KLUNGKUNG HINGGA KINI cenderung dikenal sebagai daerah luas wilayahnya paling kecil dan jumlah penduduknya paling sedikit di antara delapan kabupaten atau kota di Bali. Warga Klungkung biasa memelesetkan daerahnya dengan sebutan aklingkungan yang bermakna wilayah Klungkung bisa dijangkau dalam waktu yang singkat karena tidak begitu luas.
Namun, kabupaten yang memiliki 21 pulau kecil ini punya makna penting bagi Bali. Klungkung mencatatkan goresan sejarah masa lalu dengan peranan yang amat penting dalam dinamika sejarah dan kebudayaan Bali. Klungkung tempo dulu merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat kebudayaan Bali. Mulai dari zaman Gelgel hingga zaman Smarapura, Klungkung senantiasa menjadi orientasi kultural maupun pusat batin masyarakat dan tanah Bali. Klungkung juga menjadi kerajaan terakhir yang takluk di tangan Belanda.
Orang-orang Bali yang menelusuri asal muasal keluarganya, biasanya akan bertemu dengan kegemilangan Klungkung di masa lalu. Ini tampaknya yang dilukiskan Wayan Jengki Sunarta sebagai “sejatinya bapa/ dari mana kau bermula” dalam sajak “Semarapura” yang dikutip di awal esai ini.
Kota Para Penyair
Tak hanya dalam konteks sejarah, Klungkung juga mencatatkan jejak penting dalam dunia sastra. Budayawan dari Klungkung, Wayan Westa dalam sebuah esainya di Bali Post Minggu, Minggu, 22 Oktober 1995 yang berjudul “Klungkung: Kota Bagi Pemuja Keindahan” menyebut Klungkung sebagai kota bagi para cerdik pandai, penyair, pendamba keindahan. Westa merunutnya dari aspek penamaan kota: ‘kung’ dan ‘smara’ yang dalam teks-teks tradisi dimaknai sebagai cinta atau keindahan. Demikian juga nama Swecapura atau Swecalinggarsapura bermakna sebagai kota yang memberikan kebahagiaan.
Secara historis pun, Klungkung melahirkan sejumlah pangawi penting Bali. Pada zaman Gelgel lahir pengawi Mpu Nirartha, Ki Dauh Bale Agung, Hyang Angsoka, Pangeran Telaga, Ida Bukcabe, Ki Pande Bhasa, dan Pandya Agra Wetan. Di era Klungkung muncul nama-nama seperti Dewa Agung Istri Kanya, Pedanda Gede Rai dan Anak Agung Pemeregan.
Klungkung terus menjadi rahim yang melahirkan para pengarang era sastra Bali modern dan sastra Indonesia. Beberapa di antaranya, I Ketut Rida, IDK Raka Kusuma, I Wayan Suartha, Ida Bagus Gde Parwita, Ketut Sumarta, Agung Bawantara, Herry Wijaya, Gde Artawan, Rai Sulastra, Nyoman Mastra, Nengah Wardi, Ngakan Made Kasub Sidan, Made Sarjana, Nyoman Pasek Sugiadnyana, Ketut Aryawan Kenceng, termasuk Wayan Westa sendiri. Belakangan muncul sastrawan muda asal Klungkung, antara lain Komang Adnyana, Ni Made Purnamasari, Mira Antigone, Juli Sastrawan, Carma Citrawati, I Gede Gita Purnama, dan Made Suar Timuhun. Belum lagi sejumlah pengarang luar Klungkung yang kemudian menetap atau menjadi warga Klungkung, seperti IBW Widiasa Keniten, IB Pawanasuta, I Gede Sarjana Putra, Luh Suwita Utami, dan Ari Dwijayanthi.
Klungkung juga menjadi “ladang garapan” yang tiada habis digali sebagai tema karya-karya mereka. Terbukti, banyak sajak dan prosa yang bertema atau berlatar Klungkung. Novel berbahasa Bali, Sunari maupun cerpen-cerpen dalam buku Lawar Goak karya I Ketut Rida berlatar desa pesisir Kusamba, Klungkung. Demikian juga novel Senja di Candidasa karya Gde Aryantha Soethama juga mengambil latar sejumlah tempat di Klungkung.
Bahkan, dalam genre puisi, sudah ada tiga buku kumpulan puisi tentang Klungkung yang terbit, yakni Pupute Tan Sida Puput (puisi Bali, 2001), Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta (2016), dan yang terbaru Di Altar Catus Patta (2022). Para penyair di Bali umumnya punya sajak tentang Klungkung. Seperti ditulis Nyoman Wirata dalam sajak “Klungkung, Aku Tak Pernah Kehilangan Puisi”: “Aku tak pernah kehilangan puisi di sini/ sebab/ Sejarah padi, bukit ilalang, pintu bearpit lawing, gunung dan bunga padma/ Mengalir di alur air Unda. Air yang mengunda/”
Di era semaraknya apresiasi sastra Bali Post Minggu, saban bulan April yang berkaitan dengan peringatan Puputan Klungkung, sang penjaga gawang, Umbu Landu Paranggi menyediakan ruang khusus bagi penyair dari Klungkung atau karya-karya penyair lain yang bertema Klungkung. Umbu juga memberi perlakuan yang sama kepada kabupaten-kabupaten lain di Bali saban hari jadi kota atau kabupaten itu. Misalnya, Denpasar saban bulan Februari, Singaraja saban bulan Maret, Gianyar setiap bulan April atau Bangli tiap kali bulan Mei.
Kejayaan Masa Silam
Sebagian besar sajak-sajak bertema Klungkung yang ditulis penyair Bali merupakan sajak kontemplatif yang melihat dan memperlakukan Klungkung tidak semata sebagai latar tetapi sebagai media perenungan untuk memaknai kesejatian diri. Citra yang kuat terpancar dalam sajak-sajak tentang Klungkung menunjukkan kecenderungan mengenai kejayaan masa silamnya. Di mata penyair, baik yang berasal dari Bali maupun dari luar Bali, Klungkung tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa silam. Kecenderungan itu tidak hanya terlihat dalam sajak-sajak lama tentang Klungkung, namun juga sajak-sajak baru seperti dalam buku Klungkung: Tanah Tua, Tanah Cinta maupun Di Altar Catus Patta.
Penyair I Wayan Suartha tampaknya paling suntuk menulis Klungkung, kota kelahirannya. Dari 78 sajak dalam buku kumpulan puisinya yang terbiut tahun 2020, Buku Harian Ibu Belum Selesai, sedikitnya ada 18 sajak yang menggunakan Klungkung dan tempat-tempat di wilayah Klungkung sebagai judul, seperti Kali Unda, Pantai Klotok, Kusamba, Karangdadi, Tihingan, dan Sengkiding. Sejumlah sajaknya yang lain pun merupakan pemaknaan tentang sejarah Klungkung. Hal ini seolah menegaskan Suartha sebagai penyair Klungkung.
Suartha memaknai Klungkung sebagai “rumah”, tempat para penghuninya berasal sekaligus kembali. “Mata itu matahari seluruh mata/ dari hulu kali yang jauh/ dusun dusun ketakjuban/ mengalir aksara ning aksara/ semesta kecil semesta agung/ hanyut-hanyut ke dasar getaran/ tumpah lewat matamata pisau/ sepanjang asal usul/ pantai yang segar/ melayangkan/ asmara pemberontakan pernah tertulis/ tragedi ketulusan belapati/kekawin tarian langit mengisi/ angkasa jiwaraya/ dihembus angin tanah ini/ masuklah/”.
Sajak berjudul “Rumah Klungkung” ini merupakan sajak yang cukup berhasil merangkum dinamika Klungkung yang amat panjang dan berliku itu. “…asmara pemberontakan pernah tertulis/ tragedi ketulusan belapati/ kekawin tarian langit mengisi angkasa jiwaraya/”.
Penyair Klungkung lain yang juga banyak menulis sajak tentang Klungkung, yakni IDK Raka Kusuma dan IBG Parwita. Dalam sajak berjudul “Perempatan Klungkung” yang dipersembahkan kepada Bupati Klungkung, Cok. Ngurah, Raka Kusuma menunjukkan kematangannya dalam metafora dan simbolisasi. “inilah perempatan penuh warna/ menjulangkan empat jalan cahaya/ satu jalan lurus ke ibu kota langit/ penuh pohon cahaya jernih/satu jalan lurus ke ibu kota matahari/penuh pohon cahaya warna-warni/ satu jalan lurus ke ibu kota bulan/ penuh pohon cahaya berkilauan/ satu jalan lurus ke ibu kota bintang/penuh pohon cahaya berkelip-kelip
Perempatan di pusat kota Smarapura yang dikenal sebagai Perempatan Klungkung memang memiliki arti penting bagi masyarakat Klungkung. Perempatan Klungkung tidak saja merepresentasikan konsep persimpangan empat dalam konsep tata ruang Bali, tetapi lebih dari itu sebagai jalan spiritual. Dalam pemaknaan Raka Kusuma keempat jalan itu bermuara ke tempat dengan pohon-pohon penuh cahaya yang bisa dimaknai sebagai tempat penuh kebahagiaan, penuh keindahan.
Raka Kusuma merupakan penyair kelahiran Klungkung yang kini tinggal dan berkarya di Karangasem. Meski berjarak dengan kota kelahirannya, Raka Kusuma banyak menulis sajak tentang Klungkung. Malah, sajak-sajak bertema Klungkung itu ditulis ketika Raka Kusuma sudah tidak tinggal di Klungkung lagi. Raka Kusuma memilih mencumbu bau harum tanah kelahirannya dalam sajak. Ini terungkap dalam sajak “Kepada laut Klotok” : ” …di pantaimu akan kubangun menara sajak/ ditimpa langitpun tetap tegak!”.
Bayang-bayang masa lalu juga terekam kuat dalam sajak IBG Parwita berjudul “Kertha Gosa”. Parwitha yang meraih penghargaan Widya Pataka tahun 2009 untuk buku kumpulan puisi Bali modern, Wayang, memulai bait pertama sajaknya seperti ini: ”Gerimis senja/ mengantar perjalanan waktu/ saat sunyi memeluk pelataran kotaku/ lalu bersandar bayang-bayang/ melepas masa silam/”. Sajak ini diakhiri dengan bait yang sangat kental menunjukkan betapa romantisme masa lalu amat kuat menyelimuti batin penyairnya. “/Adakah kau ingat/ tetesan keringat/ dan denyut masa silam/ saat selempang diteriakkan/ sebelum sunyi tengadah diderai air mata//”.
Nada dan suasana serupa juga masih terasa dalam sajak-sajak terbaru Parwita yang termuat dalam antologi bersama penyair Klungkung, Di Altar Catus Patta. Sajaknya “Tarian Penghabisan” melukiskan tragik kejatuhan Semarapura dalam perang Puputan Klungkung, 28 April 1908.
Tak hanya penyair Bali kelahiran Klungkung yang dikuasai oleh bayang-bayang masa lalu ketika menulis Klungkung dalam sajak. Penyair Bali lainnya juga tak bisa berpaling dari citra kejayaan masa silam Klungkung. Peristiwa sejarah yang menarik perhatian para penyair itu, selain Puputan Klungkung, yakni heroisme seorang pejuang perempuan Klungkung, Dewa Agung Istri Kanya dalam Perang Kusamba, 24—25 Mei 1849. Dalam sajaknya berjudul “Di Kusamba Aku Terkenang Sejarah”, Sunarta menulis; “di kusamba/ aku terkenang sebuah sejarah/ aksara-aksara jiwa yang melabuhkan/ keheningan masa lampau/ hingga kemaksiatan masa kini/ pada lembaran-lembaran pantai bergaram/ olahan keringat hingga campuran darah/ para laskar yang pralaya/ meruwat bumi bali/”.
Seperti halnya penyair Bali kelahiran Klungkung, Sunarta juga memaknai Klungkung secara estetis. Klungkung dipandang sebagai tempat yang penuh dengan energi keindahan sekaligus juga rumah sejarah, tempat orang Bali merunut sejarah leluhurnya seperti terekam dalam sajak “Semarapura”.
Jika penyair Bali tak mampu melepaskan diri dari bayang-bayang kejayaan masa silam Klungkung saat menulis sajak-sajak bertema Klungkung, begitu pula dengan penyair dari luar Bali.
Sajak bertema Klungkung karya penyair luar Bali yang mengungkap citra Klungkung dengan kejayaan masa silamnya yakni sajak berjudul “Klungkung” karya Mansur Samin. “Kejayaan silam/ kikis dari sunyimu/sisa petikan harum sejarah/”.
Sajak “Klungkung” karya Acep Zamzam Noer juga tak luput dari persoalan yang sama. Cerita keperwiraan pejuang perempuan asal Klungkung, Dewa Agung Istri Kanya tampaknya memantik hati Acep. Kisah heroik itu kemudian dipadupadankan dengan pemaknaannya mengenai Klungkung sebagai kota keindahan, kota cinta.
Rusli A Malem, penyair kelahiran Lhok Nibong, Aceh Timur menulis sajak “Goa Lawah”. Sajak ini memotret keunikan Pura Goa Lawah dengan goa yang dipenuhi kelelawar. Rusli merekam Pura Goa Lawah yang menjadi tempat masyarakat Hindu Bali menggelar salah satu bagian prosesi ritual penting dari upacara penyucian roh.
Suara Kritis
Sajak-sajak tentang Klungkung tampaknya minim suara-suara kritis dalam konteks kekinian. Persoalan yang kini dihadapi Klungkung dan masyarakatnya tampaknya belum menarik perhatian para penyair.
Kondisi ini sebetulnya bisa dimaklumi. Sebagai kabupaten terkecil, persoalan yang dihadapi Klungkung memang tidak sekompleks dan sekuat persoalan yang dihadapi Denpasar atau Buleleng misalnya. Paling tidak persoalan-persoalan itu tidak sampai menyita perhatian yang teramat besar.
Namun, adakah Klungkung akan senantiasa ditulis dalam sisi kejayaan masa silamnya semata? Adakah kekinian Klungkung kurang menarik untuk ditulis?
Menarik membaca sajak tentang Klungkung yang ditulis penyair GM Sukawidana. Sajaknya yang berjudul “Peladang Garam Pesisir Kusamba” memang masih dipengaruhi kisah kejayaan masa silam Klungkung. Namun, dia menggunakannya untuk menebar kesadaran untuk melindungi tanah dan pesisir Bali di Klungkung. GM Sukawidana memang intens dan konsisten menyuarakan kian tergusurnya tanah serta pesisir Bali. Melalui potret petani garam Kusamba yang kian menyusut jumlahnya dan lahan-lahan mereka juga makin menyempit, GM Sukawidana mengingatkan tentang pentingnya semangat puputan untuk melawan para pemodal rakus lahan.
“kau harus ingat/ pesisir ini telah mewariskan darah puputan/ jika nanti pada cupak tanah datang menggusur/ akankah kau menyerahkan begitu saja!”
Suara cemas GM Sukawidana mengingatkan kepada dinamika mutakhir yang tengah terjadi di Klungkung. Industri turisme juga merambah ke Klungkung. Pulau Nusa Penida dan sekitarnya bahkan digadang-dagang sebagai destinasi andalan Klungkung dengan menu utama wisata bahari. Ketika pariwisata makin merangsek, kerap kali disertai dengan alih fungsi dan alih kepemilikan lahan yang dahsyat.
Yang teranyar, Klungkung sedang dipoles dengan pembangunan Pusat Kebudayaan Bali di bekas lahan galian C. Pembangunan megaproyek ini bahkan mengguratkan catatan hitam dalam bidang lingkungan, terutama pengerukan bukit-bukit di kawasan Kecamatan Dawan dan sekitarnya.
Tugas puisi atau sastra yang utama memang bukan semata-mata merekam dinamika mutakhir yang terjadi. Namun, sastra juga punya kewajiban kemanusiaan untuk terlibat dan menyuarakan mereka yang tertindas maupun yang tidak mampu bersuara. Bukankah sastra senantiasa pula diikhtiarkan untuk menggedor pintu-pintu kesadaran dan kepekaan pada perubahan yang tengah terjadi? [T]
BACA juga PUISI, CERPEN, DAN ESAI-ESAI SASTRA tentang KLUNGKUNG