ENTAH SUDAH BERAPA PURNAMA ia lewati di bawah bayang-bayang rembulan. Perempuan itu selalu duduk di tengah lapangan Puputan Klungkung. Tak ada rasa lelah di hatinya. Kesetiaan pada kata membuatnya bertahan. Matanya menatap pergeseran setiap langkah rembulan. Ia sepertinya tahu arah gerak rembulan. Terkadang saat rembulan berwajah hitam pekat, ia raba hatinya. Ia rasakan ada kepekatan di dadanya. Ia terisak menahan rasa seperti tertusuk duri. Saat rembulan terang, ia rasakan hatinya benderang. Senyumnya sumeringah saat rembulan terang menyapa hatinya.
Orang-orang di lapangan Puputan itu itu tak pernah memedulikannya. Ia pun tak perlu diperhatikan. Terkadang perhatian yang berlebih membuat rasa menjadi kurang adem. Ia nikmati kebebasan bersama rembulan-rembulan. “Kutunggu dirimu di sini,” bisiknya. Ia terpaut kisah hidup yang melenakan dirinya. Ada kata yang selalu mengusik hatinya. “Di Lapangan Puputan Klungkung ini, kita satukan hati. Setia sampai nanti.” Kata-kata itu dipegangnya hingga kini.
Laki-laki yang berhasil mengetuk hatinya itu berucap dengan wajah penuh harapan. Ia pegang tangan kekasihnya. Ia elus rambut kekasihnya yang mengurai. Rambut perempuan itu memang memanjang. Tak pernah disentuh dengan gunting hingga mengurai menuju bumi. Pernah kekasihnya mau mengajaknya ke salon. “Tak usah menjajakku ke salon. Tak perlu. Tiang juga bisa menata rambut ini. Kalau Beli mau rambut tiang dipotong seperti gadis itu, cepak. Sekarang juga bisa.” Kekasihnya tak menyahut. Ia sebenarnya amat mengagumi kekasihnya. Tidak hanya dari raut wajah, tapi hatinya yang tak pernah terbius oleh perubahan.
“Jika nanti kita bersama mengarungi hidup, akan selalu ke sini di lapangan Puputan Klungkung. Kita ceritakan pada anak kita bahwa di sini awal kehidupan cinta kita. Anak kita akan mencatatnya bahwa orangtuanya setia pada cinta. Cinta itulah yang menyatukan. Karena cinta adalah kata, yang merangkai kisah cinta.”
Perempuan itu tersenyum tipis. Ada keraguan yang menyelinap dalam hatinya. “Semoga kita disatukan.”
“Kok semoga?” Kekasihnya tiba-tiba berdiri. Ia seperti tak terima dengan kata-kata itu keluar dari bibir kekasihnya. “Pokoknya kita harus menyatu. Tak ada yang memisahkan kita.”
“Sudahlah jangan itu diperpanjang lagi. Kita nikmati malam ini di bawah bayang-bayang rembulan.” Awan-awan hitam menyapu wajah Dewi Ratih. Kesenduan dan kemuraman membalutnya. Rembulan malam itu memang tak terlalu indah. Apa karena bertepatan dengan gerhana matahari siang tadi atau memang rembulan juga membaca bisikan hatinya.
“Besok, Beli akan berangkat keluar negeri. Mengadu nasib di negeri orang. Beli tidak tahu apakah akan berhasil atau tidak. Biarlah Tuhan yang mengaturnya. Ini semua demi cinta kita.”
Perempuan yang dipanggilnya Ayu itu tak menjawab. Ia tahu berat rasanya melepaskan sebuah kisah cinta. Tapi, demi masa depan apa yang harus dikatakan kecuali ya. Ia alihkan pembicaraannya. “Beli, coba lihat ada siluet pohon beringin itu. Ada bayangan yang teramat indah. Bayangan memang selalu indah, ya Beli?”
Kekasihnya mengerutkan keningnya. “Kenapa kekasihnya berkata seperti itu? Hidup terkadang seperti bayangan-bayangan yang membuat kita terikat pada bayangan. Padahal itu hanya semu belaka. Sudahlah Ayu, ini sudah larut malam. Besok Beli mau berangkat. Ayo kita kembali. Orangtua kita tentulah bertanya-tanya tentang kita.”
Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. Ia kembali menatap rembulan. “Dewi sampaikan hati ini kepada kekasihku. Tolong percepat ia datang ke sini Katakan kekasihnya menunggunya di lapangan Puputan Klungkung. Sudah lima tahun tak ada kabarnya buat Ayu. Entah apa yang dikerjakannya di negeri orang. Atau mungkin hatinya sudah terbagi. Tolong sampaikan. Jika tidak ada jawaban, Ayu tak akan mau pulang. Biar sampai pagi akan Ayu tunggu di sini. Akan ayu buktikan bahwa kata-kata yang pernah ia ucapkan di lapangan ini menjadi nyata.”
Malam itu, rembulan membisikkan sesuatu padanya, “Ayu dengarkan baik-baik.” Perempuan itu membuka telinganya seperti seekor jengkrik. Ia dengar dentingan peluru dan teriakkan Puputan. Lamat-lamat manggala kakawin Bharata Yuddha memasuki hatinya. “Di tanah ini telah terjadi Puputan. Tanah ini dibasuhi dengan cinta sejati pada negeri. Negeri ini dibangun di atas darah Puputan.” Wajah Dewa Agung Jambe bersinar mengunuskan keris pusaka. “Puputaaaaaaaaaaaaaaaaaaan! Puputaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan!”
Perempuan itu menggigil. Ia ngeri melihat darah memerah di tanah kelahirannya. “Beliiiiiiiiii, ada di mana sekarang? Ini Ayu lagi di lapangan Puputan Klungkung. Datanglah ke sini Beli. Bukankah Beli mengaku akan datang setiap 28 April?”
Rembulan terus meninggi menuju peristirahatannya terakhir. [T]
Catatan:
Beli: kakak
Tiang: saya
Puputan: perang habis-habisan demi menjaga harga diri dan negeri