Hidup takkan pernah aman
Kapan dan di mana pun
Selamanya terancam bahaya
Begitulah bunyi salah satu penggalan puisi Nur Wahidah Idris yang akan dibawakan dalam pementasan Rahim Bahari oleh Komunitas Aghumi pada Senin, 17 Juli 2023 di Festival Bali Jani nanti.
Tidak hanya Nur Wahidah Idris, ada 8 puisi penyair perempuan Bali lainnya yang turut menjadi akar pementasan Rahim Bahari yaitu puisi Caesilia Nina Yanuariani, Putu Vivi Lestari, Ni Made Purnama Sari, Saras Dewi, Ni Putu Mira Novianti, Pranita Dewi, Ni Wayan Idayati, dan Wulan Dewi Saraswati. Kesembilan puisi tersebutlah yang kemudian dieksplorasi lebih jauh oleh Aghumi melalui pendekatan terapiutik partisipatoris.
Sebagai komunitas seni yang berdasar tarot dan berfokus pada kesehatan mental, Aghumi tidak hanya menjadikan 9 puisi tersebut sebagai karya sastra yang dipanggungkan secara verbal, tetapi juga sebagai suatu jalan untuk menyampaikan pesan-pesan semesta.
Lebih jauh, puisi-puisi tersebut tidak hanya dieksplorasi dengan satu dua bentuk. Aghumi berusaha menggali berbagai kemungkinan dari berbagai perspektif dan latar belakang. Keterlibatan beberapa kalangan berbeda menjadikan dramatisasi puisi ini tidak hanya terhenti pada teks dan bacaan. Seperti bahari, pementasan ini mengandung banyak komponen yang merefleksikan laut di mana laut adalah sebuah kesatuan yang mengandung keberagaman.
.
Dalam prosesnya, Wulan Dewi Saraswati sebagai sutradara pentas membagi keberagaman tersebut menjadi beberapa segmen yang kemudian disatukan secara bersama-sama untuk menjadi sebuah bentuk yang harmonis. Saya sendiri, sebagai salah satu pemain yang akan melakukan poetry slam dan berduet bersama salah satu pembaca puisi lainnya yaitu Vuri, selalu diingatkan bahwa membaca puisi adalah soal penjiwaan. Jiwa yang harus menghayati dari dalam, maka yang di luar akan mengikuti.
Hal ini juga berlaku pada proses pembangunan chemistry saya dan Vuri. Sebagai pemain yang baru pertama kali bertemu dalam proses pementasan ini, kami memiliki hal-hal “luar” yang barangkali sangat berbeda. Latar belakang berbeda, budaya, aksen, pengalaman, dll.
Namun sesuatu yang ada di “dalam” kami yaitu kecintaan pada puisilah yang membantu menjembatani perbedaan tersebut hingga akhirnya kami mampu menyatu dalam proses berpuisi dan siap berduet di panggung nanti.
Kesembilan puisi penyair perempuan Bali kelahiran tahun 1960-1990 yang akan dipentaskan nanti memiliki kacamata berbeda dari tahun ke tahunnya. Sehingga pada pementasan Rahim Bahari, kita dapat menyaksikan bagaimana puisi-puisi tersebut menjadi pantulan reflektif tentang laut dan perubahan-perubahan yang menyertainya.
Mari saksikan, bagaimana Aghumi memanggungkan samudera ramuannya dari puisi dan tarot. [T]