“Perasaan, telah banyak menyeret manusia ke dalam masalah. Karena perasaan sering membawa manusia menjadi tak adil.”
MAU ke mana dokter Indonesia? Pertanyaan ini cukup relevan dilontarkan pada hari-hari ini, saat rancangan undang-undang (RUU) Kesehatan disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang (UU). Dan setelah konflik panjang yang begitu terasa antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dengan organisasi profesi (OP), terutama Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Bahkan diskursus sesungguhnya belum mereda lantaran berbagai pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang dirasa menyerang dokter Indonesia. Soal perundungan pendidikan dokter di Indonesia, resistensi dokter Indonesia terhadap persaingan global, dan sebaliknya tudingan IDI terhadap pemerintah yang seakan melupakan begitu saja jasa dokter Indonesia selama pandemi Covid-19. Habis manis sepah dibuang.
Bagi saya, jawaban atas pertanyaan di atas, sebetulnya cukup jelas dan sederhana. Dokter Indonesia dalam wadah IDI yang “Satu dan terus maju”, akan dan harus tetap berdiri dengan tegak dan selalu melangkah ke depan dengan tegap. Berdiri tegak sebagai organisasi profesi yang selalu menjaga integritas dan etik dengan kokoh dan melangkah tegap ke depan membangun kesehatan bangsa. Melanjutkan langkah gemilang Dokter Sutomo dan para dokter pergerakan nasional saat bahu-membahu dengan para pendiri bangsa yang lain, menancapkan Sang Merah Putih untuk kemerdekaan bangsa.
Kini, langkah itu kita tujukan untuk sesama yang memerlukan pelayanan kesehatan di seluruh pelosok negeri. Dengan kehangatan humanisme dan segenap jiwa pengabdian. Dan menjadi agen perubahan untuk masa depan bangsa yang lebih bermartabat.
Kita mesti percaya UU Kesehatan bukanlah vonis kiamat bagi IDI. Meski kita pun harus mengkui tak ada pemerintah yang sempurna dalam segala hal. Namun survey tingkat kepuasan masyarakat kepada pemerintahan Presiden Jokowi sebesar hampir 90% boleh dijadikan acuan. Ini termasuk angka terbesar dalam sejarah pemerintahan Indonesia, bahkan dunia.
Begitu juga, dengan berlakunya UU Kesehatan ini, bukanlah sebuah kekalahan memalukan bagi IDI. Keduanya, pemerintah dan IDI harus bisa melihat dinamika ini sebagai sebuah kehidupan bernegara dengan segala muatan dan nuansa politisnya.
Bukankah DPR adalah institusi politik? Bukankah menteri adalah jabatan politik? Maka UU tentu saja produk politik. Sepanjang langkah-langkah yang dipijakkan telah membawa serta spirit demokrasi maka keputusan layak untuk dihargai. Jika ada syak wasangka sejawat dokter yang menilai BGS hendak memecah belah bahkan akan menjajah dokter Indonesia, harus juga kita maklumi. Mengingat gaya komunikasi menkes yang terlampau vulgar. BGS mesti memahami psikologis para dokter dan membangun pola komunikasi yang lebih hangat dan egaliter.
Meskipun berbagai isu yang dilontarkan menkes ke publik ada benarnya, yang dilakukan oleh para oknum, namun perlu dilakukan dengan cara yang lebih terukur sehingga tidak menimbulkan sentimen negatif dari IDI. Apalagi BGS sendiri bukan berasal dari kalangan dokter yang tentu saja sudah memberi rasa jarak bagi para dokter, terutama dokter senior dan pengurus OP. Meskipun bukan hal aneh jika Menkes itu bukan seorang dokter. Singapura misalnya, menkesnya juga bukan dokter.
Di sisi lain, kita pun harus mau mengakui secara obyektif, gebrakan Menkes yang telah menyiapkan anggaran Beasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebanyak 2.500 orang, ini merupakan jumlah terbesar dalam sejarah Kemenkes RI. Begitu juga kemudahan pendidikan fellowship maupun penyederhanaan perizinan praktek dokter.
Maka, jika syak wasangka tersebut diteruskan, akan berhadapan dengan tembok logika yang tak bisa dilewati. Jika dokter Indonesia sebagai profesi hancur, apa manfaatnya bagi Menkes? Jika masyarakat tak lagi percaya kepada dokter, apa gunanya buat pemerintah? Justru yang terjadi kerugian teramat besar bagi pemerintahan negeri ini.
Makanya lagi, prasangka bahwa menkes atau pemerintah telah memecah belah organisasi dokter dan kemudian melancarkan kolonialisme terhadap profesi ini, tak punya alibi yang cukup kuat. Kalau toh ada sebuah konspirasi terselubung yang kita curigai, sejak begitu progresifnya upaya meloloskan RUU Kesehatan ini dilakukan, seperti keuntungan bagi asing misalnya, tentu kita harus menemukan data dan argumen yang valid. Jika tidak, kita pun masih bisa menunggu dan melihat (wait and see), apakah hal itu betul bakal menjadi kenyataan? Jika benar, tak usah ragu lagi para dokter harus kembali turun ke palagan. Seperti yang telah ditorehkan dengan tinta emas oleh Dokter Sutomo dan kawan-kawan.
Bahkan jika kita sepakat menggunakan koridor konstitusional, hari ini kita dapat mengajukan keberatan melalui uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Itu jauh lebih baik, daripada meletupkan peperangan melalui media massa saat ini. Karena perlu disadari, mayoritas dokter saat ini, selain adalah keluarga besar IDI pada satu kaki, pun adalah jajaran kemenkes pada kakinya yang lain.
Satu pilihan yang tak kalah baiknya bagi dokter Indonesia adalah, memantau dan mengawasi dengan ketat pelaksanaan UU Kesehatan tersebut, termasuk bisa ikut terlibat dengan intens saat penyusunan turunan UU Kesehatan tersebut mulai dari peraturan pemerintah (PP) dan seterusnya. Pastikan pengurusan izin menjadi lebih mudah dan murah, realisasi beasiswa PPDS maupun fellowship serta pemerataan sarana prasarana medis ke seluruh pelosok negeri.
Saya sendiri, sejak lebih dari 10 tahun ini adalah salah satu pengurus inti IDI Cabang Buleleng. Bersama sejawat pengurus dan anggota telah melakukan banyak hal untuk anggota maupun masyarakat seperti kegiatan ilmiah, bakti sosial, edukasi masyarakat via berbagai platform media hingga kegiatan olah raga serta seni dan budaya.
Oleh karena itu, saya selalu meyakini IDI dan dokter sampai kapan pun tetap dihormati dan dimuliakan sebagai profesi yang sarat dengan spirit kemanusiaan yang senantiasa menggetarkan hati insani. Dokter Indonesia niscaya semakin profesional dan humanis karena saat melayani sesama telah dilatih mengedepankan kepekaan perasaan. Namun sebaliknya, saat menghadapi dinamika serta diskursus politik dan kenegaraan, dokter hendaknya lebih mengandalkan rasio dan nalar ketimbang perasaan. [T]
- BACAesai dan cerpen dari penulisDOKTER PUTU ARYA NUGRAHA