SORE, Minggu, 13 Agustus 2023. Di Berbagi Ruang dan Kopi, Peguyangan, Denpasar. Suara dentuman drum dan gitar yang tak beraturan terdengar dari jalan, sebelum memasuki tempat parkir.
Di dalam, salah satu band terlihat sedang cek sound untuk persiapan Showcase Regenerasi Bernyali pada malam harinya, di tempat yang sama. Ini adalah salah satu acara dari provider IM3 yang berkerja sama dengan Colabonation dan Pohon Tua Creatorium.
Sore itu pula, orang-orang sudah sibuk menyiapkan berbagai peralatan di panggung, mengutak-atik mixer dan sibuk melayani orang-orang yang datang ke Berbagi Kopi, Peguyangan, Denpasar Utara, itu.
Sebelum memulai showcase, kami teman-teman media dan juga orang-orang yang secara khusus ingin menonton konser itu disuguhi dengan diskusi perjalanan proses penciptaan karya-karya yang akan mereka bawakan.
Diskusi dibuka dengan Dadang Pranoto, gitaris dari Naviculla dan vokalis di band Dialog Dini Hari, yang juga sebagai produser dan kurator dalam project Regenerasi Bernyali ini.
Ia mengatakan Regenerasi Bernyali ini sebenarnya sudah digagas tahun lalu dan mengkurasi dari 15-an band bukan hanya di Bali, tetapi di Indonesia. “Dan kami akhirnya mendapatkan 3 Band ini. Lalu produksi kami mulai dari bulan Januari,” tambah Dadang.
Dadang mengutarakan, Regenerasi Bernyali ini berangkat dari permasalah-permasalahan yang ada pada band muda di Bali.
“Bahwa kami ingin memberikan mereka knowladge dari proses karya, penciptaan dan manage dari dalam juga,” katanya.
Ia juga ingin musisi bali ini tidak terlalu serius tapi tidak terlena juga. “Kami memanage segalanya. Mulai dari bulan ini harus sudah rekaman dan bulan ini produksi,” tambah Dadang.
Begitu pula dari teman-teman band Matilda, Soulfood dan juga Astera. Bahwa mereka bisa memanage segala hal dalam Regenerasi Bernyali ini. Entah itu tentang proses penciptaan karya, proses rekaman sampai ke proses produksi. Mereka pula bercerita bisa lebih memanage waktu karena tuntutan dari sang produser sendiri.
Ketiga band ini memiliki album dengan ciri khas mereka masing-masing. Nama album-album mereka juga cukup folosofis.
Ewa vokalis dari Matilda mengambil nama untuk album mereka adalah “Cosmotopia”.
Ewa mengatakan, Matilda menggambarkan dan mensimbolisasikan sebuah semesta bernama Cosmotopia yang merupakan gabungan dari dua makna yaitu Cosmos. Yang berarti suatu sistem dalam alam semesta yang teratur serta harmonis. Dan Utopia yang berarti suatu komunitas atau sebuah masyarakat imajinasi dengan kualitas dan taraf hidup yang sangat didambakan bagi semua mahluk hidup atau dapat di katakan nyaris sempurna.
“Kami ingin menyampaikan bahwa musik kami sangat luas, mulai dari aransemen dan yang lain. Kami ingin para pendengar ingin merasakan kebebasan kami pada album ini,” sambungnya.
Begitu pula dengan band Astera. Chandra, drumer band Astera ini sempat mengatakan bahwa Astera adalah band yang paling sedikit mendapatkan waktu untuk project ini.
“Proses sangat bernyali dan kami bergabung pada bulan maret dan baru memuali pada bulan juli. Itu menjadi tantangan untuk kami,,” tuturnya.
Di Regenerasi Bernyali mereka dituntut untuk selalu berkarya dan menjadikan kami harus komitmen dalam hal ini.
Astera sendiri menamakan album mereka “Better Days”.
Better Days sendiri berangkat atas fenomena orang saat ini disekitar mereka lebih takut untuk berekspektasi. “Beberapa waktu ini, seringkali kita melihat teman-teman atau mungkin lingkungan sekitar itu sangat sulit rasanya untuk mencari sesuatu yang baru,” kata Chandra.
“Maka dari itu, kami memberikan nama Better Days agar para pendengar dapat melakukan segala hal tanpa rasa takut atas pencarian baru mereka,” sambungnya.
Dilanjutkan oleh Soulfood, mereka menamakan albumnya dengan “Amesigenalew”.
Bam, selaku gitaris dari band Soulfood mengatakan “Album kita beri nama Amesigenalew, itu adalah bentuk terima kasih kita dalam segala perjalanan,” ujarnya.
“Kami bisa maju berkat banyak pertolongan dari orang-orang yang sangat baik. Kami berporses dari 2018 sebenarnya. Dan akhirnya 2020 kami rekaman. Dan kami menjadi tahu etos kerja dari mas dadang”, sambungnya.
Ketiga band ini sebagian besar lagunya berbahasa Inggris. Menurut mereka, bahasa Inggris tidak terlalu sulit ditulis menjadi sebuah lagu. Jika menggunakan bahasa Indonesia, sering kali mereka kesulitan untuk mencari padanan agar sesuai dengan makna musik yang ingin disampaikan pada pendengar.
Ada hal menarik yang diutarakan oleh Dadang Pranoto selaku produser mereka. Dari sekian banyak lagu yang berbahasa Inggris, Soulfood menyempilkan satu lagu berbahasa Madura di albumnya tersebut. Itu sangat menarik, bahkan ketika pembicaraan tentang bahasa Inggris menarik, bahasa daerah adalah hal yang unik.
Setelah diskusi itu berakhir, kita langsung disuguhkan dengan pemutaran dokomentasi perjalan rekaman ketiga band itu. Lantas dilanjutkan dengan band pembuka yaitu Dialog Dini Hari. Semua orang yang ada di sana, dari mulanya menyebar di setiap sudut tempat muali merapatkan dirinya di depan panggung.
Setelah Dialog Dini Hari tampil, dilanjutkan dengan ketiga band tersebut mempresentasikan karya yang telah dibuat mereka selama 6 bulan perjalanannya.[T]