaca buku-buku mengenai pengetahuan umum yang ternyata merupakan cucu dari pengetahuan yang tertuang di Gedong Kirtya, kalau bisa mendapat sumber intinya, mengapa tidak coba datang dan melihatnya sendiri, begitu…” Itu opini Tobing, seorang pegawai Instansi Pemerintah.
“Ternyata di lontar itu banyak sekali pembahasannya yang relate dengan kehidupan kita sehari-hari. Sebenarnya kami ingin juga nanti diadakan lebih banyak ruang untuk membahas hal yang terkesan tabu, agar tidak menjadi tabu lagi.” Begitu harapan beberapa pengunjung remaja belia yang datang di Singaraja Literary Festival ini.
“Saya pribadi tertarik dengan piramida kultur-kultur di Bali, makanya ikut kesini. Menariknya lagi saya mendapat perspektif mengenai perbedaan sejarah dan sastra, dimana sejarah merupakan sesuatu yang telah terjadi di masa lalu sedangkan sastra memiliki kecenderungan untuk berulang,” kata Odin, mahasiswa Universitas Negeri Padang.
“Tau dari media sosial, lumayan deg-degan, mau ikut Workshop Pak Hendri. Saya suka bukunya yang Filosofi Teras, ngajarin buat jangan overthinking, jangan mikirin hal yang diluar kendali kita,” kata Ayu, Apoteker dari Kabupaten Klungkung, Bali.
“Bagus sih kak ya, ada kesenian, sejarah, bedah buku, nggak nyangka acaranya sebagus ini, tapi memang infonya kak, sebaiknya lebih disebarluaskan lagi, ini aja saya tau dari teman saya. Saya takut jadinya kak, apakah saya boleh ikut acaranya ini atau tertutup untuk umum?” kata Purnamawati, mahasiswi Universitas Pendidikan Ganesha.
“Penasaran sih kak sama acaranya, tau dari Kopi deKakiang, liat story-nya terus pengen dateng kesana,” ujar Septa, karyawati sebuah Restoran di Lovina.
“Already good, maybe more book sellers. To recommend this event? Sure will…” ujar Mike dari Amerika Serikat.
“Kebetulan saya mahasiswi dari luar Bali kak, jujur saya masih kurang paham betul tentang kesenian disini, apa mungkin ke depannya ada sebuah corner yang menjelaskan Singaraja itu sejarah keseniannya bagaimana? Sebagai perkenalan ibaratnya sebelum mengikuti acara festival…” ujar Vidya, mahasiswi yang berasal dari Jawa Barat.
.
“Pernah saya ditugaskan untuk meliput di Gedong Kirtya, memang justru yang berkunjung kebanyakan orang asing ya dibanding warga lokal, kebetulan saya juga tinggal di dekat kawasan Gedong Kirtya dan melihat, lebih banyak bus wisatawan, kenapa nggak sekolah misal dari TK, SD sampai yang kuliah, merencanakan studi tur kesana? Memperkenalkanlah istilahnya…,” kata Putra, seorang Pegawai Pemerintah yang berkecimpung di bidang Fotografi.
Tidak hanya antusiasme yang ditunjukkan oleh pengunjung festival, namun semangat membangkitkan lagi wahana intelektualitas dan kesenian di Singaraja juga ditunjukkan oleh berbagai instansi, komunitas, maupun panitia Singaraja Literary Festival itu sendiri.
“Jadi Singaraja Literary Festival ini memiliki gagasan untuk mengalihwahanakan pemikiran-pemikiran di masa lalu yang tersimpan dalam manuskrip lontar di Gedong Kirtya melalui teks pertunjukkan, teater, film dan lain-lain. Kami ingin mengajak generasi muda untuk lebih aware terhadap kekayaan yang ditinggalkan oleh para leluhur kita,” sebut Sonia Piscayanti dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun radio di Singaraja.
.
“Festival ini merupakan langkah yang sangat baik, saya berharap tahun depan ada lagi, jangan berhenti sampai disini saja. Saya mendukung acara ini dan ingin juga membantu menyambut masyarakat untuk mengenal kembali kesenian dan budaya terdahulu karena banyak yang bisa dipelajari dari sana. Di Puri Kanginan ini juga terdapat sebuah lontar langka yang menunjukkan toleransi serta pluralisme di Bali, yaitu Lontar Krama Selam contohnya,” ujar Agung Fajar selaku Pengelola Puri Kanginan.
“Ini kegiatan yang dibuat untuk menarik minat generasi muda. Semoga dapat menggali ruang-ruang kesenian yang disediakan seperti di Gedong Kirtya ini misalnya. Dalam salah satu acaranya sendiri juga aku berkesempatan mentransformasikan lontar ke dalam bahasa tubuh yaitu lewat seni tari,” ujar Dek Geh sebagai salah satu pengisi acara maupun bagian dari Dinas Kebudayaan di Bidang Kesenian.
“Mungkin karena acara perdana ya, kami masih melihat percobaan flow acaranya, antusias peserta maupun pengunjung, karena jarang ya ada festival seperti ini di Singaraja, yang saya sering ikuti biasanya hanya di Denpasar, Ubud dan Gianyar.” Itu pendapat Anya sebagai moderator di beberapa workshop dalam Singaraja Literary Festival.
“Hal yang saya sukai dari acara ini, cara penyaji acara mengolah informasi dalam bidangnya dan saya suka gaya berbicaranya. Sudah memenuhi harapan ya acara ini, semoga ke depannya lebih baik dan lebih meriah lagi,” sebut Ayunda dari Persma STAHN Mpu Kuturan.
“Seru ya, bisa mewadahi anak-anak main sambil belajar. Ada Komunitas Kopdar juga, seru ya jadi bisa menyalurkan hobi bersepeda di Singaraja. Tambahannya mungkin sedikit saran juga untuk panitia mengenai tata letak penempatan komunitas agar lebih dipikirkan lagi untuk memaksimalkan ruang berekspresi bagi yang ingin menyumbangkan pertunjukkan spontan, seperti itu,” berikut harapan Sepfree dari Komunitas Rumah Belajar Bali.
“Terima kasih sudah mengundang komunitas dari Singaraja sendiri. Seneng juga berkesempatan ketemu teman-teman dari komunitas lain, ikut sesi diskusinya juga,” ujar Dayat, perwakilan dari Komunitas Omah Laras.
“Untuk media partner lebih digencarkan lagi, berkoordinasi agar semakin lancar acaranya, saya yakin banyak anak Denpasar yang jika tahu informasi mengenai acaranya, akan suka dan datang kesini,” saran Ayu Sinta Komunitas Pagi Mothley.
.
Sebagai acara perdana, Singaraja Literary Festival sudah mulai mencuri perhatian para pelaku maupun penikmat seni di Singaraja, namun tentunya terdapat beberapa catatan yang dapat meningkatkan acara di tahun berikutnya. Singaraja sebagai kota tertua di pulau Bali sebenarnya memiliki banyak akses akan penambahan wawasan terkait seni dan budaya seperti Gedong Kirtya dengan manuskrip lontar, Museum Buleleng dengan peninggalan masyarakat Bali terdahulu, Puri Kanginan dengan lontar Krama Selam yang mencerminkan pluralisme, Tugu Yudha Mandala Tama sebagai situs bersejarah proklamasi, serta cagar budaya lainnya. Namun kurangnya sorotan media maupun kemudahan akses informasi mengenai situs-situs
tersebut di media digital, memperlihatkan esensi keengganan bagi sebagian masyarakat untuk mengunjungi dan menambah lagi wawasan mengenai Singaraja. Jika pengunjung asing saja datang dan memiliki rasa keingintahuan yang besar terhadap kesenian dan budaya yang ditinggalkan oleh leluhur, mengapa kita sendiri tidak turut serta mempelajari budaya yang terkandung makna kehidupan di dalamnya, serta turut melestarikan budaya terdahulu yang kemudian dialihwahanakan sebagai bagian dari rasa cinta kita terhadap Kota Singaraja?
“If you want to change the world, go home…” – Mother Theresa. [T]
Daftar Pustaka
- Greene, 2004. Mother Teresa: A Biography. Bloomsburry Academic.
- Mubarok, Aprilia, Susanti, Sukajie dan Noor, 2020. Analisis Kepuasan Pengguna Layanan Google-Forms sebagai Media Survey Online Menggunakan Delone & Mclean. Jurnal Informatika Vol.7 No.2 Hal: 192-198.
- Nguyen, 2023. Kesalahan yang Harus Dihindari untuk Acara Sempurna. Retrieved: September 2023 (ahaslides.com).
- Singaraja Literary Festival, 2023. Retrieved: Oktober 2023 (Instagram.com/singarajaliteraryfestival).
- Saputra dan Nugroho, 2017. Perancangan dan Implementasi Survei Kepuasan Pengunjung Berbasis Web di Perpustakaan Daerah Kota Salatiga. JUTI Vol. 15 No. 1 Hal: 63-71.