DISKUSI hari ini diberi tajuk “25 Tahun Reformasi, Menimbang Buku-buku Ayu Utami”. Kegiatan ini sepertinya suatu rangkaian tour sastra yang diselenggarakan Komunitas Utan Kayu di beberapa daerah di Indonesia bekerja sama dengan komunitas sastra lokal. Sebelum hari ini di Bali dalam Festival Seni Bali Jani V, kegiatan semacam ini sudah dilakukan di Semarang, 11 Mei 2023 lalu di Taman Indonesia Kaya, Semarang. Setelah di Bali, mungkin kegiatan ini akan dilanjutkan di tempat lain.
Ada dua kata kunci yang mencoba ditautkan, yakni Reformasi dan buku-buku Ayu Utami. Penautan ini tentu dilakukan secara sadar untuk memberi pesan tentang relasi antara Reformasi dan buku-buku Ayu Utami. Lebih dari itu, tajuk acara ini dapat saja dimaknai sebagai upaya pemosisian buku-buku Ayu Utami sebagai, setidak-tidaknya, salah satu elemen penting dalam era Reformasi di Indonesia. Membicarakan Reformasi, mau tidak mau juga membicarakan karya-karya Ayu Utami, khususnya Saman dan Larung. Boleh jadi, kesan itu yang ditangkap pembaca atas tajuk acara ini.
Tentu, penautan ini punya dasar. Pada kenyataannya, novel pertama Ayu Utami yang membawanya tampil di tengah arena sastra Indonesia, Saman, terbit pertama kali pada April 1998, ketika Reformasi sedang menggelinding. Novel ini memenangi Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998. Penghargaan ini tak pelak menahbiskan Ayu Utami sebagai salah seorang pengarang penting sastra Indonesia.
Tiga tahun setelah Saman, terbit Larung yang merupakan kelanjutan Saman. Kedua novel ini diklaim sebagai dwilogi yang masing-masing berdiri sendiri. Namun, sambutan pembaca sastra Indonesia terhadap Larung tak sedahsyat Saman. Jika Saman sampai dicetak sebanyak 37 kali dan diterjemahkan ke dalam 10 bahasa di dunia, Larung hanya dicetak 8 kali. Bahkan, Bilangan Fu (2008) yang mengantarkan Ayu Utami meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008, baru dicetak 4 kali[1].
Saman memang lahir pada momentum yang tepat pada akhir masa kekuasaan Soeharto. Novel ini hadir ketika rakyat Indonesia berada pada posisi sudah tidak tahan lagi dengan otoritarianisme Soeharto dan berkehendak besar untuk mengakhirinya. Novel ini menyeruak di tengah rasa muak terhadap monopoli kebenaran Orde Baru dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam penggunaan bahasa yang sarat eufemisme untuk menutupi penindasan. Politik bahasa memang menjadi salah satu fondasi kekuasaan Orde Baru.
Di tengah kondisi masyarakat Indonesia saat itu, Saman dengan pilihan tema perlawanan terhadap kekuasaan yang lalim dibalut eksplorasi seksualitas yang menyentak, tentu disambut euforia tinggi. Saman tampaknya menjadi salah satu novel Indonesia pasca-Reformasi yang paling banyak dibicarakan. Jika kita berselancar di internet dengan kata kunci “novel Saman”, kita akan menemukan sedikitnya 7.000.000 artikel/tulisan tentang novel tersebut.
Sementara Larung hanya muncul sebanyak 101.000 hasil pencarian, sedangkan novel Bilangan Fu mencapai 571.000 hasil pencarian. Meski bukan satu-satunya ukuran, tapi paling tidak hasil pencarian di internet menunjukkan bagaimana karya-karya Ayu Utami direspons. Data kasar di internet itu menunjukkan novel Ayu Utami yang meraih penghargaan relatif lebih banyak direspons. Boleh jadi ini mencerminkan karakter pembaca sastra Indonesia yang tampaknya masih menggunakan penghargaan sastra sebagai ukuran untuk membaca karya sastra.
Tatapan Seksualitas
Tatapan terhadap novel-novel Ayu Utami, terutama Saman dan Larung, umumnya diarahkan pada aspek eksplorasi seksualitas yang pada eranya terbilang menyentak. Walaupun, jika dicermati, eksplorasi seksualitas secara terbuka dalam sejarah sastra Indonesia bukan hal baru. Sebelum Ayu Utami sudah ada Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG yang juga lebih terbuka dalam menceritakan atau melukiskan seksualitas perempuan Jawa.
Hanya memang, pada Saman dan Larung, eksplorasi seksualitas, selain lebih vulgar, juga muncul pada momentum yang tepat. Bahkan, model eksplorasi seksualitas dalam Saman dan Larung tampaknya diikuti sejumlah pengarang lain, terutama perempuan, seperti Djenar Mahesa Ayu, Dinar Rahayu, termasuk pengarang dari Bali, Oka Rusmini.
Namun, Oka Rusmini tampaknya memilih wilayah penggalian yang berbeda. Meski juga berciri perayaan tubuh, karya-karya Oka Rusmini mengandung dimensi lokalitas yang kental. Karya-karyanya bertaut dengan problematika keterpinggiran perempuan di hadapan tradisi Bali yang patriarkat. Ini menyebabkan karya-karya Oka Rusmini tak hanya berbeda dengan kecenderungan karya perempuan pengarang lainnya yang mengambil dimensi problematika perempuan urban, tapi sekaligus juga berbeda dengan karya pengarang Bali lain yang sama-sama mengeksplorasi adat dan tradisi Bali.
Karya-karya dengan eksplorasi seksualitas dan perayaan tubuh perempuan tampaknya sempat menjadi semacam arus utama dalam sastra Indonesia pasca-Reformasi. Sampai-sampai muncul label “sastrawangi”, “Sastra Selangkangan Semata (SMS)” hingga “Gerakan SyahwatMerdeka (GSM)”. Label GSM merupakan kritik tajam penyair Taufik Ismail dalam orasi kebudayaannya di Akademi Jakarta, 20 Desember 2006[2].
Ayu Utami sempat menanggapi pelabelan itu dengan menyebut hal itu meniru gaya-gaya orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI)[3]. Menurut Ayu Utami, orang hanya melihat sepotong-sepotong pada keterbukaan soal seks dalam karya sastra perempuan, padahal tema serupa juga ditulis penulis laki-laki. Hal itu erat kaitannya dengan euphoria kebebasan pascarepresi Orde Baru.
Di kalangan para peneliti sastra, “sastrawangi” menjelma wacana yang banyak dibicarakan dalam pembahasan tentang sastra Indonesia pasca-Reformasi. Hal itu terutama terjadi dalam pembahasan feminisme dalam sastra Indonesia pasca-reformasi. Eksplorasi seksualitas dan pendobrakan terhadap tabu pada karya-karya Ayu Utami dan “perempuan pengarang” lainnya cenderung dimaknai sebagai representasi perlawanan terhadap hegemoni patriarkhi. Ayu Utami dipandang sebagai pengarang di barisan terdepan dalam arus utama ini.
“Sastra Islami” dan Spiritualisme Kritis
Sebagaimana pandangan Foucault bahwa kekuasaan melahirkan antikekuasaan. Wacana arus utama akan melahirkan pula wacana tandingan. Begitu pula perkembangan sastra Indonesia pasca-Reformasi. Keberadaan “sastrawangi” mendapatkan tandingan dengan munculnya karya sastra bernuansa religius, khususnya bernafaskan Islam.
Kehadiran “sastrawangi” dalam arus utama sastra Indonesia menghidupkan kembali genre sastra bernuansa Islami yang menekankan pada nilai-nilai keislaman, seperti Ayat-ayat Cinta (2004) atau Ketika Cinta Bertasbih (2007) karya Habiburahman El Shirazy serta novel-novel motivasi yang mengeksplorasi kesuksesan di tengah kemiskinan tokoh-tokohnya semacam Laskar Pelangi (2005) karya Andrea Hirata. Bahkan, hingga kini kita melihat novel-novel jenis ini telah kembali mendapatkan dominasinya dalam arus utama sastra Indonesia.
Keberadaan “sastra Islami” sebetulnya sudah menjadi isu lama, bahkan sejak lahirnya sastra Indonesia pada awal abad ke-20. Bahkan, menurut penelitian Okky Madasari dalam Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan (2019), sastra Islami telah melalui perjalanan yang panjang, sempat kalah lalu tenggelam, hingga akhirnya kini kembali tampil sebagai arus utama dalam sastra Indonesia.
Novel Tenggelamnya Kapan van der Wijk (1938) maupun Di Bawah Lindungan Ka’bah (1940) karya HAMKA sering dipandang sebagai “novel Islami” yang berhasil dan menjadi patron bagi “novel-novel Islami” sesudahnya. Menurut Okky Madasari, dominasi novel-novel bernuansa Islami, novel-novel motivasi dan percintaan dalam sastra Indonesia sebagai buah dari pertarungan wacana dalam arena sastra Indonesia yang berlangsung panjang.
Awal Reformasi juga ditandai dengan menguatnya tindakan intoleransi dengan latar belakang agama. Puncaknya terjadi pada 12 Oktober 2002 dengan peristiwa Bom Bali I. Ruang publik diwarnai dengan diskursus mengenai intoleransi atau deradikalisasi. Pada saat yang sama, sastra bernuansa Islami juga makin mendominasi arena sastra Indonesia.
Ayu Utami kembali merespons perkembangan itu dengan karya-karya yang dilabelinya sendiri sebagai “spiritualisme kritis”. Istilah “spiritualisme kritis” dimaknai Ayu Utami sebagai sikap spiritual yang tidak mengkhianati nalar kritis. Atau, sikap kritis yang tidak tertutup pada hal-hal di luar kapasitasnya[4]. Istilah ini diperkenalkan Ayu Utami dalam novelnya yang meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2008, Bilangan Fu (2008).
Latar belakang istilah spiritualisme kritis, menurut Ayu Utami, lahir dari keprihatinannya terhadap makin meningkatnya kekerasan atas nama agama di Indonesia dan terorisme di dunia. Penggalian tentang spiritualisme kritis itu dilakukan Ayu Utami melalui pembacaan terhadap teks-teks sastra tradisional, khususnya Jawa. Dari situ Ayu Utami menemukan konsep rasa yang dibandingkannya dengan rasio yang didapatkannya dalam tradisi Alkitab serta religio.
Namun, adakah spiritualisme kritis bisa mendapat tanggapan sedahsyat eksplorasi seksualitas dalam Saman dan Larung? Tentu kita masih harus menunggu perkembangan dalam arena sastra Indonesia kita. Yang jelas, karya-karya Ayu Utami telah hadir tidak hanya mewarnai tetapi juga terlibat dalam dialektika untuk merumuskan sastra Indonesia kita hari ini dan di masa depan.
Suara-suara “Liyan”
Selain soal eksplorasi seksualitas dan perayaan tubuh perempuan, novel-novel Ayu Utami sejatinya juga memberi ruang bagi mereka yang termarginalkan, tersingkirkan, dikalahkan dan mereka yang selama ini tidak bisa bersuara. Selain kaum perempuan yang berada di bawah hegemoni budaya patriarkhi, Saman dan Larung juga memberi ruang bagi korban penindasan negara dan milter, kaum biseksual, termasuk korban-korban tragedi 1965.
Dalam konteks cultural studies, kelompok-kelompok ini lazim disebut sebagai the Other, “yang-Lain” atau “sang Liyan”. The Other merupakan gagasan yang berhubungan erat dengan identitas serta perbedaan dengan pemaknaan atas identitas yang berbeda dengan “yang Lain”[5].
Suara-suara “yang-Lain” itu hadir sangat kontekstual sehingga dirasakan seperti memotret wajah lain masyarakat Indonesia kala itu yang tidak banyak dimunculkan dalam wacana arus utama. Tokoh-tokoh dalam novel-novel Ayu Utami merupakan representasi kelompok-kelompok marginal yang kerap kali diabaikan atau malah dianggap tidak ada. Shakuntala misalnya, dapat dibaca sebagai representasi kelompok sosial yang memiliki orientasi seksual berbeda dan kerap dianggap tidak ada, dianggap sebagai “penyakit” yang mesti disadarkan untuk “kembali ke jalan yang benar”. Dalam Saman dan Larung, tokoh ini menyampaikan pikiran-pikirannya yang mempertanyakan moralitas dalam seksualitas yang begitu kokoh di tengah masyarakat.
Selain itu, suara-suara “yang-Lain” dalam novel-novel Ayu Utami juga dicerminkan dari warna lokal Bali. Novel Larung merupakan novel Ayu Utami yang pekat menghadirkan wajah Bali. Tak hanya melalui kehadirah tokoh Larung yang berdarah Bali-Belanda-Jawa atau Wayan Togog seorang aktivis dari Bali, tapi juga wacana lokal Bali yang diangkat mengenai korban Tragedi 1965 di Pulau Dewata.
Dalam catatan para peneliti, Bali disebut sebagai salah satu daerah dengan jumlah korban pembantaian terbanyak. Namun, perbincangan mengenai isu ini begitu minim karena masyarakat Bali sendiri juga seolah mengalami trauma sejarah berkaitan dengan tragedi tersebut.
Dalam konteks sastra Indonesia, hingga tahun 2000, isu korban penumpangan G30S di Bali terbilang sepi. Oleh karena itu, pilihan Ayu Utami menghadirkan isu ini dalam konteks Bali dalam karyanya termasuk sebagai upaya yang perlu dihargai. Baru belakangan sastra Indonesia mulai banyak diwarnai karya-karya bertema Tragedi 1965, seperti Lobakan (2009) yang merupakan kumpulan cerpen seputar Tragedi 65 karya berbagai pengarang Indonesia.
Bali dalam Larung bukanlah Bali yang eksotik atau penuh daya keindahan turistik seperti disajikan dalam brosur-brosur pariwisata, melainkan Bali dengan sisi kelam yang tak banyak disinggung. “Sisi gelap” Bali[6] yang lebih sering justru disembunyikan karena tak ingin mengganggu citra harmoni masyarakat Bali yang dibangun industri pariwisata. Hal ini tentu juga dapat dimaknai sebagai suara-suara “yang-Lain”, suara-suara “Sang Liyan” mengenai Bali.
Semangat Ayu Utami tampaknya senafas dengan semangat para sastrawan Bali yang selama Orde Baru juga berjuang menghadirkan potret Bali yang berbeda dengan citra eksotismenya. Pengarang Bali, seperti Putu Wijaya, Nyoman Rastha Sindu, Putu Oka Sukanta, Gde Aryantha Soethama maupun Oka Rusmini konsisten mengeksplorasi dinamika Bali dalam pertarungan antara tradisionalitas dan modernitas.
Melalui karya-karyanya, para pengarang Bali itu tidak pernah lelah menyuarakan kritik tajam kepada industri pariwisata dan kapitalisme secara umum karena menyebabkan makin hilangnya tanah-tanah Bali serta terpinggirkannya masyarakat lokal.
Lebih dari itu, yang jauh lebih hebat daya rusaknya tentu saja makin matinya daya kritis masyarakat lokal karena suara-suara “yang-Lain”, suara-suara “Sang Liyan” diabaikan hingga dihabisi karena dianggap menggangu citra harmonis Pulau Surga. Bahkan, hingga 25 tahun Reformasi, situasi ini belum banyak berubah. Dalam konteks itu, membaca kembali karya-karya Ayu Utami, demikian pula karya-karya sastrawan lainnya yang mengusung gagasan serupa, menjadi relevan dan tentu saja penting.[T]
- Disampaikan dalam diskusi Temu Buku “25 Tahun Reformasi: Menimbang Buku-buku Ayu Utami” serangkaian Beranda Pustaka Festival Seni Bali Jani V, di Laboratorium Film dan Televisi (FTV), Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis, 27 Juli 2023
[1] Siaran pers Komunitas Utan Kayu tentang acara “25 Tahun Reformasi: Menimbang Buku-buku Ayu Utami” Temu Buku Beranda Pustaka Festival Seni Bali 2023.
[2] https://id.wikisource.org/wiki/Budaya_Malu_Dikikis_Habis_Gerakan_Syahwat_Merdeka
[3] https://www.langitperempuan.net/ayu-utami-tanggapi-keresahan-taufik-ismail-pada-gerakan-syahwat-merdeka/
[4] Lebih lengkap soal istilah spiritualisme kritis dapat dibaca dalam esai Ayu Utami di https://ayuutami.info/files/Sekilas_Spiritualisme_Kritis_TUK_2015.pdf
[5] Chris Barker dalam Kamus Kajian Budaya (2014: 199)
[6] Meminjam istilah Geoffrey Robinson dalam bukunya The Dark Side of Paradise (1995).