DI SELA-SELA acara Lovina Festival, Minggu, 23 Juli 2023, berlangsung diskusi tentang film di Rumah Film Sang Karsa. Belum tahu Rumah Film Sang Karsa? Letaknya di tepi selatan Jalan Raya Singaraja-Gilimanuk, di sebelah barat lagi sedikit dari pusat digelarnya Lovina Festival.
Dalam diskusi itu hadir Joseph JU Taylor. Jos, begitu ia dipanggil, adalah Produser Pelaksana Film “Luchsinger and the God”. Oh ya, film “Luchsinger and the God” sempat diputar, Sabtu malam, 22 Juli, di Lapangan Voli Kalibukbuk.
Diskusi itu sendiri dihadiri juga oleh pegiat dan penonton film di Buleleng. Saya sneidir, Putu Kusuma Wijaya, dan Putu Satria Kusuma. Ada juga peserta lain yang punya perhatian besar di bidang perfilman, seperti Kardian Narayana, Dian Surayantini, Kadek Sonia Piscayanti, Tini Wahyuni, Eka Prasetya dan Made Adnyana Ole. Tentu saja diskusi itu dihadiri Kepala Dinas (Kadis) Pariwisata Buleleng Gede Dody Sukma Oktiva Askara bersama sejumlah staf.
Diskusi diarahkan untuk membahas potensi Buleleng dalam produksi film berskala International dan Nasional di Buleleng. Tentu saja, sejak awal disepakati bahwa Kabupaten punya potensi menjadi pusat produksi film, baik berskala lokal, nasional, maupun internasional.
Jos, dalam diskusi itu, mengatakan syuting film Luchsinger and the God di Buleleng memakan waktu sekitar 26 hari dengan total perputaran uang sekitar Rp 1 Milyar. Budget ini tersebar ke berbagai pos ( Katering, transportasi, extras (figuran) maupun sumber daya manusia lainnya) yang diterima langsung oleh penduduk lokal
Jos menyebutkan, Luchsinger and the God bukanlah film berbiaya mahal untuk ukuran produksi negara Swiss. Dan hal itu memberikan gambaran bahwa sebuah produksi film Internasional sekecil apapun sanggup memberi sumbangan penting bagi perekonomian rakyat, di samping tentunya promosi daerah Lovina.
Diskusi tentang film di Rumah Film Sang Karsa, Lovina, Bali | Foto: Dispar Buleleng
Buleleng bisa menjadi daerah tujuan kerja film Internasional maupun Nasional karena karakter daerahnya yang macam-macam, bervariasi. Sebuah produksi film bisa saja menjadikan sebuah desa di Celukan Bawang misalnya, sebagai kampung Jawa (tanpa harus pergi ke Jawa- yang tentunya akan banyak menghemat anggaran sebuah produksi film).
Perkampungan dan desa-desa di Buleleng bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi sebuah produksi film International.
Jika memungkinkan, kata Jos, Buleleng sebaiknya membuat website tentang lokasi-lokasi yang bisa menarik minat investor produski film di Buleleng.
(Nah, bagi saya, inilah yang harus ada pembicaraan lebih dalam lagi, website apa yang dimaksud dan apakah memang sudah waktunya).
Jos mengatakan, dari pengalamannya memproduksi film Luchsinger di Buleleng pada tahun 2019 itu ia mendapat dukungan penuh dari pemerintah Kabupaten Buleleng. Dukungan itu antara lain berupa proses perizinan dan hal-hal lain yang “tidak dipersulit”.
(Di sela-sela diskusi, Pak Kadis Pariwisata sempat menelepon Kepala Imigrasi Buleleng menanyakan perihal aturan perijinan orang asing bisa mendukung sebuah produksi film. Dari penjelasan Kepala Imigrasi cukup panjang dan berisi kepada Kadis Pariwisata pada hari Minggu sudah memberikan gambaran hubungan erat dan saling mendukung. Ini pasti mempermudah segala proses produski film jika ada di kemudian hari)
Sebuah produksi film membutuhkan banyak orang. Seperti contoh, kru produksi film Luchsinger and the God berjumlah sekitar 42 orang. Hanya pemain, penata gambar, penata suara. tata artistik saja yang dari luar negeri, selebihnya adalah orang yang ada di Bali.
Banyak produksi film skala Internasional yang biasanya mencari kru lain seperti pencatat skrip, asisten penata gambar, asisiten penata suara dan sebagainya, di tempat lokasi syuting. Dan kesempatan inilah seharusnya dapat ditangkap oleh anak muda (Buleleng) sebagai pintu masuk pertama menuju industri film.
Dari hasil diskusi itu disepakati bahwa edukasi akan pembuatan film harus dilakukan di Buleleng.
Gede Dody Sukma selaku Kadis Pariwsata, dalam diskusi itu memberi pemaparan bahwa Lovina Festival pada tahun mendatang akan diusahakan berlangsung 7 hari, sehingga pemutaran film diharapkan akan terus berlangsung sebagai bagian dari festival itu.
Dinas Pariwisata akan menerima semua masukan dari diskusi film yang berlangsung di sela-sela Lovina Festival, hanya saja ia menyatakan tidak ada dana khusus yang akan disediakan untuk kegiatan ini.
Berbagai Masukan
Dalam diskusi dari peserta terungkap bahwa pemutaran film “Luchsinger and the God”, pada acara Lovina Festival itu diakui sebagai sesuatu yang baik, mengingat baru pertama kali film mendapat tempat, walaupun banyak kekurangan yang harus diperbaiki di masa mendatang.
Karena bagaimana pun, menonton film apalagi yang dua jam, memerlukan ruang perenungan- sehingga perlu dicarikan tempat yang lebih representatif. Sebelum pemutaran film pada Sabtu malam itu ada beberapa wisatawan asing yang sudah menunggu di depan layar, menandakan adanya minat menonton film bagi pengunjung Lovina Festival .
Lovina yang didirikan oleh Panji Tisna memang mempunyai keterkaitan dengan film. Panji Tisna pernah belajar film ke India dan dia juga yang mendirikan Maya Theater (Muda Ria Theater) di samping sekolah yang juga ia dirikan, Bhaktiyasa.
Untuk itu, demi menyusun kembali energi Panji Tisna akan kecintaannya akan film dan sastra, peserta diskusi sama-sama setuju agar di tahun mendatang film tetap dijadikan salah satu agenda dalam Lovina Festival.
Ide yang tercetus adalah
- Sebuah lomba pembuatan film pendek dengan bimbingan mentor mumpuni dari proses ide hingga eksekusi. Cerita harus berlokasi di Buleleng. (sponsor potensial harus dicari )
- Workshop mengajarkan cara pitching ide film dan pengenalan berbagai macam sumber dana perfilman.
- JIka memang tidak berhasil mendapatkan dana dari sponsor, maka peserta diskusi akan tetap membuat film dengan cara swadaya- sehingga pada Lovina Festival akan tetap memutar film dan bentuk bentuk diskusi lainnya.
- Membuat sebuah pendataan akan pelaku/pemerhati audio visual di Buleleng. Sehingga bisa saling mengenal berkolaborasi.
Dengan menciptakan ruang edukasi, penciptaan, berkesenian dalam latar romantis dengan segala medium komunikasi diharapkan bisa tumbuh dalam kemeriahan Lovina Festival mendatang yang kemudian bisa memberikan alternatif lain bagi pengunjung untuk bisa merasakan energi ketenangan dari Utara. Dengan merasakan itu maka pengunjung akan tinggal lama.
(NB: Saat saya menulis rangkuman diskusiini, Lovina Festival 2023 masih berlangsung, dan penyanyi di panggung kehormatan itu menyanyikan lagunya Rolling Stones, Under My Tumb. Mudah-mudahan tidak ada lagi band di panggung kehormatan menyanyikan lagu orang (Cover). Mohon lagu sendiri dinyanyikan. Untuk membedakan bahwa ini bukan café tapi Festival. Aduh sekarang Honky Tonk Woman…..lagi). [T]
- BACA artikel lain dari penulis PUTU KUSUMA WIJAYA