DALAM SEBUAH ESAINYA di Bali Post Minggu, 22 Oktober 1995, I Wayan Westa menyebut Klungkung dengan ibukotanya Semarapura sebagai kota bagi para penyair, kota para pendamba keindahan.
Gagasan kota para penyair, kota pendamba keindahan itu tak semata dirumuskan dari makna kata kung pada nama Klungkung dan smara pada nama Semarapura yang sama-sama berarti “cinta” atau “keindahan”, tetapi juga fakta historis sejumlah penyair penting dalam sejarah sastra tradisional Bali lahir di Klungkung.
Pada masa Gelgel, lahir dua sastrawan penting, yakni kawi-wiku Danghyang Nirartha dan I Gusti Dauh Bale Agung. Pada masa Klungkung, dikenal nama I Dewa Agung Istri Kanya, Ida Pedanda Gede Rai dan Anak Agung Pemeregan.
Dewa Agung Istri Kanya merupakan raja kawi yang menulis sejumlah karya sastra sejarah yang penting bagi historiografi Klungkung. Dua di antaranya Pralambang Bhasa Wewatekan dan Kidung Padem Warak. Ida Pedanda Gede Rai tak lain kawi-wiku yang menjadi guru bagi raja-raja Klungkung. Karya sastranya yang terkenal, Kidung Pamancanggah yang juga menjadi rujukan penting sejarah Bali. Anak Agung Pemeregan adalah seorang keluarga kerajaan Klungkung yang melakoni jalan nyastra. Salah satu karya sastranya yang dikenal menawan, yakni Geguritan Duh Ratnayu.
Dalam jagat sastra modern, Klungkung juga masih menjadi rahim bagi kemunculan sejumlah penyair dan sastrawan Bali, baik yang menulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Mereka antara lain I Wayan Suartha, IBG Parwita, IDK Raka Kusuma –yang kemudian memilih bermukim di Karangasem—, Gede Artawan –kini bermukim dan berkiprah di Singaraja–, Herry Wijaya, Ngakan Kasub Sidan, Ketut Sumarta, Nyoman Mastra, Ketut Rai Sulastra, Agung Bawantara, Ketut Aryawan Kenceng, termasuk Wayan Westa sendiri.
Belakangan muncul juga generasi terbaru, seperti I Komang Adnyana, Ni Made Purnama Sari, Juli Sastrawan, Carma Citrawati, I Gede Gita Purnama dan I Made Suar Timuhun. Klungkung seolah tidak pernah kehabisan daya untuk terus mengaliri telaga sastra di Bali.
Di antara para penulis sastra modern itu, terutama yang menulis dalam bahasa Indonesia, I Wayan Suartha mungkin memiliki emosi paling kuat terhadap Klungkung. Penyair yang tumbuh bersama Sanggar Binduana Klungkung ini banyak mengabadikan Klungkung dalam sajak-sajaknya. Tahun 2020, bersamaan dengan karibnya sesama penyair Klungkung, IBG Parwita, Suartha merilis buku kumpulan puisi pertamanya, Buku Harian Ibu Belum Selesai.
Sosok I Wayan Suartha
I Wayan Suartha lahir di Klungkung pada tahun 1957. Dia lama menjadi guru di SMP PGRI Klungkung dan pensiun sebagai guru aparatur sipil negara (ASN) di SMA Pariwisata PGRI Dawan, Klungkung. Meski sudah pensiun, Suartha masih mengurus kegiatan literasi di sekolahnya, termasuk menjadi penjaga gawang majalah sekolah PAS milik SMA Pariwisata PGRI Dawan Klungkung.
Suartha mulai menulis sajak sejak SMP tetapi baru dipublikasikan tahun 1977 di sejumlah media massa, seperti Bali Post, Karya Bakti, Warta Mahasiswa, Nusa Tenggara, majalah Hai, dan Merdeka. Di samping menulis sajak, Suartha juga aktif menulis cerpen, naskah drama, serta catatan kecil apresiasi sastra dan teater. Bahkan, bersama Sanggar Binduana yang didirikannya bersama IBG Parwita, dia memainkan puluhan fragmennya di TVRI Stasiun Denpasar.
Sajak-sajak Suartha dimuat dalam sejumlah antologi bersama penyair lain, antara lain Pintu Ilalang, Spektrum, Teh Ginseng, Nuansa Tata Warna Batin, antologi puisi berbahasa Bali Pupute Tan Sida Puput serta Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta. Tahun 2005, bersama penyair IBG Parwita diundang membacakan sajaknya dalam Ubud Writers and Readers Festival. Naskah dramanya, Rantai Putus terbit tahun 2012 yang mengantarkannya meraih penghargaan Widya Pataka dari Pemerintah Provinsi Bali.
78 Sajak Selama 41 Tahun
Buku Harian Ibu Belum Selesai merupakan kumpulan puisi pertama karya I Wayan Suartha. Dalam buku ini terhimpun 78 sajak Suartha yang sudah dipilih dari sajak-sajaknya yang ditulis dalam rentang waktu 41 tahun. Sajak pertama dalam buku ini berangka tahun 1979 dan sajak terbaru berangka tahun 2020.
Dari 78 sajak dalam buku ini sedikitnya ada 18 sajak dalam kumpulan puisi Buku Harian Ibu Belum Selesai yang menggunakan Klungkung dan tempat-tempat di wilayah Klungkung sebagai judul, seperti Kali Unda, Pantai Klotok, Kusamba, Karangdadi, Tihingan, dan Sengkiding. Beberapa sajak lain juga merupakan narasi tentang sejarah Klungkung. Suartha seolah sedang menunjukkan identitasnya sebagai penyair Klungkung.
Pemaknaan Suartha tentang Klungkung, tanah kelahirannya, terekam kuat dalam sajak “Rumah Klungkung”. “Mata itu matahari seluruh mata/ dari hulu kali yang jauh/ dusun dusun ketakjuban/ mengalir aksara ning aksara/ semesta kecil semesta agung/ hanyut-hanyut ke dasar getaran/ tumpah lewat matamata pisau/ sepanjang asal usul/ pantai yang segar/ melayangkan/ asmara pemberontakan pernah tertulis/ tragedi ketulusan belapati/kekawin tarian langit mengisi/ angkasa jiwaraya/ dihembus angin tanah ini/ masuklah/”
Larik “mata itu matahari seluruh mata” tampaknya merujuk kepada keberadaan Klungkung secara historis yang menjadi pernah pusat orientasi politik, kultural dan spiritual masyarakat Bali. Sampai kini pun, secara kultural, Klungkung masih dilihat sebagai “rumah sejarah”, tempat orang-orang Bali menengok sejarah masa silamnya. Suartha menulis sebuah lirik, “Ingatlah!/ segalanya dari timur awalnya/”. Penyair Wayan Jengki Sunarta juga menulis sajak “Smarapura” yang menyebut Semarapura sebagai asal mula: “namun, Semarapura/ sejatinya bapa/ dari mana kau bermula/.
Kecintaan Suartha kepada Klungkung serupa kecintaan seorang anak kepada ibunya. Karena segala yang melahirkan itu diberi tanda ibu, tanah kelahiran juga disebut ibu. Kearifan tradisi menyebutnya sebagai ibu pertiwi. Cinta tulus seorang ibu sepatutnya memang disambut cinta penuh seorang anak.
Mungkin karena itu, Suartha begitu terpesona dengan kisah perjuangan membela tanah kelahiran yang dipentaskan raja bersama rakyat Klungkung dalam perang Puputan Klungkung. Suartha memaknai keperwiraan para pahlawan Klungkung itu laksana kecintaan anak-anak terhadap ibunya sendiri, ibu pertiwi yang disebutnya sebagai “upacara bumi”. “Kalaulah sudah, sebiji buah penjor/ tertembak/ rasakan gemuruh, aku teriakan itu/keris mengkarat sekalipun/ jimat setengah bertuah sisa lalu/ meyakini seyakin-yakinnya inilah puputan/ upacara bumi/dan dengarkan, aku teriakan itu/sebagai kematian di tanah peperangan/kesetiaan dikobaran kematian/sungguh keramat memang puputan// (“Kalaulah”).
Betapa mulianya pengorbanan darah bagi ibu pertiwi itu sehingga seorang Kumpi Wayan, tokoh yang dimunculkan Suartha dalam sajaknya yang berjudul “Puputan Klungkung”, merasa “perih penuh kecewa” karena “ia tak ikut mati” membasuh tubuh sang ibu bumi. Tokoh Kumpi Wayan menjadi semacam refleksi kerinduan seorang anak kepada ibu pertiwi. Bukan sekadar untuk merasakan kehangatan pelukan ibu, tetapi pulang kembali ke rahim ibu semesta, membayar segala utang-utang hidup dan kehidupan.
Kerinduan kepada Ibu
Sosok ibu memang begitu mengobsesi Suartha. Masa kecil Suartha adalah masa-masa kehilangan sang ibu kandung. Petaka letusan Gunung Agung merenggut kasih sayang ibunya untuk selama-lamanya. Peristiwa itu direkam padat dan kuat dalam sajak “Hujan Bulan Oktober”. “Senja hujan bulan oktober/ haripun tiba waktu mendekap/ orang orang berbasah dalam langkah dingin/ langit berdebu, hujan belum reda/ anak anak terdiam menatap/ tanpa suara kasih terlepas/ ibu sudah tak ada di rumah/ cintanya bergetar menggedor/”. Pada bait terakhir, Suartha lalu menulis, “anak anak mengunjungi rumah/ membersihkan halaman duka luka/ ibu tersenyum/ berjarak kata bahasa berbeda/ pelan pelan hilang/aku terdiam/ ibu dalam bunga jiwaku//”.
Jadilah sajak-sajak Suartha, seperti kata penyair Umbu Landu Paranggi dalam kata pengantar di buku ini, serupa lagu rindu untuk ibu. Seperti kerinduan anak-anak didongengkan dan didendangkan ibu kala malam jelang tidur. Sajak “Jembatan Silang” dan “Buku Harian Ibu Belum Selesai” melukiskan luapan rasa haru rindu Suartha pada dekapan, dongeng dan tembang-tembang ibu. “Buku harian ibu belum selesai/ buku semesta wangi tanah/ kenangkanlah/ sekalipun ada yang retak/ karena kanak-kanak mencintai/ apa adanya aksara ibu//.
Lagu rindu yang tidak saja ditujukan kepada ibu kandung yang melahirkan, tetapi juga ibu pertiwi: Bumi Klungkung dan Kota Smarapura. Karena itu, membaca sajak-sajak Suartha, pembaca seperti diajak kembali ke masa silam. Serupa dongeng-dongeng purba tentang keagungan leluhur. Mungkin bagi sebagian orang terasa sebagai romantisasi masa lalu. Tapi, begitulah cara Suartha membalas cinta kasih ibu pertiwi, tanah kelahiran yang setia menyangga, sepanjang masa. Melalui cermin bening masa lalu, orang bisa memahami kesejatiannya di masa kini dan bersiap menatap masa depan. [T]