SEBAGAI DAERAH ISTIMEWA, obyek wisata Yogyakarta juga terkenal istimewa. Siapa yang tidak kenal dua situs warisan dunia, Candi Borobudur peninggalan Kerajaan Syailendra dan Candi Prambanan sebagai candi Hindu terbesar di Indonesia.
Tidak kalah istimewa lagi ada Malioboro, salah satu jalan paling populer di Yogyakarta. Cerita perjalanan di Yogyakarta sepertinya kurang lengkap jika tidak berkunjung ke salah satu tempat ikonik ini.
Saya beruntung bisa ke Yogya tetapi bukan untuk jalan-jalan. Saya ditugaskan pimpinan untuk mengikuti Advokasi Gerakan Sekolah Sehat, 8-10 Juni 2023, di Hotel Grand Mercure. Di sela-sela kegiatan, saya menyempatkan keluar hotel untuk mencoba melihat aktivitas warga Yogya lebih dekat.
Kebetulan di seberang hotel ada warung kelontong. Saya pesan segelas kopi kapal api. Duduk di kursi kayu panjang di dekat trotoar, saya menyeruput kopi sembari melihat warga Yogya bergegas memenuhi tuntutan tempat kerjanya.
Di sebelah saya ada lelaki tua dengan sebatang rokok di tangan kanannya. Ia lebih dulu menikmati segelas teh. Namanya Pak Giman (62 tahun). Ia tukang becak motor. Pak Giman lebih dikenal dengan nama Manthok. Dipanggil Manthok karena saat kecil ia selalu mangguk-mangguk saat diberi sesuatu oleh orang.
Pak Manthok telah menarik becak sejak tahun 1978. Sampai sekarang pun Ia tetap setia dengan pekerjaan yang telah menghidupi 4 anaknya.
Baginya becak adalah segalanya. Hasil menarik becak adalah sumber penghasilan utama. Becak juga adalah rumah. Pak Manthok hampir setiap hari menghabiskan waktu istirahat dan tidur malam di becak kesayangannya. Becak yang menjadi saksi bisu segala suka duka hidup Pak Manthok.
Namun, penghasilannya sekarang tidak seperti dulu lagi. Kemajuan teknologi menyebabkan penumpang lebih memilih transportasi online.
Pak Manthok | Foto: Komang Sujana
Dalam seminggu bahkan tidak jarang nihil penumpang. Tidak ada pendapatan sama sekali. Walaupun demikian ia tetap mangkal setiap hari di depan Hotel Grand Mercure. Tempat mangkal penuh kenangan. Ia sudah mangkal di sini sebelum hotel itu di bangun.
Lalu bagaimana caranya ia bisa hidup dari menarik becak yang sepi penumpang?
Cerita Pak Manthok sungguh membuka hati dan pikiran saya. Ia menjalani hidup apa adanya. Hidup sederhana sebisa yang dilakukan. Baginya rezeki tidak selalu perkara uang.
“Sudah diberikan tetap hidup, itulah rezeki,” katanya dengan penuh senyum.
Menurutnya jika sudah mensyukuri berkat hidup dari Tuhan, rezeki akan datang. Rezeki yang ia maksudkan bisa dalam berbagai bentuk seperti diberikan kesehatan dan umur panjang.
Tidak jarang juga Pak Manthok mendapat bantuan nasi dan sembako dari orang-orang baik. Kadang juga penumpang membayar lebih. Dengan ini ia bisa menyambung hidup, bisa membayar hutang makan dan minum kepada pemilik warung yang ia hutangi.
Pak Manthok sangat bersyukur sudah diberikan hidup sampai sekarang. Saya beruntung bisa menikmati kopi dan indahnya mentari pagi Yogya. Dan lebih bersyukur lagi mendapat pelajaran hidup, pelajaran berpikir sehat dari Pak Manthok. Sebuah pembelajaran hidup yang istimewa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mas Nadiem mengatakan ada 3 fokus penerapan Sekolah Sehat yang sering disebut 3 sehat (3S), yaitu sehat bergizi, sehat fisik, dan sehat imunisasi.
Namun setelah ketemu Pak Manthok, saya pikir harusnya ditambah satu S lagi, yaitu Sehat Berpikir. Karena tidak semua yang sehat bergizi, sehat fisik, dan sehat imunisasi, mental dan pikirannya sehat.
Matur sembah nuwun Pak Manthok. Mugi-mugi Bapak tansah kaparingan panjang yuswo lan kasarasan. lan kita saget pinanggih malih ing sanes wekdal. [T]
- Baca artikel lain dari penulis KOMANG SUJANA