31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Menengok Wisata Religi Islami di Jembrana, Bali

Angga WijayabyAngga Wijaya
April 20, 2023
inFeature
Menengok Wisata Religi Islami di Jembrana, Bali

Makam Wali Pitu, Loloan, Jembrana, Bali

DENGAN JARAK TEMPUH tiga jam dari Denpasar, Jembrana menjadi wilayah yang kerap dilupakan. Kabupaten di ujung barat Bali ini lebih heterogen dibandingkan wilayah Bali lainnya. Menilik sejarahnya, sejak 1653 para pendatang dari Sulawesi Selatan mulai bermigrasi ke Jembrana. Warga yang bersuku Bugis itu seperti menemukan tempat yang mirip daerah asalnya. Mereka adalah para pelaut dan  Jembrana memiliki wilayah laut yang luas.

Warga Bugis keturunan Melayu tersebut bahkan diangkat menjadi prajurit kerajaan Jembrana. Mereka dikenal tangguh dan setia. Perang antara kerajaan Jembrana dengan kerajaan lain di Bali ketika itu dimenangkan tidak terlepas dari peran pasukan tersebut.  Juga ketika penjajah Belanda ingin menguasai Jembrana. Hingga akhirnya Raja Jembrana kala itu memberikan wilayah otonom untuk warga keturunan Bugis-Melayu. Mereka menamakannya desa Loloan, yang artinya sungai yang luas dan panjang, menurut bahasa Bugis.

Kini, Loloan menjadi kelurahan, terbagi menjadi Loloan Timur dan Loloan Barat. Para pelaut memang tidak ada lagi, namun jejaknya masih lestari hingga kini berupa rumah panggung yang mengingatkan pada masa lalu, ketika Jembrana adalah wilayah hutan luas, secara etimologis berasal dari kata Jimbar dan Wana. Jimbar artinya luas, dan Wana artinya hutan.

Dahulu adalah tempat pembuangan bagi para warga dan ksatria yang kritis, membangkang dan tidak mau tunduk pada aturan kerajaan di Bali bagian timur dan selatan. Mereka menembus hutan lebat, melawan ganasnya alam, lalu membuka hutan untuk ditempati, membangun peradaban baru yang “lain” dengan Bali pada umumnya.

Eka Sabara, penulis dan pegiat sejarah asal Loloan, Jembrana, menyebut, setidaknya terdapat tiga periode awal mula yang berkaitan erat dengan keberadaan warga Loloan di Jembrana saat ini, yang diawali dengan kedatangan orang-orang Bugis Makassar yang beragama Islam ke wilayah tersebut.

“Dalam periode pertama ini juga telah berhasil dibangun hubungan sosial yang harmonis antara masyarakat muslim Bugis Makassar dengan pemerintahan dan masyarakat setempat. Wangsa yang memerintah dan berkuasa di Jembrana pada saat kedatangan suku Bugis Makassar yakni Arya Pancoran,” jelasnya.

Kedatangan rombongan skuadron Daeng Nachoda pada abad ketujuh belas masehi, untuk pertama kalinya terjadi kontak antara kerajaan Jembrana di bawah penguasa saat itu I Gusti Ngurah Pancoran IV, membuahkan kerjasama yang amat baik dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak dengan ditunjuknya Daeng Nachoda sebagai bagian dari pasukan tentara kerajaan Jembrana, dan diberikan tempat untuk mendirikan sebuah bandar atau pelabuhan, yang saat itu dinamakan Bandar Pancoran.

“Bicara tentang Loloan, maka tidaklah lepas sebuah peranan yang sangat penting dari Bapak Pendiri Loloan dalam abad ke 19 Masehi, yaitu dengan tokoh sentral Syarif Tue dan Encik Ya’qub, yang telah meletakan pondasi integrasi dan eksistansi dalam hidup keberagaman dengan tetap menjaga silaturahmi kepada masyarakat dengan konsep lama yaitu menyama braya yang sangat kental sejak berabad-abad lalu” ujar Eka.

Relasi komunikasi sosial dan agama dengan konsep menyama braya bertahan hingga kini di Jembrana. Dinamika keberagamaan Loloan dan keunikannya mampu turut serta memajukan perekonomian Jembrana dari dulu hingga sekarang. Meskipun dikenal bukan sebagai destinasi pariwisata, kabupaten pemasok hasil pertanian dan perkebunan di Bali ini memiliki “mutiara terpendam” yakni potensi pariwisata yang belum dikembangkan secara baik dan memadai.

Sebut saja wisata kuliner khas Loloan, dengan berbagai jajanan khas dan unik serta nasi plecing ayam pedas menggugah selera. Selain itu, terdapat pula wisata air, menyusuri keindahan sungai Ijo Gading di tengah kota Negara hingga ke hilir sungai yang sering disebut muara, berlokasi di selatan kota.

“Wisata inilah yang saat ini harus dikembangkan ke depannya. Dengan menyusuri indahnya sungai Ijo Gading yang saat ini cukup bersih sebagai sarana melepas kepenatan, selain sebagai edukasi kepada generasi muda untuk lebih dekat dan mencintai alam,” kata Eka.

Wisata Religi

Selain jenis wisata di atas, di Loloan terdapat juga wisata religi yang menjadi andalan sejak era 1990-an yang turut serta meningkatkan perekonomian masyarakat Loloan baik di Loloan  Timur maupun di Loloan Barat. Wisata religi, merupakan wisata favorit di Kampung Loloan dengan mengunjungi atau menziarahi makam para ulama yang pernah ada di Loloan, baik di timur sungai Ijogading maupun disebelah barat sungai Ijogading. Wisata ini lebih dikenal dengan wisata ziarah makam Wali Pitu yang ada di Loloan Barat, makam Buyut Lebai di Loloan Timur, makam Syarif Tue Loloan di Loloan Timur.

Wisata religi merupakan salah satu potensi wisata di Loloan dengan keberadaan para Wali yang sering dikunjungi oleh para peziarah dari luar daerah dan luar pulau. Selain itu Loloan juga memiliki potensi wisata budaya dengan didukung oleh adanya peninggalan sejarah budaya seperti rumah panggung, dan kesenian khas melayu. Potensi wisata kuliner juga bisa dikembangkan di Loloan.

Selama masa Pandemi COVID-19, wisata religi di Loloan mengalami stagnasi karena tidak ada tamu atau peziarah yang berkunjung sehingga dampaknya sangat dirasakan oleh para pelaku wisata religi. Namun kini keadaan mulai membaik.

“Sejak awal Januari 2022 mulai ada beberapa kunjungan tamu. Hal ini cukup membuat para pelaku wisata di sini bisa bernapas lega. Peziarah yang merupakan wisatawan domestik datang ke Loloan dengan tidak lupa mematuhi protokol kesehatan,” pungkas Eka.

Para peziarah biasanya menginap di penginapan yang dikelola warga sekitar. Dalam pandangan Eka, untuk meningkatkan pariwisata Loloan ke depan, pengelola wisata religi bagus jika membuat program menginap di rumah-rumah penduduk berupa rumah panggung. Di kampung Loloan masih banyak terdapat rumah panggung yang menjadi ciri khas budaya setempat.

“Wisatawan bisa menginap atau bermalam di rumah panggung yang usianya sudah ratusan tahun. Tentu hal ini akan memberikan kesan berbeda ketimbang menginap di hotel atau penginapan. Wisatawan juga bisa melakukan perawatan wajah dengan boreh atau lulur tradisional yang banyak digunakan oleh para ibu dan remaja Loloan sejak lama,” pungkas Eka.

Komplek makam Syarif Tue Loloan ( Syarif Abdullah bin Yahya Al Qadri) | Foto Eka Sabara

Pengelolaan wisata religi di kampong Loloan masih bersifat mandiri, walaupun sudah ada kelompok guide atau pemandu wisata setempat yang tergabung dalam wadah “Guide Ijo Gading”. Hal ini memang belum dikelola oleh pemerintah daerah, akan tetapi pemerintah saat ini sudah sangat responsif melakukan perbaikan sarana-sarana jalan dan fasilitas umum yang turut serta membantu kenyamanan para tamu peziarah.

“Sudah ada rencana dari pemerintah kabupaten Jembrana untuk menjadikan Loloan sebagai destinasi desa wisata, dengan mempromosikan wisata kuliner dan lain-lain. Untuk wisata religi perlu dikembangkan lagi dengan memberikan kemudahan kepada masyarakat sekitar agar dapat berperan aktif dalam kegiatan wisata religi, dan perlu juga dilakukan renovasi atau pemugaran bangunan di makam Wali Pitu Loloan yang sudah mengalami kebocoran jika turun hujan,” kata Eka.

Ia menambahkan, hal lain yang perlu terus dijaga dan ditingkatkan adalah menjaga toleransi dan harmoni serta keberagaman di tengah masyarakat yaitu tetap memelihara budaya yang sudah berjalan dan tumbuh berkembang di masyarakat Jembrana  dan Bali pada umumnya yakni konsep menyama braya yang penuh rasa kekeluargaan yang harus dilestarikan oleh para generasi muda saat ini.

Syair Wida’

Selain makam wali pitu dan para ulama, Loloan terdapat tradisi tua yang masih lestari hingga kini. Wida’, syair yang terdengar lirih, penuh kesedihan karena Ramadhan segera berakhir. Ngewida’, aktivitas membaca Wida’ dilakukan sepuluh malam terakhir Ramadhan.

Eka Sabara menjelaskan, sekitar abad ke-18 hingga abad ke-19 Masehi, para Tuan Guru, sebutan ulama atau orang alim di Loloan pada abad ke-18, sangat bersedih menjelang tibanya sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.

“Kesedihan para Tuan Guru atau ulama dahulu, ditumpahkan dalam bentuk pujian-pujian dengan menggubah syair-syair khas Bugis-Melayu Loloan, yang bertujuan untuk menghidupkan suasana sepuluh malam terakhir Ramadhan sampai akhir malam Ramadhan,” tukasnya.

Eka menambahkan, syair Wida’ yang cukup populer dibaca oleh para ahli Wida’ yaitu syair Rakbi. Tradisi Ngewida’ ini dilakukan pada sekitar jam 12 malam hingga jam 2 pagi.

“Wida’ dilantunkan dengan suara lengkingan yang cukup panjang dan tinggi, memecah kesunyian dan keheningan malam, terdengar syair alunan kesedihan akan berakhirnya bulan Ramadhan,” jelasnya.

Makam Tuan Guru Haji Moh.Said ulama Besar Loloan 1887 Masehi | Foto: Eka Sabara

Ia menuturkan, kata Wida’ berasal dari bahasa Arab yang berarti perpisahan. Oleh para ahli syair wida’ tradisi ini sering disebut Ngewida’. Tradisi ini hanya ada di Loloan saja. “Wida’ sebenarnya merupakan warisan tradisi Bugis Melayu Loloan, karena kata Wida’ juga berasal dari serapan bahasa Bugis yang berarti “selamat tinggal,” ujar Eka.

Cerita tentang kepercayaan masyarakat Loloan terkait bulan Ramadhan, diceritakan langsung oleh H. Ichsan kepada keponakannya yang bernama Suldan.

“Pada bulan Ramadhan para datuk-datuk kita mendapatkan “remisi” dari Allah SWT pulang ke rumah asalnya semasih di dunia fana ini. Nah, selama satu bulan tidak ade (ada) pertanyaan dari malaikat alam barzah, sehingga dengan syair Wida’ itu membantu mengantar para datuk-datuk awak (kita) pulang lagi ke alam Barzah. Setelah mendapat libur atau “remisi” selama satu bulan di bulan Ramadhan, libur satu bulan itu sama dengan libur setahun tidak mendapatkan pertanyaan dari malaikat,” tutur H. Ichsan kepada Suldan.

Hikmah dari tradisi Ngewida’, kata Eka, menggambarkan pesan dan kesan sedih karena rasa kehilangan kegembiraan Ramadhan. Sebaliknya, muncul rasa senang karena lepas dari kewajiban puasa dan mendapat hadiah hari raya Idul Fitri.

“Pada tahun 1980-an, pewida’ yang paling terkenal karena khas suara sedihnya, yaitu suara Pak Tabrani, Pak Zaki, dan Pak Huzaimi. Semua sudah almarhum saat ini,” ujarnya.

Generasi Muda

Yusuf Mudatsir, salah satu generasi muda Loloan mempunyai pengalaman pribadi saat mendengarkan Wida’ dilantunkan. Menurutnya, dari segi seni tarik suara, Wida’ memiliki note dan tangga nada yang khas, percampuran antara sika-nya note Melayu dan tembangnya note Bali. Maka di dalam mendengarkan Wida’ ia dapat merasakan bagaimana toleransi perpaduan seni tarik suara disuguhkan.

“Di samping itu dalam syair Wida’ juga terdapat keindahan dalam kesedihan. Ada soul di dalamnya, ada history dalam lantunannya seperti contoh perjalanan pendakian seorang hamba yang mendambakan Lailatul Qadar di bulan Ramadhan,” kata Yusuf.

Sebagai seorang Muslim, rasa sedih berpisah dengan Ramadhan juga ia rasakan. Baginya, lantunan Wida’ merupakan representasi jiwa-jwa para hamba yang sedang gundah dalam mendaki dan meraih Lailatul Qadar.

“Maka jika Anda pejamkan mata Anda ketika mendengar Wida’, seolah-olah jiwa kita merasakan rintihan kesakitan saat detik-detik Ramadhan akan pergi. Ini berlaku kepada siapa pun walau tidak mengerti apa itu Wida’. Hal ini telah terbukti dengan eksperimen sosial yang kami lakukan dengan beberapa kawan dari luar daerah Loloan maupun luar Bali,” jelas Yusuf yang merupakan bagian dari Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia.

| Foto: Eka Sabara

Ia memandang Wid’a dan aktivitas Ngewida’ sangatlah baik karena merupakan tradisi masa silam yang masih tetap terpelihara hingga kini. Pelestarian warisan budaya tersebut, menurutnya sangat perlu dilakukan karena tradisi ini sesuatu yang sangat langka dan hanya didapati pada momen-momen tertentu yakni menjelang berakhirnya Ramadhan.

Bahkan, sambung Yusuf, tradisi Wida’ tak tertutup kemungkinan bisa menjadi daya tarik pariwisata, khususnya wisata religi. Ia melihat, dari kekhususannya Wida’ memiliki potensi untuk bisa dikenalkan ke khalayak ramai.

“Untuk caranya bisa bermacam-macam, tergantung apa yang kita ingin capai. Seperti contoh pagelaran festival dan memberikan reward kepada pelaku-pelaku Wida’ tempo dulu. Lagi pula, zaman sekarang budaya harus diimbangi juga dengan story telling, kan?” katanya.

Story telling yang dimaksudkan Yusuf adalah menulis tentang Wida’, misalkan asal-usul Wida’ dan berbagai seluk-beluknya baik di laman pribadi atau media sosial kelurahan Loloan maupun mengirimkannya ke media lokal, nasional bahkan internasional. 

“Untuk mengenalkan Wida’, banyak hal yang rencananya akan kami selaku pemuda-pemudi Loloan lakukan. Diantaranya, membuat film dokumenter tentang Wida’ dan Ngewida’. Hal itu sebagai bentuk rasa bangga dan kepedulian terhadap warisan leluhur, para datuk dan ulama Loloan yang bisa jadi jenis kesenian ini satu-satunya di Indonesia,” sebutnya.

Tentang regenerasi pelantun syair Wida’, Yusuf mengatakan hal tersebut terus dilakukan. Banyak generasi muda Loloan yang tertarik mempelajari Wida’ dan Ngewida’. Ia sendiri beberapa kali pernah membawakan Wida’ walau masih taraf musholla depan rumah.

Yusuf mengaku, dari Ngewida’ ia dapat menggambarkan bagaimana cara penyampaian soul atau jiwa dari Wida’, teknik apa saja yang ada saat melantunkannya. Seperti yang ia singgung di atas, ada perpaduan tembang Melayu dan Bali.

Kini, pelantun Wida’ di Loloan yang dikenal banyak orang adalah Ustadz Suldan yang merupakan paman Yusuf. Darinya ia banyak belajar bagaimana melantunkan Wida’

Desa Wisata

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana saat dimintai keterangan tentang desa wisata menjelaskan, dalam rangka pengembangan pariwisata berkelanjutan dan pariwisata berbasis masyarakat, Pemerintah Kabupaten Jembrana telah mencanangkan pembentukan desa wisata sesuai potensi wisata pada masing-masing desa atau kelurahan.

Kebijakan pengembangan desa wisata telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Jembrana Nomor 2 Tahun 2018 tentang desa wisata. Hingga saat ini,  sudah terbentuk tujuh desa wisata yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati Jembrana Nomor 209/Disparbud/2021.Loloan saat ini memang belum ditetapkan sebagai desa wisata, namun demikian di kelurahan Loloan Timur telah terbentuk Kelompok Sadar Wisata Ambenan Ijogading yang aktif melaksanakan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dan diharapkan akan dapat berkembang sebagai pengelola desa wisata di Loloan Timur.

Otentisitas dan keunikan desa wisata di Bali selama ini identik dengan budaya Bali dengan religi Hindu sebagai corak utama. Namun perlu juga diingat bahwa Bali memiliki sejarah panjang terkait budaya “luar”. Hal itu menjadi tantangan dan peluang, menjadikan Bali wilayah di Nusantara yang sejak dulu kala terbuka dengan kebudayaan liyan. Apresiasi, tidak sekadar toleransi. Bukan sejak puluhan tahun, bahkan ratusan dan mungkin ribuan tahun lalu sudah ada.

Akulturasi dan asimilasi budaya bukan hal aneh di Bali. Justru itu makin memperkuat dan memperkaya Bali. Desa wisata yang mengemuka beberapa tahun belakangan semoga tidak melupakan sejarah Bali termasuk adanya wisata religi islami. Tak hanya Jembrana namun juga di Buleleng, Karangasem, dan Klungkung yang mana terdapat kantong-kantong Islam sejak ratusan tahun lalu.

Akan sangat indah misalnya warga muslim di luar Bali selain menikmati destinasi pariwisata di Bali juga melakukan ziarah ke makam ulama dan Wali Pitu seperti yang ada di Jembrana. Potensi ini belum dikelola dengan baik, hanya dilakukan oleh warga secara mandiri. Pemerintah lokal perlu turut andil dalam mendukung dan memasukkan wisata religi Islami di Bali dalam promosi pariwisata, Dengan ini, keunikan dan keterbukaan Bali benar-benar terasa. [T]

Puisi-Puisi Islami Angga Wijaya | Apresiasi Keberagaman
Nuansa Islami Dalam Pustaka Lontar Bali
Serambi Masjid, Pengungsi Gunung Agung, dan Kampung Islam Buitan
Tags: baliIslamIslam di BalijembranaKampung Loloanwisatawisata religi
Previous Post

(Rasanya) ke-Tuban-nan Saya Sudah Hilang

Next Post

Kelindan Obor dan Sunari, Api dan Angin, Lukisan dan Suara, dalam Nungkalik Festival “Panumbra’s Final Gloom”

Angga Wijaya

Angga Wijaya

Bernama lengkap I Ketut Angga Wijaya. Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Warta Bali, Jembrana Post, Independent News, Riau Pos, Bali Post, Jogja Review, Serambi Indonesia dan Antologi Puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (INSIST Press, 2005). Bekerja sebagai wartawan di Denpasar.

Next Post
Kelindan Obor dan Sunari, Api dan Angin, Lukisan dan Suara, dalam Nungkalik Festival “Panumbra’s Final Gloom” 

Kelindan Obor dan Sunari, Api dan Angin, Lukisan dan Suara, dalam Nungkalik Festival “Panumbra’s Final Gloom”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co