//Dibalik batu rompal dengan tancapan gigi emas itu, pemilik Studio Richstone ini tengah menghardik kita dengan sederet protes. Meneror kita yang nyaris kehilangan daya kiritis.//
Ini teror dingin Ketut Putrayasa, pematung kelahiran Desa Canggu, Kuta, Badung. Di Studio Batu, Batubulan, Gianyar, dalam pameran tahun ke-9 seniman Militan Art [30/9/2023], teror itu sedemikian menyengat. Pematung yang kini genap berusia 42 tahun ini menghadirkan kengiluan mengiris, satire yang memantik sejumlah pertanyaan dan labirin tafsir berlapis.
Sekiranya batu hitam itu ditaruh begitu saja di studio, tanpa asesoris tambahan, tanpa steger besi, tanpa gigi emas, teror yang diberi “memo” Post Scriptum” ini dipastikan tak akan menyampaikan pesan apa-apa, tidak juga menghadirkan rasa ngilu dan pretensi apapun, ia akan menjadi seonggok batu diam. Ia tak menitipkan pesan apa-apa untuk ditulis dalam catatan ini.
Namun di “Post Scriptum” itu, pada batu pualam hitam, pematung yang baru saja menuntaskan karya instalasi bertajuk “Warring Images” di Museum Arma benar-benar seperti tengah meneror kita. Dengan perasaan dingin, menempel tancapan gigi emas di batu, tetes darah pangkal gigi yang lepas, di mana darah mengental menjadi lelehan emas. Ini sungguh ‘simbolism art’, teror tanpa orasi, ngilu yang disembunyikan. Namun sesungguhnya menyimpan gema protes dan pesan terselubung — di mana sang pematung tengah memberontak pada situasi dunia. Pada keadaan terkini tanah air negerinya. Tanah-tanah yang dijarah, lingkungan rusak usai eksploitasi yang ditinggalkan begitu saja — sebagaimana keaadaan yang tersisa bukit-bukit yang dikeruk di Kecamatan Dawan, Klungkung, Bali.
Dan sodokan yang dingin ini mengingatkan luka-luka itu. Betapa dibalik nganga ‘Post Scriptum” itu, lewat media batu alam, terbaca ada didih membuih, ada amarah mengguncang, dan simpati mendalam pada situasi yang membuat hati ngilu. Perasaan sakit yang tak mudah dikomunikasikan — karena di situ, tak banyak orang peduli dan mau merasakan. Ini sungguh gambaran kematian empati kelam. Batin kering dirampas hidup pragmatis. Dus, dalam karya ini, Putrayasa seperti dirajam rasa sakit, diguncang kesedihan tak terampuni — bahwa kerakusan oligarki hari ini, selain memporanda alam, juga memperlebar jurang si misikin dengan si kaya, pengusiran paksa — di mana secara pelan maupun cepat membawa kita ke kubur masa depan nasib manusia, nasib anak-anak negeri.
.
Post Scriptum ini, lewat media batu, dengan tinggalan gigi emas yang nyangkut di batu jelas tidak indah dikecap indra. Tak memberi kesan menarik di mata awam, tidak menghasilkan apa-apa bagi seniman dengan etos pengrajin. Namun bagi Ketut Putrayasa, pilihan ‘art simbolism’ itu bukan melulu soal seni menghibur sebagaimana konser musik dangdut di acara kawinan.
Dibalik batu rompal dengan tinggalan gigi emas itu, pemilik Studio Richstone ini tengah menghardik kita dengan sederet protes. Meneror kita yang nyaris kehilangan suara kiritis. Di situ tersembul renungan-renungan kontemplatif yang menghujam, setelah sang seniman berhadapan, menyangksikan sejumlah olok-olok dunia, drama kaum pemodal, kemaruk dan kerakusan oligarki atas lingkungan alam yang tengah dieksplotasi habis-habisan. Kendati toh mereka tidak sendirian, mereka berkolaborasi dengan kekuasaan, berkelit di belakang pemegang bedil, berjabat erat dengan preman bayaran. Ini adalah sebentuk guncangan psikologis, ketakutan yang diciptakan.
Tragedi semacam ini dengan mudah bisa kita saksikan di Bali dan di seantero Nusantara. Mulai dari Rempang di Kepulauan Riau, tragedi Pucak Gumang di Karangasem, Bali, dan “pencaplokan” tanah-tanah rakyat di tempat lain di Nusantara. Yang paling parah tentu, alih fungsi lahan pertanian kian masif di Bali, disulap menjadi villa, pasar modern, pusat perdagangan, pusat hiburan, hotel, dan desa-desa yang sesak dirangsek industri pariwisata. Di titik ini, seniman memang tidak biasa turun ke jalan, karena ia bukanlah jenis makhluk penyuka dunia yang gaduh, ia memilih berdemo dengan satire-satire kreatif, intelek, dengan ‘art simbolism’ munusuk, dengan hanya satu batu yang dipungut bantaran Sungai Tukad Unda, tak jauh dari rencana proyek Pusat Kebudayaan Bali, Desa Gunaksa.
Sampai di sini muncul pertanyaan, makhluk macam apa pula Post Scriptum itu yang kerap disingkat PS? Ada apa gerangan Ketut Putrayasa memungut istilah ini untuk gelar seni instalasinya?
.
Memang, pada awalnya, frasa Post Scriptum berasal dari Bahasa Latin yang artinya “ditulis setelah”, digunakan dalam tradisi surat-menyurat untuk tulisan tangan. Pesan singkat yang ditambah di akhir surat sebagai penegasan isi surat. Karenanya, secara hermeneutika, Post Scriptum berperan untuk memberi penekanan pada suatu hal yang digagas, menyampaikan perasaan terdalam, atau kalimat terakhir untuk sebuah argumen. Dari sinilah Ketut Putrayasa meminjam istilan itu, menginisiasi karyanya untuk menjadi ‘seni perlawanan’ sekaligus penyadaran.
Pada karya ini Putrayasa menjembatani prostesnya dengan tiga elemen simbolik: batu, stager besi, dan gigi emas. Batu simbol bumi, steger baja, wujud kekerasan eksploitasi, sementara gigi emas simpul kemaruk elit pemodal. Ketiga medium ini sekaligus menjadi ‘bahasa” protes, dirajut sebagai ‘art simbolism’. Suatu cara yang tidak saja membebaskan seniman dari tuduhan subversip. Namun dari sini dia juga melakukan pemberontakan senyap, simbolik sekaligus estetik.
Memang seniman, sebagaimana jauh-jauh hari diharapkan Sutan Takdir Alisyahbana, seni dan seniman harus terlibat dalam masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, diharapkan memberi solusi atas problem-problem itu. Karena bila kaum ini diam, atau malah berdiri di belakang kekuasaan ia tidak menunjukkan tanggungjawabnya sebagai penjaga nilai.
Bagi Ketut Putrayasa, Post Scriptum menjadi sebuah refleksi setelah sang seniman menyaksikan serentenan “tragedi pulau”, perselingkuhan oligarki dengan kekuasaan di mana mereka menguasai, mengangkangi hampir seluruh nutiri hidup di tanah, di balik isu-isu kelangkaan pangan, perubahan iklim, pemanasan global, kerusakan lingkungan, pencemaran, revolusi hijau, serta eksploitasi dalam bentuk paling halus — mempolitisi bahasa sebagai alat propaganda, untuk menyatakan kekuasaan itu maha benar adanya.
Dan karenanya, kerusakan-kerusakan lingkungan paling parah misalnya, bukan berawal dari ketidakberdayaan rakyat miskin. Bukan pula oleh kelaparan musim. Betapa di wilayah-wilayah yang dikuasai itu, sang seniman menemukan jejak, suatu simtom yang disimbolisasi sebagai ‘gigi emas’, ‘art simbol’ dari pemodal atau oligarki ganas yang terus-menerus berebut tanah dari tuan bernama; rakyat.
Berhadapan dengan karya-karya instalasi ayah dari I Gede Narendra Adyaputra ini; setiap penikmat seperti diajak melakukan monolog batin, di mana, di setiap karya-karya itu orang tergoda bertanya, sekaligus berburu jawaban di artefak-artefak ‘art simbolism’ itu.
Tidak gampang menembus labirin pikiran Ketut Putrayasa, kecuali untuk mereka yang telah akrab dengan kelebatan-kelebatan pikirannya serta kejelian protes-protesnya pada ketidaklaziman. Ia seperti mengalami kesakitan dan keperihan, merasakan humanisme yang hilang, alih-alih pada mereka yang membiarkan dirinya menjadi budak hedonisme. Sebagai seniman ia berseberangan dengan argurmen ilmiah yang dibangun Darwin, penulis buku yang nyaris menjadi magnum opus Origin of Species. Karena dalam semangat humanisme tidak ada aporisme: “yang kuat, yang menang”.
Semangat melawan dengan cara indah dan senyap inilah yang menarik dari tangan Ketut Putrayasa. Ia selalu punya cara genial, bagaimana seni adalah juga sebentuk perlawanan, menghadirkan cibiran karikatural menohok pada situasi terkeni kehancuran adab bangsanya, kemaruk para elit, dan media pers yang lumpuh sebagai lembaga kontrol. Di tengah-tengah kelumpuhan itu, walau dengan rasa ngilu, dan kepedihan menyengat, Putrayasa menunjukkan pendiriannya untuk bersuara. Ia seperti menghidupkan nyala dalam kegelapan hedonisme dan drama politik layaknya dagelan.
Tak hendak menafikan peran-peran lain, atau bidang-bidang lain, dan seniman lain yang tetap bersepaku dengan pendirian masing-masing, serta memberi kontribusi hebat pada kemajuan kebudayaan dengan arti luas, setidaknya Ketut Putrayasa membuat para pengunjung di Studio Batu menunda tidur siang, merenung-renungi masa depan generasi di tengah-tengah pesta oligarki yang bekerja bareng, berjabat tangan dengan penguasa — dan rakyat cuma dibutuhkan saban lima tahun sekali, dirawatnya dengan lima kilo gram beras dan janji-janji pialang politik serba gratis serta orasi masa depan lebih baik. Lalu baliho-baliho itu pun dipasang tanpa rasa malu, kerap menggelikan. [T]
- BACA artikel lain dari penulis I WAYAN WESTA