PADA JUMAT, 17 Januari 2020, saat hendak berangkat ke masjid, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Bang Jamal—arsitek muda dari Lampung itu—mengajak saya mendaki gunung. Dia bilang sebenarnya sudah lama sekali ingin mendaki, hanya saja belum ada kesempatan. Dan hari itu, keinginannya sudah tidak bisa dibendung lagi, katanya.
Saya mengiyakan—walaupun sebenarnya waktu itu tubuh saya tidak sedang dalam kondisi baik. Ya, saya ingat sekali, beberapa hari saya terserang flu dan batuk, sampai lama. Tapi apa boleh buat, mendaki gunung itu sangat menyenangkan. Dan saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Akhirnya saya menghubungi sahabat saya—yang tidak pernah menolak untuk saya ajak mendaki—yang saat itu dia masih menjadi mahasiswa akhir di Singaraja—sekarang dia sudah menjadi wartawan muda di JTV. Dia mau. Dan seperti biasa, dia telah mempersiapkan semuanya.
Setelah makan siang, saya mengajak Bang Jamal berangkat ke kontrakan saya dan sahabat saya, Dziky, di Jl. Bisma, Singaraja, belakang gedung perpustakaan Universitas Panji Sakti—kami sepakat untuk berkumpul di sana. Dan di kontrakan yang kami sebut “Republik Cidro” itu, sudah ada dua pemuda yang akan ikut serta. Yang satu masih SMA, yang satunya lagi mahasiswa tingkat 5 dari UNS, Solo—“Liburan semester, Bang,” katanya.
Terkait penyebutan kontrakan Republik Cidro ini bukan tanpa alasan. Kami sepakat menyebutnya begitu sebab kami, para penghuninya, memang termasuk dalam golongan orang-orang “cidro”—kata yang dipopulerkan oleh alm Didi Kempot (1966-2020), yang kini dikenal sebagai The Godfather of Broken Heart. Ya, waktu itu, kami semua adalah mahasiswa “tuna asmara”. Kadar ketertolakan kami (patah hati) lebih besar daripada cinta kami yang diterima. Setiap kami jatuh cinta, perasaan kami nyaris berakhir cidro.
Setelah ngobrol dan menikmati tembakau Aceh Gayo yang dibawa Rahman—yang saat ini sudah menjadi alumni UNS itu—, mengakrabkan diri satu sama lain dan menyanyikan satu-dua buah lagu Didi Kempot dan Nosstress, akhirnya kami berlima sepakat untuk mendaki Gunung Abang, gunung tertinggi ketiga di Bali setelah Gunung Agung dan Gunung Batukaru.
***
Gunung Abang terletak di Desa Abangsongan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Gunung ini menjadi daratan tertinggi di kawasan tepi kaldera Gunung Batur—Gunung Abang dan Gunung Batur memang terletak di lokasi yang sama. Posisinya sendiri nyaris berhadap-hadapan; Gunung Abang di sebelah timur, sedangkan Gunung Batur di sebelah barat.
Menurut buku catata saya, kami berlima berangkat dari Singaraja pukul 17.27 WITA. Dari Singaraja ke Gunung Abang membutuhkan waktu 1 jam 47 menit (sekitar 62 km). Dan kami sampai di basecamp (atau tempat registrasi) Gunung Abang pukul 20.20 WITA.
Pemandangan Danau dan kaldera Batur dari puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Sampai di sana kami disambut hangat oleh bapak penjaganya. Laki-laki paruh baya itu sangat baik. Selain membikinkan api unggun, dia juga telah memasak air panas dan menyediakan kopi, juga telah menyiapkan ubi rebus untuk kami santap bersama.
Saya tidak peduli motif keramah-tamahan seperti itu apakah hanya sekadar formalitas atau memang benar-benar ketulusan atau justru keprihatinan karena wajah kami memang pantas untuk dikasihani. Yang jelas, menyeruput kopi panas, merokok dan melahap ubi rebus di tengah suhu dingin khas pegunungan sambil mengobrol banyak hal dan sesekali gelak tawa, membuat kami merasa seperti kerabat jauh yang sudah lama tak berjumpa dan malam itu saling menumpahkan kerinduan sambari bersiap untuk kembali melepaskan kepergian.
Kami cukup lama di basecamp. Beberapa pendaki, setelah registrasi dan membayar tiket, langsung jalan ke parkiran kendaraan—kecuali kami. Sepertinya, kami pendaki yang paling santai di antara pendaki lainnya. Toh, buat apa buru-buru?
Pukul sembilan lebih, hampir jam sepuluh malam, setelah membayar tiket, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan ke parkiran kendaraan. Dan pukul sepuluh lewat sedikit, setelah berdoa bersama, kami mulai pendakian. Malam itu, sepertinya kami adalah pendaki terakhir.
***
Meski berdekatan, jalur Gunung Abang dan Gunung Batur sangat jauh berbeda. Jika jalur Gunung Batur dipenuhi batu dan pasir dan menanjak terus dari bawah sampai puncak, jalur Gunung Abang justru tak ada batu, semuanya tanah licin dan berlubang. Dan, di Abang banyak pohon tumbang dan semak belukar—jangan harap kau menemukan ini di Batur, kecuali kau memilih jalur hutan pinus.
Mendaki Gunung Abang harus menyediakan banyak air minum, sebab di sana tak ada mata air. Dan siap-siap sedikit sesak napas jika memilih mendaki malam hari. Ya, seperti yang sudah saya katakan, di jalur Gunung Abang, sejauh mata memandang, kau hanya akan melihat pohon-pohon besar dan semak belukar—dalam hal ini guru-guru SD sudah memberi kita pengetahuan bahwa pada malam hari semua tumbuhan menyerap Oksigen (O2) dan menghasilkan Karbondioksida (CO2), walau jumlahnya tak seberapa.
Pemandangan Danau dan kaldera Batur dari puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Estimasi pendakian dari parkiran sampai puncak Gunung Abang sekitar 3 jam. Di gunung ini terdapat dua pos, yakni pos 1, pos 2, dan puncak. Kata penjaga basecamp, kabarnya ada jalur yang menghubungan Gunung Abang dan Bukit Trunyan (untuk pendakian bukit ini kapan-kapan saya ceritakan), tapi masih belum jelas, apakah dibuka untuk publik atau hanya jalur yang dilalui tentara—jalur ini kabarnya dibuka TNI.
Dari start point (parkiran) menuju pos 1 jalur cenderung masih mudah walau ada sedikit jalur berlubang yang cukup dalam. Kami membutuhkan 40 menit untuk sampai di pos 1, tempat pendaki biasanya mendirikan tenda, setelah melewati jalur sempit yang hanya cukup untuk satu orang dan berhenti entah berapa kali. Didi, anak SMA itu, terlihat kelelahan dengan napas tersengal. “Ini pengalaman pertama saya, Mas. Sebelumnya tidak pernah mendaki gunung,” katanya sambil tetap mengisap rokok walau napasnya sudah satu-satu.
Istirahat saat perjalanan turun dari puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Ya, bagi orang yang belum pernah mendaki gunung sebelumnya, jalur Gunung Abang rasanya memang menjadi momok menakutkan. Dari parkiran sampai pos 1 saja, nyaris tak ada jalur yang landai. Setelah melewati satu tanjakan, di depan, tanjakan lain—dan kadang terlihat lebih sulit dilewati—sudah menunggu.
Mendaki gunung memang tak semudah dibayangkan. Dan tentu tak hanya soal-soal yang indah-indah saja seperti yang sering disampaikan vloger-vloger. Saat mendaki gunung, kakimu akan terasa lumpuh, kulitmu seakan mati rasa, pundak terasa berat, napasmu sesak, ego memuncak. Walau sebenarnya itu adalah kenikmatan lain yang ditawarkan alam kepadamu, agar kau merasakan bahwa sejatinya, jika ingin meraih sesuatu yang menurutmu indah, tentu rasa-rasa yang tidak menyenangkan itu akan hadir sebagai bumbu-bumbu penyedap. Dan anggaplah itu sebagai proses belajar untuk menaklukkan dan berdamai dengan diri sendiri.
Kami berhenti sebentar di pos 1. Dari pos 1 kau bisa melihat sedikit pemandangan Gunung Batur, kaldera dan danau batur. Saya memperhatikan Bang Jamal, wajahnya tampak berbinar dalam kegelapan.
***
Kawanku, meski kakimu terasa lumpuh, mendaki gunung—sekali lagi—sangat menyenangkan. Saat perjalanan mendaki menembus kegelapan malam di jalan setapak yang terjal, berpasir, berdebu, licin, berlubang, menanjak, seolah tak berujung telah terlewati, kau akan merasakan sensasi yang hebat.
Dan saat sampai di puncak tertinggi, memotret atau berfoto dengan latar belakang sunrise yang indah, yang tak akan bisa kau lihat di tempat lain, menyatu dengan alam, seperti tak berjarak, di sebuah area yang berdinding kehampaan, merasa kecil, melebur, menggigil di dalam semak di sebuah cekungan lembah, di bawah naungan pohon-pohon cemara dan bintang-gemintang, di antara batu-batu dan rumput-rumput yang basah, dan jauh dari keramaian tentu saja, kau akan merakan sebuah perasaan yang belum ternamakan sebelumnya—atau mungkin itulah yang disebut: ketenangan.
Kami sampai di puncak Gunung Abang setelah hampir 2 jam lebih mendaki dari pos 1. Itu jalur tersulit dari Gunung Abang. Tipe tanah yang lembut dan mudah amblas, sering menghambat perjalanan kami.
Di jalur sepanjang pos 2 sampai puncak, kau akan menemui banyak lubang besar dan gap yang cukup terjal dengan tanjakan, hutan rimbun juga terowongan yang cukup dalam dan satu tanjakan yang mengharuskan kami berpegangan pada tali yang mungkin sudah disiapkan pihak pengelola. Dan ya, siapkan mantelmu, sebab dari pos 2 sampai puncak hujan sering datang tanpa permisi.
Berpose di jalur dengan pohon tumbang dan penampakan tanjakan menuju puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Dan saya sarankan, jika kau sudah lelah dan berniat untuk melanjutkan pendakian pada esok hari, dirikankanlah tenda di pos 2, sebab camping ground di sana cukup luas dan datar. Tapi kau harus tetap waspada dan hati-hati kalau tidak mau berbagi roti dengan tikus yang cukup aktif.
Puncak Gunung Abang tak terlalu luas. Di sana ada pelinggih, semacam pura kecil umat Hindu, dan plang penanda—seperti pada umumnya gunung yang sering didaki—bertuliskan: MT. Abang 2.151 MDPL. Dari puncak gunung ini kau dapat menikmati Gunung Batur, danau, Gunung Agung, dan jika cuaca cerah, Gunung Rinjani di Lombok terlihat begitu mengagumkan.
Sebelum hujan benar-benar turun, setelah mendirikan tenda dan membuat perapian—di puncak angin berembus kencang dan itu membuat kami mati-matian menyalakan bara—kami berbaring sejenak di atas debu, di bawah langit yang terlihat begitu rendah dengan hiasan bintang di atas wajah. Bang Jamal dan Didi—yang notabene sama-sama baru pertama kali mendaki gunung—baru saja merasakan perasaan takjub pada bumi. Saya percaya, mereka akan selalu mengingat sensasi itu setelah kembali ke rumah masing-masing. Dan akan menjadi cerita menarik suatu saat nanti.
Hujan turun. Kami masuk tenda dan tertidur.
Pagi hari, seingat saya, saat membuka mata, saya hanya mendapati Dziky yang masih lelap di samping saya. Rahman, Bang Jamal, dan Didi, rupanya sudah sibuk membuat sarapan dan menikmati pemandangan yang tak akan mereka lupakan. Danau dan Gunung Batur, Gunung Agung, pohon pinus, ilalang, sunrise yang indah, dan itu, ya Tuhan, di balik awan putih itu, puncak Gunung Rinjani benar-benar terlihat.
Melinting tembakau di puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Saya tersenyum saat melihat mereka antusias mengabadikan momen tersebut. Seketika saya teringat kata-kata Soe Hok Gie, “Orang-orang seperti kita, tidak pantas mati di tempat tidur”. Dan benar, pemuda idealis itu tidur dalam keabadian di Gunung Semeru. Atau Christopher McCandless, seorang petualang muda asal Amerika Serikat itu ditemukan meninggal di Alaska setelah melakukan perjalanan panjang. Ah, ternyata dulu saya pernah begitu naif.
Penampakan puncak Gunung Rinjani dari puncak Gunung Abang / Foto: Dok. Jaswanto
Namun, saya sepakat, sekali-dua kali orang mesti tinggalkan rumah, kampung halaman dan melongok ke sana kemari. Lamartin benar ketika ia berkata, “Orang tidak bakal jadi manusia utuh, jika tak pernah melancong dan mengubah gaya hidupnya”. Atau seperti kata Mahbub Djunaidi, “Dengar-dengar saja tentu kurang memadai”. Dan bukankah ada kearifan Tiongkok lama yang berbunyi: melihat sekali lebih baik daripada mendengar 1000 kali? Saya pikir begitu.
Saya bergabung bersama Rahman, Didi, dan Bang Jamal, meninggalkan Dziky yang masih terlelap.[T]