SETIAP BULAN Agustus, Gedung Auditorium Universitas Pendidikan Ganesha (selanjutnya ditulis Undiksha), Singaraja, Bali, terlihat lebih ramai, tak seperti biasanya. Selain ramai karena penerimaan mahasiswa baru, juga acara wisuda. Kedua momen kontradiktif itu memang selalu hadir hampir bersamaan. Tapi memang begitulah hidup: ada yang masuk, harus ada yang keluar.
Tahun ini, tercatat sebanyak 2.975 mahasiswa baru (maba) yang sudah sah menjadi bagian dari civitas Undiksha. Sementara itu, sebanyak 1.510 mahasiswa yang terdiri dari jenjang Diploma III, S1, S2, dan S3, dengan berbagai program study, resmi “dikeluarkan”—oh, maksud saya, diwisuda.
Rektor Undiksha Prof. Dr. I Wayan Lasmawan, M.Pd., dalam sambutannya menyampaikan, saat ini Undiksha mempunyai belasan ribu mahasiswa aktif. Hal tersebut sontak mendapat tepuk tangan yang meriah dari para wisudawan dan orang tua wisudawan yang menghadiri prosesi sakral dan mengharukan sekaligus membahagiakan tersebut.
Akan tetapi, Prof. Lasmawan tetap tak merasa bangga akan hal itu, karena menurutnya masih ada beberapa program study yang minim peminat. Pak Prof mengatakan, banyak mahasiswa dari luar Singaraja seperti dari Bangli, Denpasar, atau Karangasem, lebih memilih kampus Undiksha di Singaraja daripada Undiksha di Denpasar.
“Padahal, Undiksha Denpasar akan dijadikan ‘wajah’ awal kemajuan dari Undiksha,” imbuhnya, pada saat memberikan sambutan Wisuda ke-71 Periode Agustus 2023 di Auditorium Undiksha, Jumat (25/8/2023).
Ya, saya tahu Pak Rektor mengatakan demikian sebab saat itu saya memang ada di depannya—jarak kami hanya sepelemparan ludah. Loh, berarti kamu ikut diwisuda? Lah, tentu saja, makanya saya menulis esai ini.
Tetapi, terlepas dari itu, semua orang yang hadir di gedung auditorium kemarin memang tampak memancarkan rasa bahagia dari wajah mereka dan rasa haru yang ditunjukkan orang tua wisudawan ketika anaknya berhasil meraih gelar sarjana maupun diploma.
Dan tentu, kebahagiaan bukan hanya milik mereka saja, vibrasi kebahagiaan juga terlihat pada mereka yang berjualan buket bunga, tukang foto dan pedagang-pedagang makanan yang berjajar di sekitar lingkungan Auditorium Undiksha. “Berkah wisuda,” kata seorang penjual.
Berkah itu tampak dari banyaknya wisudawan yang menenteng buket-buket bunga, antrean panjang di stand-stand foto dan para orang tua yang hilir mudik untuk berbelanja sudah cukup menjelaskan kalau para pedagang musiman ini sedang kebanjiran rejeki, atau bahasa trend-nya sekarang sedang full senyum.
***
Momen wisuda adalah momen yang membahagiakan, meski mungkin juga menyesakkan. Membahagiakan bagi wisudawan dan keluarganya; menyesakkan bagi mereka yang masih kesulitan menyelesaikan tugas akhirnya.
Setelah melewati proses panjang mengerjakan skripsi yang njelimet dan menguras begitu banyak energi plus materi, pada tanggal 25 Agustus 2023 kemarin, akhirnya saya diwisuda. Artinya, sekarang saya sudah sah menjadi seorang sarjana yang insya Allah akan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai Tri Darma Perguruan Tinggi—kalau lupa mohon diingatkan.
Harus saya akui, salah satu hal yang menjadi pemantik saya untuk segera menyelesaikan tugas akhir adalah esai pertama saya yang berjudul Saya Belum Lulus, dan Itu Pilihan Saya—yang sangat problematik itu. Bagaimana tidak, berkat esai tersebut saya berhasil lolos dari jurang drop out (D.O).
Ya, hampir—dan nyaris—gelar pendidikan saya berada di depan nama, bukan di akhir. Bukan Yudi Setiawan, S.Pd melainkan D.O Yudi Setiawan. Rasanya tidak lucu kalau itu sampai benar-benar terjadi. Tetapi, setelah esai itu terbit, syukur saya masih diberi kesempatan, meski hanya tiga bulan untuk merampungkan—bagi saya itu bukan persoalan mudah sebab saat itu saya sudah semester 14.
Memang benar, saya merampungkan skripsi di ujung tanduk semester dengan penuh kesadaran. Tetapi saya sarankan, bagi kalian yang mempunyai niatan lulus sampai semester terakhir, mending dipikir-pikir ulang. Sebab, seperti kata Dilan, tokoh besutan Pidi Baiq, “Ini berat, kau tak akan kuat. Biar aku saja”. Ya, memang benar-benar berat dan harus kerja ekstra untuk menyelesaikannya.
Ketika melihat teman sudah pakai toga, sebagian sudah kerja, dan sebagian lagi sudah punya anak dua, kenapa saya masih begini-begini saja? Pertanyaan itu bak hantu yang akan mengganggu setiap waktu. Maka dari itu, saya putuskan untuk berani mengambil risiko datang ke kampus untuk melanjutkan skripsi yang sebelumnya nyaris tak tersentuh—bahkan nyaris melupakan, meski tak benar-benar bisa terlupakan.
Awalnya saya berpikir skripsi itu hanya sebatas karya ilmiah, yang akan diujikan sebagai standar kelulusan seorang mahasiswa, dan ketika ujiannya lulus maka mahasiswa dapat segera mendaftar wisuda. Tapi ternyata tidak demikian, lebih dari itu, proses wisuda adalah jalan panjang itu sendiri.
Setelah selesai ujian skripsi dan dinyatakan lulus, nyatanya saya tidak bisa langsung mendaftar wisuda, saya harus memperbaiki skripsi yang penuh dengan revisi terlebih dahulu. Dan pada saat hasil revisi sudah disetujui dosen pembimbing dan penguji, selanjutnya saya harus dihadapkan dengan ribetnya ketika cek plagiasi atau turnitin (plagiarism checker)—pada tahap ini rasanya memang sangat mendebarkan.
Selesai cek plagiasi, ada tahap lain yang tak kalah njelimet, yaitu repository atau tahap pengunggahan skripsi di ruang digital (sistem perpustakaan) lembaga. Selain itu, kelengkapan administrasi lainnya juga memaksa saya harus mengurangi jatah tidur untuk beberapa minggu.
Bayangkan saja, tekanan semester 14 dengan bayangan drop out setiap hari, harus menghadapi administrasi yang sangat ribet, benar-benar membuat saya lempuyengan, seperti ayam aduan yang memaksa berdiri meski tahu jalu lawan terlihat lebih kokoh.
Tetapi, hal itu membuat saya sadar, bahwa untuk menyelesaikan skripsi—terutama bagi mereka yang berada di semester gawat seperti saya—hanya butuh dua hal. Pertama, harus bisa menurunkan ego; dan kedua, harus bisa menghilangkan rasa malu.
Menurunkan rasa ego maksudnya mau menerima masukan serta arahan dari dosen yang mungkin dulu kita pikir mereka kebanyakan ceramah. Ini adalah kunci. Dalam hal ini, saya pikir tak ada salahnya kita mengikuti apa yang dosen katakan, meski misalnya itu bertentangan dengan idealisme yang kita yakini. Kecuali memang kalian tidak mau lulus, tentu itu beda soal.
Kunci kedua adalah menghilangkan rasa malu untuk berani bertanya kepada siapapun pada saat skripsian, entah itu bertanya pada dosen atau juga pada adik tingkat. Langkah ini akan menyelamatkanmu dari pepatah tua “Malu bertanya sesat di jalan”. Bertanya kepada adik tingkat, misalnya, tidak membuat harga dirimu turun. Itu justru bisa saja membuat bebanmu terasa ringan, dadamu terasa lebih lega, dan jalanmu terlihat lebih terang. Tuhan menitipkan banyak petunjuk di dunia ini—dan itu bisa saja melalui adik-adik tingkatmu.
Rasanya dua hal itu sudah sangat cukup membantu. Oh iya, mungkin satu hal lagi yang perlu di ingat, yakni niat ingin lulus juga harus ada. Rasanya sangat susah kalau dalam proses menyelesaikan skripsi masih membawa rasa ego dan ideologis yang menggebu-gebu.
Hal itu bukannya membantu malah bisa menjadi hambatan bagi diri sendiri. Niat ingin lulus juga harus di wujudkan dengan rajin datang ke kampus untuk melakukan bimbingan kepada dosen pembimbing. Kalau niat saja tanpa ada aksi ya percuma. Dan saya tidak sedang omong kosong, sebab saya pernah mengalaminya.
Dan benar kata pepatah: badai pasti berlalu, meskipun dengan susah payah, akhirnya gelar sarjana sudah saya dapatkan.
Syahdan, dengan begitu, lagu Pidi Baiq yang berjudul Koboy Kampus—yang liriknya sangat mewakili kekhawatiran mahasiswa semester tua itu—sudah tidak relevan untuk saya nyanyikan sekarang.
Sekarang, cukup teman saya yang bernama Oktavian Aditya dan Addinu Farhan saja yang menyanyikannya—karena lagu itu masih sangat pantas mereka nyanyikan sebab mereka memang belum lulus. Ayo, lanjutkan lagi nyanyinya kawan!
Lalu kapan saya akan diwisuda?
Adik kelas sudah lebih dulu
Hati cemas merasa masih begini
Kawan baik sudah di D.O…[T]