QUARTER LIFE CRISIS merupakan periode ketidakpastian dan pencarian jati diri yang dialami individu pada saat mencapai usia pertengahan 20 hingga awal 30 tahun.
Memasuki usia 20-an, banyak hal yang mulai dihadapi, dari perasaan takut dan khawatir terhadap masa depan, termasuk dalam hal pendidikan, karier, relasi, kehidupan sosial, tentunya juga tak luput dari pesoalan asmara.
Pada umur-umur ini, seseorang seolah-olah menaiki bianglala kehidupan, kadang di atas, tapi kadang lebih sering di bawah.
Kalau dipikir-pikir, usia 20-an ini merupakan waktu untuk kita mencari jati diri. Mencari apa yang kita senangi, bertahan sementara dengan apa yang sudah kita jalani dan mengakhiri sesuatu yang tidak kita sukai. Seakan-akan tak pernah behenti, berulang begitu saja, berputar seperti bianglala. Rasanya melelahkan sekali, bukan?
Berada di usia dua puluhan seringkali membingungkan dan, tentu saja, sepi. Bisa dibilang, ini memasuki masa mulai pura-pura dewasa. Seperti, mulai mencoba hidup mandiri di rantauan; mulai mencoba karier baru; mulai mencoba hubungan baru dan banyak hal lagi.
Fenomena ini sesuai dengan riset dari Harvard Business Review: Why You Late Twenties Is The Worst Time Of Your Life.
Artikel yang dimuat dalam majalah manajemen umum Universitas Harvard tersebut, dinyatakan bahwa, keadaan sementara yang berkepanjangan ini tentunya mengakibatkan banyak penderitaan. Dan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa generasi muda saat ini lebih menderita daripada generasi sebelumnya.
Misalnya saja, usia rata-rata untuk timbulnya depresi telah turun, yang biasanya menunjukkan angka dari usia akhir empat puluhan atau awal lima puluhan, namun dari 30 tahun yang lalu berubah menjadi rentang usia di pertengahan dua puluhan, dan diperkirakan akan semakin turun seiring berjalannya waktu.
***
Selama tahun-tahun inilah, orang akan mengalami pikiran dan perasaan paling negatif. Tentunya juga mengalami pengembaraan pikiran paling banyak, suatu keadaan psikologis yang telah terbukti dapat merusak tingkat dari kesejahteraan.
Terlepas dari apa penyebabnya, fase quarter life crisis ini seringkali berlangsung dalam beberapa tahun. YA, B.E.B.E.R.A.P.A T.A.H.U.N!
Kondisi Ini dimulai dengan adanya perasaan terikat pada komitmen di tempat kerja, di rumah, atau dengan seseorang (katakanlah: kekasih). Orang-orang mulai mengambil pekerjaan, menyewa kontrakan hingga apartment, dan menjalin hubungan dengan orang baru secara terus menerus. Tetapi kemudian, kamu merasa terjebak dalam ke-dewasa-an pura-pura.
Berada pada fase terkunci, sangatlah tragis. Bagaimana tidak? terkadang kita ingin terlepas atau melepas sesuatu, namun masih saja ragu. Padahal kita sudah tahu, bertahan juga bukan suatu pilihan yang tepat.
Apa kalian juga sedang mengalami fase ini? Huft!..sudahlah. Menjadi dewasa itu memang suatu keharusan, karena waktu akan terus bergerak tanpa menoleh kebelakang.
Merasa terkunci di dalam sangkar burung. Perasaan ini merupakan sebuah ilusi, kita bisa saja keluar dan lari sejauh mungkin, namun akan tetap merasa terkunci pada suatu keadaan. Stuck pada situasi yang membuat kita tidak nyaman.
Perlahan akan timbul perasaan bahwa rutinitas, bahkan hubungan yang dijalaninya itu, tidak membuat perasaan bahagia. Kita akan merasa semuanya sia-sia. Hal-hal seperti ini sering terjadi, biasanya karena hanya ingin membahagiakan orang-orang di sekitar tanpa mempedulikan diri sendiri.
Proses ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun, atau berulang kali. Nah, karena ini merupakan proses yang menyakitkan (menurutku), jadi kalian harus tetap kuat ya! Hehe…
***
Eitss! Tetapi jangan pandang dari satu sisi saja.
Fase ini juga dapat menjadi peluang pertumbuhan yang luar biasa bagi kita, karena dengan melalui proses ini dapat menciptakan individu yang lebih matang lagi, kita bisa menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan lebih bahagia.
Lantas, bagaimana caranya memanfaatkan peluang itu? Tenang, kalian tak usah risau, kali ini aku akan memberikan beberapa solusi yang bisa kamu coba, agar quarter life crisis kamu bisa terkontrol.
Fase berhenti (mengakhiri komitmen-komitmen)
Ini merupakan tahap awal yang cukup berat. Bayangkan saja, jika kita harus berhenti dari sebuah pekerjaan yang tidak kita sukai, namun di satu sisi kita sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk keberlangsungan hidup.
Atau putus dengan orang yang tidak tepat, tapi sudah terlanjur sayang. Hmm… ibaratnya seperti kata-kata bucin yang pernah FYP di salah satu aplikasi. Begini bunyinya: “Sama kamu sakit, tapi kalau gak sama kamu lebih sakit”.
Memang, mempertahankan sesuatu yang tak lagi seirama dengan kita itu bukanlah suatu yang mudah. Tetapi, mau tidak mau, suka tiak suka, harus dilakukan.
Mulai sekarang, cobalah untuk belajar meninggalkan dan melepaskan. Yapss! Melepaskan sesuatu yang sudah tidak bisa digenggam lagi.
Berhenti mengejar standar sosial
Jangan terlalu berambisi. Jangan memaksakan untuk menyetarakan diri dengan orang di luaran sana—walaupun nanti kita akan dipandang sebelah mata dan menjadi terisolasi. Dunia ini tidak akan pernah ada habisnya. Semakin kita mengejar, maka kita justru akan tergerus.
Please stop!
Membanding-bandingkan diri dengan kehidupan orang lain—atau menjadikan gambaran hidup orang lain sebagai standar “hidup yang ideal”—memang mudah sekali bagi kita.
Ibaratnya: kita sedang mengendarai sepeda motor, lalu kita mengikuti jalan yang ditempuh oleh orang lain (yang tidak pernah kita tahu, arahnya menuju ke mana).
Jadi, sebenarnya kita selalu mempunyai pilihan untuk menjalani hidup sesuai dengan pilihan kita sendiri. Artinya, tetap menjadi diri sendiri ya, teman. Aku harap demikian. Hehe.
Fase refleksi
Masuk ke dalam diri sendiri. Merenungkan pikiran, emosi, bahkan keputusan-keputusan yang telah kita ambil. Amati diri, apa yang harus diperbaiki, tentang pencapaian-pencapaian yang didapatkan atau mungkin, mulai merancang apa yang ingin dilakukan di masa yang akan datang, dengan cara mengekplorasi hal-hal baru.
Cara ini dapat membuat kita lebih terarah dan menjadi pelajaran untuk ke depannya. Kita bisa memulainya dengan misalnya, rutin menulis jurnal harian atau kembali menulis diary. Ini akan memudahkan, sebagai catatan untuk menjadi bahan pertimbangan atau pembeda dari refleksi-refleksi yang akan kita lakukan ke depan.
Percayalah, setelah melewati beberapa fase di atas, perlahan-lahan akhirnya kita akan menuju kebahagian lagi. Kita semua bisa melewati usia 20-an ini dengan full senyum (walaupun sambil sedikit menangis. Tidak apa-apa, namanya juga fase hidup).
Dan memang begitu fase hidup, seperti bianglala. Sebelum mencapai puncak, kita semua mengawalinya dari bawah, hingga berada di tengah-tengah, kemudian berhenti sejenak (ketika ada yang akan naik wahana), lalu berputar perlahan menuju puncak, dan akan kembali berada di bawah. Hah… begitulah kira-kira filosofi kehidupan.
Kamu hebat, kita semua hebat. Coba tatap diri kalian dicermin, kemudian bisikan pada diri sendiri: “You can do it!”
Terakhir, yuk nyanyi sama-sama!
Sudah di kepala dua
Harus mulai dari mana?
Ambisiku bergejolak, antusias tak karuan
Banyak mimpi-mimpi yang ‘kan kukejar
Lika-liku perjalanan
Ku terjebak sendirian
Tumbuh dari kebaikan, bangkit dari kesalahan
Berusaha pendamkan kenyataan bahwa
Takut tambah dewasa
Takut aku kecewa
Takut tak seindah yang kukira
Takut tambah dewasa
Takut aku kecewa
Takut tak sekuat yang kukira.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.