DALAM SEMINGGU INI, dua tokoh Hindu, masing-masing berasal dari pesisi Bali bagian utara dan pesisi Bali bagian selatan, berpulang, nyujur sunialoka. Mereka bukan hanya meninggalkan keluarga tercinta, melainkan juga meninggalkan umat Hindu, terutama di Bali, yang hingga kini masih sepertinya didera begitu banyak persoalan.
Tokoh Hindu dari utara itu adalah I Gede Marayana. Ia lahir di Banjar Dinas Galiran, Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Ia tutup usia, Senin, 17 April 2023, pukul 16.49 Wita, dalam usia 75 tahun.
Tokoh Hindu dari selatan adalah Drs I Ketut Wiana M.Ag. Ia meninggal dunia dalam usia 82 tahun, Rabu 19 April 2023 pagi di kediamannya Jalan Kembang Matahari Nomor 17, Denpasar. Ketut Wiana berasal dari Desa Bualu, Kuta Selatan, Badung.
Umat Hindu tentu saja kehilangan besar. Dua tokoh ini, selama hidupnya sangat suka mengejar ilmu, sekaligus suka membagi ilmunya kepada siapa pun umat yang memerlukannya. Seperti keseimbangan yang tiba-tiba hilang antara utara dan selatan Bali.
Bukti bahwa dua tokoh ini dicintai umat, banyak tulisan-tulisan ucapan duka cita yang tersebar di media sosial. Mereka menyampaikan duka cita dan rasa kehilangan yang mendalam sekaligus menulis doa-doa agar mereka bersatu dengan Hyang widhi.
Marayana, Pendidikan dan Wariga
Pada usia yang tak lagi tergolong muda, Marayana, sejak beberapa tahun lalu, menyisihkan waktunya untuk kuliah dan sukses meraih gelar S1. Pada Oktober tahun 2022, ia menuntaskan program S2 Pendidikan Agama Hindu di STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja.
“Di usia Beliau yang sudah senja, masih dengan penuh semangat untuk menempuh pendidikan. Bahkan Beliau telah merencanakan untuk melanjutkan studi S3.” Begitu tertulis di laman facebook STAHN Mpu Kuturan Singaraja.
Dalam tulisan di facebook itu, STAHN Mpu Kuturan menyatakan sangat hormat pada Gede Marayana. “Selama proses perkuliahan, beliau adalah sosok mahasiswa yang aktif, dan selalu mengikuti arahan dari dosen. Bahkan setelah menyelesaikan studinya, masih sering datang ke kampus, hanya untuk bertegur sapa dengan senyumannya yang khas,” demikian debagaimana ditulis di laman STAHN Mpu Kuturan itu.
Sesungguhnya, Gede Marayana tak perlu kuliah lagi. Tanpa kuliah pun ia sudah dianggap Guru Besar oleh umat Hindu, terutama pada bidang wariga. Padewasan dan penyusunan kalender Bali. Ia termasuk ahli wariga dan penyusun kalender yang banyak dipercaya umat.
Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja Dr I Gede Suwindia, M.A. bahkan menganggap Marayana layak mengajar pada program S2 karena keahlian yang dimilikinya.
“Kita harus belajar, kalau di tracer karya dan pemikiran almarhum, sangat jauh dari anak-anak muda berpendidikan dengan gelar tinggi, banyak karya dan warisan ide bisa kita ambil di dunia wariga. Beliau layak saya minta mengajar S2 karena keahliannya, kedalamannya tentang wariga. Beliau menyanggupi. Namun lebih dulu dipanggil Hyang Widhi,” kata Suwindia di laman facebook.
Sebagai ahli wariga, Gede Marayana adalah orang yang murah ilmu. Ia akan meladeni siapa pun yang mau bertanya tentang wariga. Banyak peneliti dan mahasiswa bertanya sekaligus belajar kepadanya tentang dewasa ayu dan hal-hal yang berkaitan dengan hari-hari baik untuk melakukan upacara agama dan kegiatan sekular di Bali.
Marayana sebelumnya tak memiliki latar belakang pendidikan agama, dan tidak juga memiliki latar pekerjaan formal di bidang adat maupun keagamaan. Setamat dari Sekolah Rakyat (SR) ia melanjutkan Sekolah Teknik (ST) setara SMP tahun 1965, Lalu ia masuk ke Sekolah Teknik Menengah (STM) dan lulus tahun 1974. Pekerjaan formalnya adalah pegawai di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Buleleng.
Ada sejumlah alasan kenapa ia menekuni kegiatan untuk menghitung dewasa ayu. Tentu saja salah satunya untuk melestarikan perhitungan waktu ala Bali, karena perhitungan waktu untuk menentukan hari baik itu selalu menjadi patokan umat Hindu dalam melakukan kegiatan agama dan adat di Bali. Sejak tahun 1975 ia menekuni wariga, kemudian tahun 1993 mulai menerbitkan kalender Bali yang disusunnya sendiri.
Atas keahlian dan dedikasinya itu, ia sempat meraih sejumlah perhargaan. Ilmu pengalantaka yang ditemukannya lewat penelitian ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional pada tahun 2019.
Ia meraih penghargaan Bali Kertha Nugraha Mahottama tahun 2021. Penghargaan lainnya adalah Wija Kusuma dari Pemkab Buleleng tahun 2005 dan Penghargaan Dharma Kusuma dari Pemprov Bali tahun 2008.
I Ketut Wiana dan Mimbar Agama Hindu
Meski secara formal, I Ketut Wiana adalah dosen atau pengajar di lembaga formal, namun banyak yang mengenal dia justru karena seringnya ia mengisi kolom Mimbar Agama Hindu di sejumlah media besar di Bali, seperti di Bali Post.
Dulu, ketika lembaga pendidikan agama Hindu belum semarak seperti sekarang ini, artikel-artikel karya Ketut Wiana dalam rubric Mimbar Agama Hindu seringkali menjadi acuan umat Hindu untuk memahani agama yang dipeluknya sejak lahir. Dan, tidak banyak tokoh Hindu yang mampu menulis artikel seproduktif Ketut Wiana saat itu. Selain di Bali Post, tulisan-tulisannya tersebar di sejumlah majalah Hindu dan sesekali muncul di media nasional.
Dr Ni Made Yuliani SSos MFilH, sebagaimana dikutip Nusa Bali, mengatakan kiprah ayahnya sebagai penekun sosiologi Hindu memang cukup panjang, tidak kurang dari 30 tahun. Ilmu yang ditekuninya itu mulai dari mengkaji perkembangan masyarakat berkaitan dengan agama dan memberi solusi dalam menjalankan ajaran agama.
Selain sebagai pengajar di kampus IHDN (sekarang UHN IGB Sugriwa), Ketut Wiana juga membangun sekolah di kampung halamannya di Desa Bualu.
Karena kahliannya di bidang agama, Ketut Wiana beberapa menjadi tim ahli gubernur di bidang agama Hindu, baik pada masa jabatan Gubernur Dewa Made Beratha, Made Mangku Pastika, maupun Wayan Koster.
“Bapak juga menjadi asesor Tri Hita Karana di bidang parahyangan dan aktif menjadi penulis, membuat artikel, jurnal-jurnal, aktif menulis buku. Bahkan dalam seminggu sangat kreatif, menulis banyak tulisan hingga akhirnya mendapat penghargaan dari IHDN,” kata Yuliani.
Jangan ditanya lagi, buku apa saja yang pernah ditulis Ketut Wiana. Buku-buku karya Wiana yang meliputi aspek filsafat, etika dan ritual agama Hindu memiliki jangkauan pembaca yang luas. Tidak hanya menjadi kepentingan praktis umat, buku-buku karya Wiana juga memebrikan aspek pemahaman tattwa agama Hindu. Bahasanya sederhana, segar dan ringan sehingga mudah dipahami pembaca umat Hindu.
“Dosa orang yang berilmu kalau tidak mendermakan ilmunya itu kepada orang lain, betapa pun ilmu yang dimiliki hanya sedikit,” kata Wiana sebagaimana dikutip balisaja.com.
Bagi Wiana, menulis itu panggilan hati. Menulis pengetahuan agama yang dimiliki dianggap Wiana sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu pengetahuan itu. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan haruslah mendermakan ilmu pengetahuan agar tidak berdosa kepada ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sebagaimana dikutip balisaja.com, Wiana menilai umat Hindu membutuhkan banyak buku-buku agama Hindu. Kehadiran buku-buku agama Hindu penting untuk meningkatkan kualitas sradha dan bhakti umat sehingga terjadi perubahan secara perlahan dalam perilaku beragama umat Hindu dari kuatnya aspek ritual ke arah kentalnya etika dan spiritual.
“Kalau kita sibuk dengan ritual, kita akan terjebak dalam kehidupan beragama di kulit luar saja. Kita harus mencapai tingkatan pemahaman dan pemaknaan atas ajaran agama kita sehingga agama benar-benar memberi jiwa dalam laku hidup sehari-hari,” kata Wiana.
Buku pertama yang ditulis Wiana berjudul “Tradisi Agama Hindu di Bali” yang terbit sekitar tahun 1987. Ia juga menulis buku “Perbedaan Pengertian Catur Warna, Wangsa dan Kasta”.
Buku tentang catur warna itu paling berkesan bagi Wiana. Karena masalah warna, wangsa dan kasta di Bali selalu menjadi masalah. Buku Wiana itu ikut berkontribusi memberikan sumbangan pemikiran untuk menyadarkan umat dan masyarakat Bali. [T]