KALI INI SAYA PUNYA kesempatan menantang pujangga terbesar sepanjang sejarah, Shakespeare yang tersohor dengan ungkapan satirnya, “What’s in a name?” Lengkapnya, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” Andaikata kita memberi nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap berbau wangi.
Shakespeare memang begitu sedih dengan kisah yang diciptakannya sendiri. Sepasang sejoli tak bisa bersatu, alih-alih saling memiliki, berdamai pun tidak, nyawa mereka pun direnggutkan. Tak lain karena dua nama keluarga yang berseteru begitu runcing.
Nama, acap kali memang tak sekadar kata. Ia begitu kompleks. Selain tentu saja sebagai panggilan, nama bisa sebagai identitas atau mewakili strata sosial, doa dan harapan, cerminan sebuah era bahkan bisa jadi gambaran mentalitas suatu masyarakat. Betulkah?
Nama saya Putu Arya Nugraha. Jelas ini bukan nama Bali asli alias tradisional. Meskipun Putu memang sebutan khas orang Bali untuk anak pertama atau sulung selain bisa juga memakai Gede atau Wayan, Arya dan Nugraha tentu saja bahasa serapan. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta dan Nugraha sendiri telah diserap ke dalam bahasa Jawa dan kemudian bahasa Indonesia. Sepertinya orang tua saya merasa lebih mentereng jika nama anaknya menggunakan kata dari bahasa serapan yang memang kedengarannya bagus.
Nama ayah saya sendiri adalah I Made Awas dan ibu saya I Nyoman Ratep. Nama ibu jelas nama tradisional Bali yang artinya dekat, rapat atau akur. Sementara Awas, maknanya sudah sangat terang dan memberi gambaran, setidaknya kakek saya sudah mengenal bahasa Indonesia pada saat itu atau situasi saat kelahiran ayah adalah masa-masa pasca kemerdekaan yang menuntut kewaspadaan, awas! Boleh disebut, ini model kontenporer nama orang Bali.
Saya amati, dalam generasi saya, nama tradisonal Bali seperti Locong, Gredeg atau Monyer sudah nyaris punah. Sepertinya jenis nama-nama ini sudah dianggap kuno dan kurang gaul bahkan mengundang cemooh. Padahal, pernah ada seorang bupati bernama I Wayan Gredeg. Mengapa nama-nama tradisonal Bali itu ditinggalkan? Adakah karena kita mudah menerima hal-hal baru atau cenderung meniru, punya mental minder atau sebuah budaya kreatifitas?
Saya punya tiga orang anak dan nama ketiganya punya karakter yang sama yaitu memakai kata dari serapan bahasa Jawa atau Sanskerta. Nama mereka Ni Luh Putu Sasmitha Ayu, I Made Dwi Wedhananta (alm) dan I Nyoma Arya Wirabhumi. Setidaknya saya melanjutkan gagasan ayah yang sepertinya minder jika memberi saya nama I Putu Locong atau I Wayan Prongot.
Tentu saja saya pun tak tega memberi nama putri saya Ni Luh Putu Monyer. Tak bisa dipungkiri saya telah ikut minder dengan nama-nama Bali asli tersebut. Teman-teman saya yang lain bahkan sudah ada yang menamai anak mereka dengan nama-nama barat atau Eropa seperti Kevin, Johny atau Harry. Boleh dibilang kelompok nama ini sudah merupakan evolusi generasi ketiga nama-nama orang Bali. Dari nama tradisional Bali era tahun enam puluhan ke bawah, nama serapan bahasa Jawa atau Sanskerta lalu nama-nama bercirikan barat atau Eropa sejak era sembilan puluhan.
Padahal orang-orang barat atau Eropa atau Yahudi (Ibrani), Arab atau India bahkan Latin, rasa-rasanya tak ada dari mereka yang memakai nama-nama Indonesia seperti Mr Slamet, Miss Butet apalagi Mr Locong! Ini memang fenomena cukup menarik. Saat seakan-akan kita bangga mengadopsi nama-nama asing tersebut, sebaliknya mereka orang-orang asing tersebut tidak ada yang memakai nama-nama kita.
Cukup banyak nama-nama orang Indonesia yang memakai bahasa Ibrani seperti Ebenezer atau Jessica, namun belum pernah kita dengar nama orang Yahudi seperti Ucok atau Sariyem. Demikian juga tak ada orang India bernama Ratep atau Monyer.
Orang Indonesia yang memakai nama dari bahasa Arab tak kalah banyak jumlahnya. Sebutlah Ghibran, Habibi atau Jamila. Sementara orang Arab belum ada kita dengar bernama Timbul, Mukidi atau Suginem. Bahkan sudah merupakan hal lumrah orang Indonesia bernama latin seperti Alexis, Andromeda atau Grace. Namun tidak sebaliknya. Belum ada pemain bola Spanyol bernama Bambang atau Ribut. Ah, bertepuk sebelah tangan!
Nampak sekali perubahan yang cukup cepat, karakter nama-nama orang Indonesia. Ini dapat dibandingkan dengan nama-nama orang Eropa atau China yang cenderung statis. Ambil saja contoh raja Inggris saat ini adalah Charles III. Nah raja Charles yang pertama itu berkuasa pada abad ke-16. artinya dalam kurun waktu sekitar 400 tahun, nama orang Inggris masih tetap sama. Dalam sejarah China, Yin Zheng adalah kaisar pertama Tiongkok pada tahun 247 SM yang kemudian mendirikan dinasti Qin. Nama Yin Zheng juga digunakan oleh seorang aktor Tiongkok kelahiran tahun 1986. Dari kekaisaran di masa lampau hingga menjadi bangsa modern di masa kini, nama yang digunakan tetap sama.
Jadi ada apa dengan nama-nama orang Indonesia? Yah, bisa jadi kita memang bangsa yang kreatif dan mudah menerima pengaruh asing, atau jangan-jangan kita memang suka meniru atau plagiat. Bisa juga karena keinginan untuk menaruh doa dan harapan pada nama-nama tersebut. Mungkin saja nama-nama asing lebih akomodatif untuk kebutuhan ini. Namun, kita pun sebetulnya bisa melakukannya dalam nama-nama Indonesia.
Jika dalam bahasa Inggris ada nama Mr Goodman, maka dalam bahasa Indonesia ada Tulus atau dalam bahasa Bali ada nama I Becik (baik) atau Putu Nau (senang). Ataukah karena nama-nama asing kedengaran lebih gaya atau keren? Sehingga kita pun ingin memakai nama-nama itu? Masuk akal juga sih.
Tapi jangan salah, jika nama barat dibilang gaya seperti Mr Waterman, nama orang Jawa ada juga kok, Wateman. Bahkan jika ada superhero termasyur bernama Superman, di Jawa ada juga mas Suparman. Di Bali ada nama Kaler, nah itu tak kalah keren dari nama barat, Kohler, pemilik salah satu perusahaan manufaktur terbesar di USA. Jika demikian, harus diakui, jangan-jangan kita masih menyimpan sikap minder terhadap bangsa lain. [T]
BACA esai dan cerpen lain dari penulis DOKTER PUTU ARYA NUGRAHA