SEEKOR ANAK BUAYA tertidur lelap. Ia terlihat lucu, meringkuk di pinggir danau, di antara pohon-pohon besar yang rindang.
“Lihat, Bu! Anak kita masih tertidur pulas walaupun cahaya matahari pagi sudah menyinari kepalanya,” ucap ayah buaya.
“Sudah, Yah, Jangan bangunkan Aya! Ayo kita siapkan sarapan untuk anak kita!” ucap ibu buaya.
Ayah buaya pergi menyelam ke dalam danau memburu ikan. Ayah buaya sudah satu minggu tidak dapat memburu rusa atau anak sapi. Dalam perburuan di dalam lautan itu, Ayah buaya pulang membawa tiga ekor ikan.
“Bu, ini tiga ekor ikan! Ayo kita panggang!” ucap ayah buaya.
Ibu buaya memanggang ketiga ikan itu. Bau asap ikan bakar mulai berputar-putar mengelilingi Aya yang masih terlelap tidur.
“Yah, bersihkan ikan yang sudah matang ini! Ambil daging-dagingnya saja! Jangan sampai ada tulangnya! Anak kita masih kecil belum bisa makan tulang,” pinta ibu buaya.
Ayah buaya membersihkan tulang-tulang ikan bakar itu dan hanya menyisakan daging-dagingnya saja.
“Bu, daging-daging ikan bakar ini sudah bersih dari tulang-tulangnya. Tulang-tulang ikan ini kita makan dulu sebagai sarapan,” ucap ayah buaya.
Daging ikan bakar sudah siap untuk sarapan Aya, si anak buaya yang lucu.
“Nak, ayo kita sarapan!” Ayah buaya membangunkan anaknya.
Aya bangun mendekati ibunya.
“Ma, sarapan apa hari ini?” tanya Aya
“Hari ini, Aya sarapan daging ikan,” jawab ibu buaya.
Aya bengong. Ia seperti berpikir keras. “Ikan? Bagaimana bentuknya? Aku selalu makan daging tapi tidak tahu siapa dia?” kata Aya dalam hati Aya memandangi ikan bakar yang hanya ada daging-daging putihnya.
“Mengapa melamun? Ayo makan sarapanmu!” tegur Ayah buaya mengagetkan Aya dari lamunanya.
Aya menyantap sarapan daging ikannya. Aya merasakan daging ikan yang lembut di mulutnya, tetapi dalam perasaanya ada rasa sedih.
“Mengapa aku merasakan kesedihan ini setiap makan daging?” pikir Aya tetap mengunyah makanannya.
“Kenapa Aya? Aya terlihat sedih. Sarapannya tak enak ya?” tanya ibu buaya.
“Tidak, Bu. Sarapan ini enak dan lembut di mulut,” jawab Aya menyembunyikan kesedihanya.
“Tapi, kenapa Aya telihat sedih?” tanya ayah buaya memandangi Aya.
Aya memberanikan diri mengungkapkan perasaanya,”Yah, setiap aku makan daging selalu merasa sedih. Tapi, aku tidak tahu penyebabnya.”
Ayah dan ibu buaya terdiam saling pandang karena terkejut dengan perkataan anaknya.
“Tidak apa-apa, Nak. Mungkin itu hanya bayangan dalam pikiranmu. Kita dilahirkan memang harus makan daging. Kita tidak akan hidup jika tidak makan daging,” ucap ayah buaya.
“Oh, begitu, Yah. Mungkin itu hanya pikiranku,” ucap Aya
Aya menyelesaikan sarapannya dan melupakan sedihnya.
“Yah, aku mau main di sekitar danau.” ucap Aya.
“Ya, Aya! Tapi Aya jangan masuk ke tengah hutan! Kalau ada bahaya, Aya belum bisa melindungi diri karena masih kecil,” ucap ayah buaya.
Aya mengangguk mendengarkan permintaan ayahnya. Aya pergi meninggalkan ayah dan ibunya. Aya berenang dan menyusuri pinggiran danau. Aya belum menemukan apa-apa. Tetapi, Aya menjadi penasaran dengan keadaan di dalam hutan karena perkataan ayahnya.
“Kenapa aku tidak masuk ke dalam hutan saja? Siapa tahu aku mendapat teman baru? Aku sudah bosan harus bermain sendiri,” pikir Aya.
Aya keluar dari dalam danau. Aya merangkak melewati rerumputan menuju ke dalam hutan. Dari kejauhan, Aya mendengar keramaian canda tawa yang sedang bermain. Aya mendekatan keramaian itu.
“Hari ini, aku beruntung akan bertemu teman baru,” gumam Aya senang.
Aya semakin mendekat. Sedangkan dalam keramaian itu, ada anak kelinci, anak sapi, anak rusa, dan anak monyet asyik bercanda ria, tetapi mereka belum menyadari kedatangan Aya.
“Hai, boleh aku ikut main?” ucap Aya.
Seketika anak kelinci, anak sapi, anak rusa, dan anak monyet terdiam menoleh ke arah Aya. Mereka terkejut melihat seekor anak buaya mendekat.
“Lariiiiiiiiiiiii! Nanti kamu dimakan oleh buaya itu,” teriak anak rusa.
Dengan cepat, mereka lari menjauhi Aya dan secepat kilat anak monyet melompat ke atas pohon.
“Tunggu! Aku hanya ingin berteman dan bermain dengan kalian,” ucap Aya.
Anak rusa dan teman-temannya sudah lari jauh ketakutan, tetapi si anak monyet masih memperhatikan Aya dari atas pohon dengan menahan rasa takutnya.
“Mengapa mereka sangat ketakutan ketika melihatku? Apa aku menakutkan?” ucap Aya berbicara dengan dirinya sediri.
“Jelas takut denganmu. Kamu kan anak buaya dari danau sebelah hutan ini kan?” ucap anak monyet dari atas pohon.
Aya kaget mendengar perkataan itu dari atas pohon. Aya mendongak ke atas dan melihat anak monyet yang berpegangan erat di ranting pohon.
“Kenapa takut denganku?” tanya Aya bingung.
“Seminggu yang lalu, ada kakak dari anak rusa yang dimangsa oleh si buaya besar ketika sedang minum di danau itu. Makanya, kami tidak diperbolehkan bermain atau minun di danau itu,” jawab anak monyet.
“Itu tidak mungkin terjadi,” ucap Aya tidak percaya.
“Jika kamu tidak percaya, coba pikirkan daging yang kamu makan! Pasti daging yang kamu makan adalah daging yang ada di antara kami,” ucap anak monyet.
Si anak monyet pergi melompat-lompat dari satu pohon ke pohon yang lain meninggalkan Aya sendirian. Aya terkejut mendengar perkataan itu.
“Oh, aku ingat sekarang. Kenapa aku selalu merasa sedih ketika makan daging. Jadi ini penyebabnya,” ucap Aya pada dirinya sendiri.
Dalam perasaan sedih, Aya pulang ke danau.
“Mulai hari ini, aku tidak akan makan daging lagi,” ucap Aya berjanji pada dirinya sendiri.
Sedangkan di pinggiran danau, ayah dan ibu buaya sedang bersembunyi menunggu mangsa datang.
“Bu, ini sudah siang, tapi tidak ada satu pun mangsa datang. Rusa tak datang lagi, atau anak sapi. Apa kita makan ikan lagi siang ini,” ucap ayah buaya.
“Sudah jangan berisik! Sebentar lagi pasti ada yang datang,” jawab ibu buaya.
Mereka berdua masih bersembunyi di dalam danau menunggu mangsa datang.
“Yah, Bu, hari ini, aku tidak mau lagi makan daging. Pokoknya aku tidak mau makan daging,” teriak Aya.
Ayah dan ibu buaya yang masih bersembunyi di dalam danau, dan kaget mendengar perkataan anaknya.
“Lalu, apa yang kita makan, Aya? Kita hanya bisa makan daging,” jawab ayah buaya.
Ibu dan ayah buaya keluar dari persembunyian mendekati Aya.
“Pokoknya aku tidak mau makan daging,” ucap Aya bersikukuh.
Ayah dan ibu buaya merayu Aya agar mau makan daging lagi. Aya tetap dengan pendiriannya tidak mau makan daging. Aya bahkan sepanjang hari menangis dan merengek-rengek agar tidak diberikan makanan daging.
“Yah, apa yang harus kita lakukan? Aya terus menangis dan merengek-rengek. Jika kita biarkan, Aya bisa kelaparan,” ucap ibu buaya.
“Bu, kalau begitu kita cari buah saja di sekitar hutan ini,” jawab ayah buaya.
Ayah dan ibu buaya pergi ke hutan mencari buah. Mereka berdua mendapatkan buah mangga, pisang, dan apel.
“Aya, berhenti merengek! Ini makan buah mangga, pisang, dan apel,” ucap ayah buaya memberikan semua buah-buahan di dapat dari hutan.
“Horeee, aku tidak makan daging lagi, tapi makan buah.” Aya senang mendapatkan buah-buahan.
Ayah dan ibu buaya bengong melihat perubahan Aya yang tidak mau lagi makan daging.
“Yah, Bu! Ayah dan ibu harus ikut makan buah ini! Ayah dan ibu juga tidak boleh lagi makan daging,” pinta Aya.
Ayah dan ibu buaya semakin kaget dengan permintaan anaknya. Tetapi, mereka berdua mengabulkan permintaan Aya anaknya.
“Ah, aku sudah kenyang makan buah ini. Nanti pasti aku bisa berteman dengan mereka yang ada di hutan itu. Mereka pasti tidak takut lagi denganku karena aku tidak lagi makan daging,” pikir Aya kumudian tertidur karena kekenyangan.
Hari-hari berikutnya, ayah dan ibu buaya disibukkan mengumpulkan buah-buahan di hutan. Buah-buahan itu menjadi makanan sehari-hari mereka. [T]