KISAH ini terjadi di dekat SMP tempatku dulu bersekolah.
Teja adalah salah satu kawan masa kecilku. Kami sebangku sejak kelas satu SD. Hal yang paling bisa kuingat tentang Teja adalah kebiasaannya meminjam pensilku dan lupa mengembalikannya. Dia selalu mengarang skenario apik bahwa pensil itu telah jatuh ke sungai dekat sekolah saat gerombolan Geng Snuckers membuntutinya sampai tepi jembatan. Yang menjadi pertanyaanku waktu itu adalah bagaimana bisa pensil yang seharusnya ada dalam tasnya jatuh ke dalam sungai. Kecuali dia menggunakan pensil itu sebagai pedang (atau untuk mengorek telinga), pensil itu tidak akan mungkin jatuh ke sungai.
Kemudian setelah tamat sekolah dasar, aku berpisah dengannya. Teja melanjutkan di SMP negeri di tepi barat kota, sementara aku meluncur ke SMP di timur. Padahal, jarak rumah kami tak begitu jauh. Namun entah mengapa sejak aku kelas delapan, aku tak berminat lagi untuk mengorek-ngorek nostalgia masa SD, tak bergairah lagi berlarian kesana-kemari di tepi sungai, memetik ilalang, membuat mahkota rumput dan bermain raja-rajaan. Sungguh memalukan jika anak kelas sembilan memainkan itu.
Jadi praktis sudah hampir tiga tahun aku tak kunjung bertegur sapa atau mengobrol dengan Teja. Dia pun begitu. Namun demikian, kami kadang berpapasan saat akan berangkat sekolah. Dia bakal mengacungkan lengannya, melambai, dan berkata ‘hai’. Cukup. Aku juga tak banyak basa-basi. Banyak pekerjaan rumah menggerayangi otakku. Dia pun pastinya mengalami sindrom yang sama dengan kepalanya. Anak SMP zaman sekarang, sibuknya seperti pegawai kantor. Aku bahkan tidak bisa lagi merasakan nikmatnya Sabtu sore. Waktu benar-benar menjadi sedemikian cepat.
Siang itu aku pulang lewat jembatan. Itu jalan yang selalu kulalui tatkala berangkat atau pulang dari sekolah. Ada sungai yang cukup besar mengalir di bawah jembatan, membawa airnya sampai ujung selatan di mana ia menyatu dengan Samudera Hindia. Itu sungai masa kecil kami. Riaknya tak pernah berubah, kecuali tepiannya yang kini dipermak dengan beton yang lebih kuat. Di tepi kiri-kanannya tumbuh banyak semak ilalang.
Beberapa puluh meter ke luar, ada deretan perumahan suburban yang cukup padat. Di malam hari, tepian sungai penuh dengan pendaran warna dari lampu rumah-rumah yang padat itu. Jembatan itu juga ramai setiap saat. Ratusan mobil dan sepeda motor melaluinya tiap jam, tanpa putus, tanpa henti. Kecepatan kendaraan yang melaju di sana pun tidak main-main.
Bapak selalu mewanti-wanti agar aku tidak sembarangan menyeberang. Harus lihat kanan-kiri, katanya. Jika tidak, aku harus kena akibatnya. Beberapa pengendara berwatak micin kadang-kadang lewat tanpa melihat situasi, lalu sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Ibu-ibu terjatuh, anak terserempet, atau malah terjadi kecelakaan tunggal. Ada-ada saja.
Tatkala aku berniat menyeberang, aku menoleh ke tepi sungai. Lalu mataku tertuju pada sosok bocah yang tengah membungkuk di padang ilalang.
“Teja!” aku berseru lantang, mengalahkan deru puluhan kendaraan yang tengah melintang. Anak itu benar-benar Teja.
Dia tidak mendengarku. Wajahnya terbenam di hamparan ilalang.
Aku mengulang panggilanku. Dia tak menoleh sedikit pun. Anak itu tampak begitu khusuk. Jemarinya menyibak-nyibak rumpun ilalang dengan tergesa-gesa. Pastinya ada sesuatu yang sangat penting yang mesti ditemukannya di sana.
Saat itu awal Januari, empat bulan menjelang ujian nasional. Dari Desember hingga Maret, hari menjadi begitu pendek, dan jantung anak-anak kelas sembilan menjadi makin tegang. Gerimis mendera hampir tiap siang hari. Suhu udara menurun, menggertak tulang-tulang dan membuatnya menggigil. Anak-anak akil balik seumurku menjadi begitu malas mandi pagi. Air yang mengucur langsung dari keran merajam tiap lubang pori-pori kami. Menjelang berangkat sekolah, ibu membekaliku dengan sehelai jas hujan hoodie berwarna biru cerah, dan ketika sekolah berakhir, aku memakainya tatkala gerimis, membuat penampilanku tampak laksana badut biru bersepeda dengan jas hujan kedodoran.
Tak berniat mengganggu, aku menyudahi panggilanku. Mungkin pensilnya terjatuh di sana, atau catatan observasi IPA-nya tersangkut di salah satu rumpun ilalang dan dia sedang mencari-carinya sebelum guru IPA murka padanya dan menyuruhnya berdiri di depan kelas.
Akan tetapi pemandangan itu mengganjal di benakku sampai aku tiba di rumah.
Sembari menjambal seonggok sayuran hijau, aku mengisahkan semua hal aneh itu kepada ibu.
“Teja?” ibu memastikan bahwa apa yang didengarnya benar. “Anak pedagang beras di RT tujuh itu?”
Aku mengiyakan. Ingatan ibu masih tajam rupanya. Teja sering menginap di rumah kami tatkala SD. Keesokan harinya, bapaknya bakal datang dengan wajah menahan malu sambil berkata, “Maaf Bu Kadek, anak saya merepotkan.”
Ibu tak langsung menyambung kalimatnya. Dia mendekatiku, duduk di kursi, dan meletakkan piringnya yang penuh nasi, sayur dan lauk makan siang. Yang menjadi fokusku bukan seberapa banyak porsi makan siang ibu di tengah jadwal dietnya, tetapi paras wajahnya yang tiba-tiba masam.
“Kamu tidak salah lihat?” nada suara ibu terdengar seperti menuntut. Dia seolah-olah ingin memaksaku agar mengatakan bahwa ternyata mataku salah lihat.
“Tidak, Bu; itu benar-benar Teja,” aku bersikeras. Aku melihatnya hanya dari jarak sekitar sepuluh hingga lima belas meter. Tak mungkin aku salah. Aku belum rabun.
Sekonyong-konyong, ibu mendekatkan wajahnya ke mataku.
“Teja si anak pedagang beras itu,” desir kalimat ibu begitu parau. “Dia ‘kan ditabrak mobil boks tadi malam. Persis di samping jembatan. Badannya terpelanting, tewas di tempat. Ngeri amat.”
Leherku tercekik tiba-tiba. Rasa makan siangku buyar entah ke mana. Akan tetapi otakku tetap bertahan pada logikanya. Aku benar-benar melihat Teja dengan kedua mataku.
“Ibu salah dengar barangkali,” ujarku kemudian, menawarkan satu kemungkinan lain. “Di kelurahan ini ada banyak yang namanya Teja.”
Begitulah akhirnya peperangan antara logika dan berita berseteru dalam benakku sampai keesokan harinya. Saat itu Sabtu, dan kami pulang sekolah agak awal. Seperti biasa, aku pulang lewat jembatan, bersepeda santai menikmati akhir minggu.
Lagi,—aku melihat Teja yang sama sedang membungkuk serius di tepi sungai. Kedua tangannya lagas menyibak rumpun demi rumpun ilalang yang tingginya sepinggang. Sepertinya catatan yang dicarinya belum juga ketemu. Dasar anak ceroboh. Apa sih, yang ditelitinya di tepi sungai?
“Teja!” aku memanggilnya. Kali itu, aku menghempaskan sepedaku di tepi jalan, berlari-lari kecil menuruni tepi sungai yang lebat oleh semak ilalang.
Mungkin Teja mengalami penurunan daya dengar, aku berpikir. Anak itu sama sekali tidak menoleh. Dia masih membungkuk.
“Hei, Teja!” aku makin dekat.
Kuraih pundaknya.
“Teja!”
Anak itu tiba-tiba tersentak. Tangannya berhenti menyibak-nyibak rumpun ilalang.
“Apa yang kaulakukan di sini sendirian?” aku menajamkan intonasi suaraku.
Seketika Teja memutar badannya. Disinari pendar cahaya sore yang temaram, aku bisa melihat separuh wajahnya berlumuran darah segar. Aku benar-benar dibuatnya tidak bisa bernapas. Mulutku ternganga dengan terkaman rasa ngeri luar biasa.
“Mata kananku hilang, Dek,” Teja berkata lirih dan serak. “Kau mau membantuku mencarinya?”
Terbujur kaku, aku dengan jelas melihat rongga mata kanannya yang bolong dan penuh ceceran darah. Bibirnya menyeringai lebar. [T]