11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Gigi Emas, Rasa Ngilu Seorang Pematung

I Wayan WestabyI Wayan Westa
October 3, 2023
inUlas Rupa
Gigi Emas, Rasa Ngilu Seorang Pematung

Karya Ketut Putrayasa di Studio Batu, Batubulan, Gianyar, dalam pameran tahun ke-9 seniman Militan Art [30/9/2023]

//Dibalik batu rompal dengan   tancapan gigi emas  itu, pemilik Studio Richstone ini tengah menghardik kita dengan sederet protes. Meneror kita yang nyaris kehilangan  daya kiritis.//

Ini teror  dingin  Ketut Putrayasa, pematung kelahiran Desa Canggu, Kuta, Badung. Di Studio Batu, Batubulan, Gianyar,  dalam pameran  tahun ke-9 seniman Militan Art [30/9/2023],  teror itu sedemikian  menyengat. Pematung   yang kini  genap berusia 42 tahun ini  menghadirkan kengiluan mengiris, satire yang  memantik sejumlah  pertanyaan dan labirin tafsir berlapis.

Sekiranya batu hitam itu   ditaruh  begitu saja di studio, tanpa asesoris tambahan, tanpa steger besi, tanpa gigi emas, teror yang diberi “memo” Post Scriptum”  ini dipastikan tak akan menyampaikan pesan apa-apa,  tidak juga menghadirkan rasa ngilu dan pretensi apapun, ia akan menjadi seonggok batu diam. Ia tak menitipkan pesan apa-apa untuk ditulis dalam catatan ini.

Namun di “Post Scriptum” itu, pada batu pualam hitam, pematung yang baru saja menuntaskan karya instalasi  bertajuk “Warring  Images”  di Museum Arma benar-benar seperti tengah meneror kita.  Dengan perasaan dingin, menempel tancapan  gigi emas  di batu,  tetes darah  pangkal  gigi yang lepas, di mana  darah  mengental menjadi lelehan emas. Ini sungguh ‘simbolism  art’, teror tanpa orasi, ngilu yang disembunyikan. Namun sesungguhnya menyimpan gema protes dan pesan terselubung —  di mana sang pematung tengah memberontak pada situasi dunia. Pada keadaan terkini tanah air negerinya. Tanah-tanah yang dijarah, lingkungan  rusak usai eksploitasi yang ditinggalkan begitu saja — sebagaimana keaadaan yang tersisa bukit-bukit yang dikeruk di Kecamatan Dawan, Klungkung, Bali.

Dan sodokan yang dingin ini   mengingatkan luka-luka itu. Betapa dibalik   nganga ‘Post Scriptum” itu,  lewat media batu alam,  terbaca  ada didih  membuih, ada amarah mengguncang, dan simpati  mendalam pada situasi yang  membuat hati ngilu. Perasaan sakit yang tak mudah dikomunikasikan —  karena di situ,  tak  banyak orang peduli dan mau merasakan. Ini sungguh gambaran kematian empati  kelam. Batin kering dirampas hidup  pragmatis. Dus, dalam karya ini, Putrayasa seperti dirajam rasa sakit, diguncang kesedihan tak terampuni — bahwa kerakusan oligarki hari ini,  selain  memporanda alam, juga  memperlebar jurang si misikin  dengan si kaya, pengusiran paksa —  di mana secara pelan maupun cepat membawa kita ke kubur masa depan nasib manusia, nasib anak-anak negeri.

.

Post Scriptum ini, lewat media batu, dengan tinggalan gigi emas yang nyangkut di batu jelas tidak indah dikecap indra. Tak memberi kesan menarik di mata awam, tidak menghasilkan apa-apa bagi seniman dengan etos pengrajin. Namun bagi Ketut Putrayasa, pilihan ‘art simbolism’ itu bukan melulu soal seni menghibur sebagaimana konser musik dangdut di acara kawinan.

Dibalik batu rompal dengan tinggalan gigi emas itu, pemilik Studio Richstone ini tengah menghardik kita dengan sederet protes. Meneror kita yang nyaris kehilangan suara kiritis. Di situ tersembul renungan-renungan kontemplatif yang menghujam, setelah sang seniman berhadapan, menyangksikan sejumlah olok-olok dunia, drama kaum pemodal, kemaruk dan kerakusan oligarki atas lingkungan alam yang tengah dieksplotasi habis-habisan. Kendati toh mereka tidak sendirian, mereka berkolaborasi dengan kekuasaan, berkelit di belakang pemegang bedil, berjabat erat dengan preman bayaran. Ini adalah sebentuk guncangan psikologis, ketakutan yang diciptakan.

Tragedi semacam ini dengan mudah bisa kita saksikan di Bali dan di seantero Nusantara. Mulai dari Rempang di Kepulauan Riau, tragedi Pucak Gumang di Karangasem, Bali, dan “pencaplokan” tanah-tanah rakyat di tempat lain di Nusantara. Yang paling parah tentu,  alih fungsi lahan pertanian kian masif di Bali, disulap menjadi villa, pasar  modern, pusat perdagangan, pusat hiburan, hotel, dan  desa-desa yang sesak dirangsek industri pariwisata. Di titik ini, seniman memang tidak  biasa  turun ke jalan,  karena ia bukanlah jenis makhluk penyuka dunia yang gaduh, ia  memilih berdemo dengan satire-satire kreatif, intelek, dengan ‘art simbolism’ munusuk, dengan hanya satu batu yang dipungut bantaran Sungai Tukad Unda, tak jauh dari  rencana proyek  Pusat Kebudayaan Bali,  Desa Gunaksa.

Sampai di sini muncul pertanyaan, makhluk macam apa pula Post Scriptum itu yang kerap disingkat PS?   Ada apa gerangan Ketut Putrayasa memungut istilah ini  untuk  gelar seni instalasinya?

.

Memang, pada awalnya, frasa Post Scriptum berasal dari Bahasa Latin yang artinya “ditulis setelah”, digunakan dalam tradisi surat-menyurat untuk  tulisan tangan. Pesan singkat yang ditambah di akhir surat  sebagai penegasan isi surat. Karenanya, secara hermeneutika, Post Scriptum berperan untuk memberi penekanan pada suatu hal yang digagas, menyampaikan perasaan terdalam, atau kalimat terakhir untuk sebuah argumen. Dari sinilah Ketut Putrayasa meminjam istilan itu, menginisiasi karyanya untuk menjadi ‘seni perlawanan’ sekaligus penyadaran.

Pada karya ini Putrayasa menjembatani prostesnya dengan tiga elemen simbolik: batu, stager besi, dan gigi emas. Batu simbol bumi, steger baja,  wujud kekerasan eksploitasi, sementara gigi emas   simpul    kemaruk elit pemodal.  Ketiga medium ini sekaligus menjadi ‘bahasa” protes, dirajut   sebagai  ‘art simbolism’. Suatu cara yang tidak saja membebaskan  seniman dari tuduhan subversip. Namun dari sini dia juga melakukan pemberontakan senyap, simbolik sekaligus estetik.

Memang seniman, sebagaimana jauh-jauh hari diharapkan Sutan Takdir Alisyahbana, seni dan seniman harus terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,  diharapkan memberi solusi atas problem-problem itu. Karena bila kaum ini diam, atau malah berdiri di belakang kekuasaan  ia tidak menunjukkan tanggungjawabnya sebagai penjaga nilai.

Bagi Ketut Putrayasa, Post Scriptum menjadi sebuah refleksi setelah sang seniman menyaksikan serentenan “tragedi pulau”, perselingkuhan oligarki dengan kekuasaan  di mana mereka menguasai, mengangkangi hampir seluruh nutiri hidup di tanah, di balik isu-isu kelangkaan pangan, perubahan iklim, pemanasan global, kerusakan lingkungan, pencemaran, revolusi hijau, serta eksploitasi  dalam bentuk paling halus —  mempolitisi bahasa sebagai alat propaganda, untuk menyatakan  kekuasaan itu  maha benar adanya.

Dan  karenanya, kerusakan-kerusakan lingkungan paling parah misalnya, bukan berawal dari ketidakberdayaan rakyat  miskin. Bukan pula oleh kelaparan musim.  Betapa di wilayah-wilayah yang dikuasai itu, sang  seniman menemukan jejak,  suatu simtom yang disimbolisasi sebagai ‘gigi emas’,  ‘art simbol’ dari pemodal atau oligarki ganas yang terus-menerus berebut tanah dari tuan bernama; rakyat.

Berhadapan dengan karya-karya instalasi ayah dari  I Gede Narendra Adyaputra ini;  setiap penikmat seperti diajak  melakukan monolog batin, di mana,  di setiap  karya-karya itu orang tergoda  bertanya, sekaligus  berburu jawaban di artefak-artefak  ‘art simbolism’ itu.

Tidak gampang menembus labirin pikiran  Ketut Putrayasa,  kecuali  untuk mereka  yang telah  akrab dengan kelebatan-kelebatan pikirannya serta kejelian protes-protesnya pada ketidaklaziman. Ia seperti mengalami  kesakitan dan keperihan,  merasakan humanisme yang hilang, alih-alih pada mereka yang membiarkan dirinya menjadi budak hedonisme. Sebagai seniman ia berseberangan dengan argurmen ilmiah  yang dibangun Darwin, penulis buku yang nyaris menjadi magnum opus Origin of Species. Karena dalam semangat humanisme tidak ada aporisme:  “yang kuat, yang menang”.

Semangat melawan dengan cara  indah dan senyap inilah yang menarik dari tangan Ketut Putrayasa. Ia selalu punya cara genial,  bagaimana seni adalah juga sebentuk perlawanan, menghadirkan cibiran karikatural  menohok pada situasi terkeni kehancuran adab bangsanya, kemaruk para elit, dan media pers yang lumpuh sebagai lembaga kontrol. Di tengah-tengah kelumpuhan itu, walau dengan rasa ngilu, dan kepedihan menyengat, Putrayasa menunjukkan pendiriannya untuk bersuara. Ia seperti menghidupkan nyala dalam kegelapan hedonisme dan drama politik layaknya dagelan.

Tak hendak menafikan peran-peran lain, atau bidang-bidang lain, dan seniman lain yang tetap bersepaku dengan pendirian masing-masing, serta memberi kontribusi hebat pada kemajuan kebudayaan dengan arti luas, setidaknya Ketut Putrayasa membuat para pengunjung di Studio Batu menunda tidur siang, merenung-renungi masa depan generasi di tengah-tengah pesta oligarki yang bekerja bareng, berjabat tangan dengan penguasa — dan rakyat cuma dibutuhkan saban lima tahun sekali, dirawatnya dengan lima kilo gram beras dan janji-janji pialang politik serba gratis serta orasi masa depan lebih baik. Lalu baliho-baliho itu pun dipasang tanpa rasa malu, kerap menggelikan. [T]

  • BACA artikel lain dari penulis I WAYAN WESTA
“Proyek Mengeringkan Air” Ketut Putrayasa: Sebuah Cibiran Sekaligus Pesan untuk Masa Depan
Pameran Seni Rupa “Politik Titik Titik”, Grafis, Koruptor dan Anjing | Catatan dari Perupa
“Earth Visory” : Pengantar Pameran Seni Rupa Hari Bumi di Kulidan Kitchen and Space
”Ngerupa Guet Toya”, Menggambar Garis Air | Dari Pameran Seni Rupa Dosen ISI Denpasar
Tags: seni patungSeni Rupa
Previous Post

Rapat Ranperda Pajak dan Retribusi Daerah di DPRD Buleleng: Pansus dan Eksekutif Sepakati Biaya BPHTB 0,5 Persen

Next Post

Islam Agama Pembebasan

I Wayan Westa

I Wayan Westa

Penulis dan pekerja kebudayaan

Next Post
Islam Agama Pembebasan

Islam Agama Pembebasan

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more

Enggan Jadi Wartawan

by Edi Santoso
May 11, 2025
0
Refleksi Hari Pers Nasional Ke-79: Tak Semata Soal Teknologi

MENJADI wartawan itu salah satu impian mahasiswa Ilmu Komunikasi. Tapi itu dulu, sebelum era internet. Sebelum media konvensional makin tak...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co