DI ERA DIGITAL, platform untuk berkarya atau mempublikasikan tulisan makin beragam dan makin mudah. Namun, untuk kematangan karya, sebaiknya generasi muda tetap mengontrol diri. Media sosial memiliki keunggulan sekaligus juga kelemahan yang perlu disiasati dalam proses kreatif berkarya.
Pandangan itu dikemukakan tiga sastrawan Bali penerima Bali Jani Nurgaha, yakni, I Nyoman Wirata (penyair dan pelukis), IB Martinaya (sastrawan dan sutradara teater), dan Sthiraprana Duarsa (penyair) saat berbagi proses kreatif dalam acara Temu Penulis Beranda Pustaka bertajuk
“Prosa Puisi Bali Jani” serangkaian Festival Seni Bali Jani V di gedung Vicon Citta Kelangen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis, 20 Juli 2023. Diskusi yang dipandu sastrawan dan pegiat teater Wulan Dewi Saraswati itu dihadiri sejumlah sastrawan, guru-guru, dan pelajar SMP serta SMA di seputaran Kota Denpasar.
“Bermedia sosial itu ada untung ruginya. Kalau tidak ada kontrol yang matang, maka akan bisa merugikan,” kata Wirata.
Gus Martin –nama panggilan IB Martinaya—juga senada dengan Wirata. Dia mengakui, kini ada semacam kebebasan menulis di banyak platform. Dengan media sosial, seseorang memiliki kebebasan mengedit sendiri dan menerbitkan sendiri karya-karyanya. Dengan kata lain tidak ada proses editing yang ketat dari editor seperti lazimnya di media cetak dulu.
“Di media online, terutama media sosial, kini ada semacam penyusutan proses jika dibandingkan media cetak,” kata Gus Martin.
Sthiraprana Duarsa yang biasa dipanggil Ary Duarsa juga merasakan perbedaan jauh antara media cetak dan media sosial dalam mempublikasikan karya. Dulu, untuk bisa dimuat di media cetak, seseorang mesti melewati hadangan redaktur sebagai penjaga gawang. Jika lolos, baru bisa dimuat. Kini di media sosial, orang bisa segera mempublikasikan karyanya dan segera pula dikomentari orang.
Kendati begitu, Ary Duarsa mengajak para penulis muda untuk menulis saja. Dalam sehari penting untuk menulis apa saja, seperti membuat catatatan harian. Kalau sudah menemukan ide, langsung ditulis, jangan takut salah. Biasanya, kata penyair yang juga dokter ini, ada yang enggan menulis karena takut salah. Sebaliknya ada juga yang segera menulis jika sudah menemukan kata-kata yang bagus, karena takut hilang.
“Ada juga yang disimpan dulu. Setelah ada waktu, baru ditulisnya,” ucapnya.
Wirata juga menyarankan hal yang sama. Membuat catatan harian terlebih dahulu bisa menjadi jalan proses kreatif. Dalam catatan harian, orang bisa memuntahkan apa saja, seperti perasaan mangkel, sakit hati dan lainnya. Itu tidak masalah karena di catatan harian yang tidak dibuka kepada publik.
Pada saat tertentu, catatan harian itu bisa dibaca lagi dan memberi ide menulis. Untuk menulis, menurut Wirata, bisa menggunakan berbagai stimulus. Pensiunan guru seni budaya di SMP 5 Denpasar ini menceritakan pengalamannya mengajari anak-anak didiknya menulis puisi dari membuat gambar terlebih dahulu. “Pertama melukis dulu, lalu muncul inspirasi selanjutnya bertransformasi menjadi puisi. Begitu sebaliknya,” katanya. [T]