KI HADJAR DEWANTARA awalnya menempuh Pendidikan di STOVIA Bandung yang mendidik calon dokter. Karena alasan sakit, ia berhenti di STOVIA dan menekuni dunia jurnalistik sambil menjadi aktivis pergerakan—selanjutnya terjun di lapangan pendidikan dan mendirikan Perguruan Tamansiswa di Yogyakarta, 3 Juli 1922, seabad silam.
Jika dilihat dari kelahirannya, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa dalam usia 33 tahun—saat itu Bung Karno berusia 21 tahun, dan Chairil Anwar belum lahir (26 Juli 1922). Menarik pula dicatat, hubungan Ki Hadjar Dewantara dengan Bung Karno dari segi nama, keduanya memiliki historis kemiripan.
Bung Karno dengan nama kecil Kusno dan Ki Hadjar Dewantara dengan nama kecil Suwardi Suryaningrat, keduanya dari trah raden. Kedua tokoh ningrat ini belakangan memilih merakyat dan melepaskan diri dari kungkungan feodalisme. Dalam hal kepemimpinan, keduanya mengadopsi kearifan Jawa, manunggaling kaula-Gusti, bersatunya rakyat dengan pemimpin.
Gairah mereka terhadap seni tiada tandingannya. Bung Karno dengan gaya meledak-ledak seperti Chairil Anwar dengan puisi mimbar yang meledak-ledak pula. Berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara yang cenderung kalem, gaya Yogyakarta halus.
Gaya ungkapnya pun kalem tetapi menyengat, menusuk jantung pertahanan lawan lewat karya-karya jurnalistiknya. Sengatan itu makin kuat menyerang jantung pertahanan lawan (penjajah) melalui Perguruan Tamansiswa dengan menguatkan semangat nasionalisme di kalangan pelajar. Hal yang ditakuti penjajah.
Pada dekade 1920-an, baik Ki Hadjar Dewantara maupun Sukarno, mematangkan diri melalui organisasi yang didirikan. Sukarno mendirikan PNI pada 4 Juli 1927 lima tahun setelah berdirinya Perguruan Tamansiswa, 3 Juli 1922.
Pergerakan Sukarno melalui kendaraan PNI (Partai Nasional Indonesia) mengalami jatuh bangun tidak saja pada masa penjajahan, tetapi juga pada masa kemerdekaan dan berbuntut pembubaran pada era Soeharto berkuasa.
Sedangan Ki Hadjar Dewantara melalui Perguruan Tamansiswa, yang juga mengobarkan semangat nasionalisme, bisa bertahan sejak berdiri hingga kini memasuki 100 tahun.
Begitulah bedanya, Soekarno memilih jalan politik yang penuh intrik, kawan menjadi lawan, tanpa disadari menikam dari belakang; tanpa etika untuk berebut panggung kekuasaan selama 5 tahun, begitu seterusnya dari pemilu ke pemilu.
Berbeda dengan Perguruan Tamansiswa yang bergerak di jalur pendidikan, walaupun akarnya tumbuh di hati dunia—sebagaimana Sanusi Pane melukiskan Ki Hadjar Dewantara dalam puisi Teratai—tampaknya tidak seksi diperebutkan karena investasinya untuk jangka panjang. Lagi pula, tidak menjanjikan kemewahan secara material.
Namun menjelang Pemilu 2024, capres memberikan harapan pada kaum guru untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batinnya adalah kemewahan yang dinantikan sebagai kenyataan mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebuah janji kemerdekaan yang wajib dilunasi sebagaimana diniatkan Bung Karno.
Sukarno adalah seniman, arsitek, yang melukis masa depan bangsanya berdasarkan kekuatannya menyelam di hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Kekuatan itu membuncah dan memuncak, mewujud dalam teks sakral Proklamasi, UUD 45, Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Hanya seniman sejati yang mampu menggali saripati budaya rakyat yang dipimpinnya dengan mahakarya puisi: Proklamasi yang dibaca dengan meledak-ledak menarik perhatian dunia bahkan menjadi inspirasi bagi negara-negara Asia–Afrika untuk merdeka.
Daya ledak Bung Karno diperhalus oleh Ki Hadjar Dewantara yang juga seniman dengan penampilan kalem dengan pendekatan didaktik-metodik—memanfaatkan seni budaya asli Indonesia dalam metode pembelajaran. Hal ini selaras dengan upaya mengembangkan cipta karsa dan rasa sebagai dasar pembentukan kebudayaan.
Begitulah, Ki Hadjar Dewantara menjadi penengah dari kegarangan pidato Bung Karno dan puisi Chairil Anwar. Bung Karno orator ulung dengan gaya meledak-ledak, yang terkenal dengan moto: “Merdeka atau mati!” Atau kalimat penyemangat dengan daya ledak menggugah, “Gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, bila kau jatuh, jatuhmu di antara bintang-bintang”.
Begitu pula Proklamasi sebagai puisi mahabesar menjadi inspirasi bagi bangsa-bangsa Asia untuk merdeka. Chairil Anwar tak mau kalah dan sangat garang melalui puisi-puisinya, seperti ungkapan “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”. Chairil Anwar juga mendobrak kemerdekaan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang keluar dari cara-cara lama.
Berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara yang moderat sekaligus pejuang untuk membangun jiwa bangsa melalui pendidikan untuk Indonesia Raya. Ia bangun Indonesia Raya dengan kelembutan filosofi kepemimpinan: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani.
Bahkan lambang Kemendikbud Ristek pun hasil pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang sampai kini diabadikan dan hari-hari ini dunia pendidikan gencar melaksanakan sosialisasi Kurikulum Merdeka dengan semangat Merdeka Belajar juga merupakan buah pikirannya.
Di tengah tensi politik yang kian menghangat menjelang Pemilu 2024, sinergi politikus, seniman, dan pendidik perlu diatensi. Nilai-nilai edukatif dikedepankan, nilai-nilai keindahan disemaikan, dan kekuasaan diraih dengan cita rasa politik penuh senyum dan kegembiraan sebagaimana layaknya orang berpesta ke pesta demokrasi.
Salam yang dikembangkan adalah khas salam perjuangan yang memperjuangkan kebahagiaan lahir batin bangsanya—sebagaimana diterapkan Ki Hadjar Dewantara. Salam dan Bahagia.[T]