DALAM KEADAAN KOTA DENPASAR yang ingar-bingar, malam itu, Sabtu 8 April 2023, saya dan kawan-kawan mengadakan sebuah pemutaran film pendek di Mash Denpasar. Ada tiga film pendek yang dihadirkan dalam program Layar Mulatari oleh Mulawali Institute yang bekerja sama dengan Mash Denpasar dan Tatkala.co.
Film pendek yang diputar adalah “Pinget” karya koreografer Jacko Kaneko dan sutradara Putu Sayoga, “Sikut Awak” karya koreografer Krisna Satya dan penata gambar Prema Ananda, dan “Harga Mahal yang Dibayar Murah” karya sutradara sekaligus koreografer Razan Wirdjosanjojo dan performer Murah Pranoto. Ketiga film ini diikat dalam satu bingkai kuratorial yang bertajuk Arsitektur Tubuh.
Apa yang ingin ditawarkan oleh film-film ini? Mengapa tajuk “Arsitektur Tubuh” dipilih untuk menghubungkan ketiga film pendek ini?
Dalam pengantar program yang tercantum dalam booklet, arsitektur tubuh merujuk pada hubungan dunia dalam (tubuh) dengan dunia luar (tata ruang fisik-sosial). Pada titik ini, kita bisa membayangkan framing arsitektur tubuh ini ditujukan untuk melihat hubungan tubuh dengan ruang/bangunan.
Hubungan ini tidak hanya mengacu pada satu arah, semisal tubuh yang membentuk ruang atau ruang yang membentuk tubuh. Namun ada pula upaya-upaya tubuh untuk beradaptasi dengan ruang, tubuh yang merespon ruang, pengalaman tubuh yang membentuk ruang, dan masih banyak intrik lainnya yang bisa ditarik dari hubungan ruang-tubuh.
***
Film “Pinget” memberikan contoh gamblang mengenai kerapuhan industri pariwisata di Bali. Pada Maret 2020, Pandemi Covid-19 menyerang Indonesia yang mengakibatkan lumpuhnya pariwisata. Hotel-hotel sepi, kafe-kafe tutup, para pekerja dirumahkan, bahkan sampai diberhentikan. Hal semacam ini yang coba ditangkap oleh Putu Sayoga dan Jacko Kaneko dalam filmnya.
Pada satu adegan Jacko yang bergerak pada tangga sebuah bangunan yang dindingnya dipenuhi dengan graffiti. Pada pegangan tangga terdapat hiasan-hiasan yang biasanya hadir saat terjadinya natal atau tahun baru. Hiasan berwarna kuning itu dipasang melingkar melalui tralis pegangan yang berwarna emas. Kontras dengan dinding yang berwarna biru dengan graffiti dan sebuah patung beruang besar yang berdiri tepat di depan pintu toko.
Seolah ia tengah menjaga toko itu dari pengunjung atau menjaga agar virus tidak masuk ke dalam toko. Terus berpindah ke sebuah portokoan yang saling berhadapan. Toko-toko yang biasanya dilalui pengunjung kini meninggalkan jejak berupa papan nama dan gambar pada temboknya. Kemudian berpindah pada pantai, banyak terdapat terpal yang sedang membungkus sesuatu.
Entah apa yang berada di dalam terpal tersebut, mungkin saja pelampung sewaan, dagangan, atau barang-barang lainnya yang biasa dijajakan di pinggir pantai. Adapula payung-payung yang menutup dan meja kayu kelapa yang sedikit rusak.
Pemandangan seperti ini hampir bisa kita temui pada kawasan pariwisata Kuta, Seminyak, Ubud, dan lainnya pada saat awal atau pertengahan pandemi Covid-19. Dengan gerak koreografi yang sederhana dan tidak begitu rumit, Jacko memberikan peluang untuk penonton memperhatikan dan melihat bagaimana rapuhnya industri pariwisata yang menopang kebutuhan masyarakat banyak di Bali.
Walau pada beberapa situs tidak memperlihatkan bahwa tempat itu berada di Bali, seperti kata Cika (Fransiska Prihadi) dalam diskusi, namun saya merasa pemilihan situs yang terlihat seperti tidak memiliki identitas-tempat (Bali) menjadi pilihan yang tepat, untuk merepresentasikan bahwa kejadian ini tidak hanya terjadi di Bali. Bahwa pandemi tidak hanya berdampak bagi industri pariwisata.
Dalam satu adegan film “Pinget”, Jacko berusaha untuk menyeimbangkan badannya berdiri di atas puing-puing bangunan, kemudian melangkah di udara, dan juga berjalan pada papan kayu yang tipis serta kecil. Seperti ingin menunjukkan bahwa masyarakat yang terkena dampak pandemi masih mencoba bertahan dan berjuang melewati masa sulit ini.
Meski harus menyeimbangkan pengeluaran-pemasukan, masyarakat mencoba beberapa rencana alternatif yang belum tentu menguntungkan atau mungkin membuahkan hasil. Namun semua itu harus dilakukan, karena kita belum tahu kapan ini akan berakhir. Maka Pinget menjadi penting sebagai pengingat bahwa sebenarnya kita sedang berjalan di jembatan (pariwisata) yang terlihat membawa kemakmuran dan penghidupan, tetapi di satu sisi ia juga sangat rapuh dan mudah hancur. Maka Pinget, ada sebagai pengingat, ada sebagai penanda.
***
Pada film “Sikut Awak” yang menawarkan sebuah koreografi dengan pendekatan Sikut Natah dan Sikut Gegulak dalam Asta Kosala Kosali. Asta Kosala Kosali merupakan sumber atau pedoman dalam membuat rumah tradisional Bali. Sikut Natah digunakan untuk mengukur jarak antarbangunan dalam satu tapak (lahan).
Sikut Gegulak digunakan dalam mengukur proporsi sebuah bangunan. Biasanya metode pengukurannya menggunakan anatomi tubuh kepala keluarga dari rumah yang akan dibangun. Dengan menggunakan metode ini setiap rumah akan memiliki proporsi yang berbeda, tergantung dari bagaimana kondisi fisik yang dijadikan tolak ukur. Jika ia berbadan besar maka rumahnya akan ikut besar, bila berbadan kecil maka hasilnya juga akan mengikuti. Konsep ini membuat manusia sebagai pusat dari rumah yang akan dibangun, menjadikannya sangat antroposentris.
Metode pengukuran itu yang coba diadaptasi oleh Krisna ke dalam koreografi yang coba ditawarkan dalam filmnya. Seperti penggunaan ukuran Agemel (genggaman), Akacing (jari kelingking), Acengkang (jarak ujung jari telunjuk ke ujung jempol), Atapak Batis (panjang telapak kaki), Atapak Batis Ngandang (lebar telapak kaki), dan banyak lainnya.
Bentuk-bentuk pengukuran ini sangat terlihat jelas ketika dalam satu adegan yang mengarah ke lantai dan empat pasang kaki yang melakukan geraknya masing-masing. Ada yang bergerak selayaknya mengukur Sikut Natah, ada yang terdiam, ada juga tangannya yang bergerak mengukur.
Jika biasanya pengukuran dilakukan sebelum membangun, dalam film ini Krisna justru melakukan hal yang sebaliknya. Ia seperti mengajak kita untuk mencoba mengenali ruang-ruang yang menjadi tempat hidup kita. Mencoba melihat setiap detailnya, merasakan tekstur materialnya, dan mencoba mengingatkan akan adanya sebuah cara pengukuran lain selain menggunakan alat ukur meteran (centimeter/meter) yang kita kenal saat ini.
Ada beberapa adegan yang membuat saya sedikit bertanya-tanya, semisal pada adegan di kontainer. Adegan ini cukup kontras bila dilihat dari pemilihan site dan gradasi warnanya. Kebanyakan adegan berada pada site rumah tradisional Bali (bale), alam, dan panggung pertunjukan yang cenderung menggunakan gradasi warna hangat kekuningan. Namun menuju akhir, ada beberapa adegan yang menunjukkan kontainer dengan gradasi warna dingin kebiruan.
Krisna seperti ingin menunjukkan adanya perbandingan yang menunjukkan ruang yang diukur dengan tubuh dan ruang yang diukur dengan alat ukur terstandardisasi. Ruang yang diukur dengan tubuh penghuninya memiliki kedekatan personal sedangkan ruang satunya terasa sedikit asing. Mungkin itu yang bisa saya tangkap dari hadirnya dua citra ruang yang berbeda tersebut.
Namun tidak hanya hubungan manusia dengan ruang yang ditampilkan dalam film, ada pula hubungan manusia dengan manusia, dan juga manusia dengan alam. Seperti pada adegan ketika salah satu penari berdiam diri di antara dua pohon besar dan ketika dua penari saling mengukur tubuh mereka satu sama lain.
Pengukuran membuat kita bisa mendekatkan dan merasakan ruang yang kita ukur, begitu juga pada adegan mengukur tubuh manusia dan mengukur alam. Krisna seperti mengajak kita mengenali ruang, dalam konteks ini bangunan dan juga kondisi fisik-sosialnya.
Yang artinya, kita diajak mengenali sesama manusia dan makhluk hidup atau pun benda mati lainnya sehingga kita bisa lebih peka terhadap sekitar dan sadar akan apa saja yang terjadi. Pada titik itu, mungkin kita bisa membentuk ruang dengan lebih bijak dan bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, kita memang membentuk ruang tetapi jangan lupa, ruang juga membentuk kita.
***
Film “Harga Mahal yang Dibayar Murah” mengangkat biografi Murah Pranoto seorang penari yang berasal dari Kebumen. Dalam film ini, Razan mencoba mengangkat kisah Murah yang mengidap dwarfisme dan aktivitasnya sehari-hari. Tawaran pendekatan dokumenter menjadi sebuah pengalaman berbeda dari rangkaian film-film pada program pemutaran ini.
Jika pada dua film sebelumnya saya merasa untuk diajak merenung ketika menonton, dalam film ini saya merasa seperti mendengarkan dan melihat seseorang berjuang hidup dalam ruang fisik-sosialnya. Apalagi saat Murah mencoba mengakali keterbatasannya dan beradaptasi dengan ruang hidupnya.
Adegan yang menggambarkan secara jelas skala tubuh Murah dengan ruang di sekitarnya adalah ketika Murah tengah latihan di sebuah ruang dengan menggunakan tongkat yang mungkin ukurannya dua kali tinggi tubuhnya. Ruang itu tampak seperti ruang kumpul yang di kelilingi oleh kamar kos.
Beberapa temannya tengah asyik mengerjakan kegiatan mereka masing-masing, Murah masih sibuk dengan latihan menarinya. Kemudian adegan berlanjut menuju area jemur pakaian. Hanya ada pakaian basah dengan warna merah dan kuning yang menggantung. Perlahan-lahan sebuah pakaian dengan gantungan baju muncul dari bawah. Pakaian itu diangkat menggunakan sebuah tongkat yang digunakan oleh Murah sebelumnya. Murah tetap tidak terlihat di layar. Pada adegan ini kita dihadapkan dengan Murah yang sudah mengakali keterbatasannya dan beradaptasi dengan lingkungan kosan.
Adegan kemudian berpindah ke sebuah area tempat sebuah pementasan Reog. Murah merupakan salah satu penarinya. Di antara lainnya ia memiliki ukuran tubuh yang paling berbeda. Meski demikian Murah tetap melakukan tariannya dengan penuh percaya diri. Setelah pertunjukan Reog adegan kemudian berpindah menjadi sebuah kejar-kejaran.
Murah dikejar oleh sesosok hitam, sesosok yang mengejarnya dari satu gang ke gang lainnya. Makhluk itu tetap mengejarnya. Hingga pada satu titik ia bisa lolos dari makhluk tersebut dengan menyeberangi sungai melalui pipa kecil. Pipa yang hanya bisa dilalui oleh tubuhnya. Dalam adegan itu, saya berpikir keterbatasannyalah yang menyelamatkan hidupnya dari sosok hitam tersebut.
Adegan kemudian berpindah menjadi sudut pandang orang pertama, mata kamera berubah menjadi mata Murah. Dalam adegan ini terdapat sebuah raja dan ratu lengkap dengan perhiasannya sedang melawan Murah. Pertarungan ini terjadi di latar tempat puing-puing bekas rumah. Adegan bertarung terjadi antara ketiga karakter, pada adegan ini kita tetap menjadi Murah. Adegan berupa saling tusuk, kemudian saling kejar-mengejar.
Sesekali adegan berubah ke sebuah perkelahian pada sebuah lubang berlumpur. Di mana Murah juga sedang bertempur melawan orang lain pada adegan itu. Pergantian antara pertarungan pada puing-puing rumah dengan lubang berlumpur terus berganti. Hingga pada satu titik ketika Raja mengangkat Murah ke atas lalu membantingnya. Ketika membanting, adegan langsung berganti ke pertarungan di lumpur dan Murah sudah jatuh di genangan lumpur lubang. Pria yang menjadi lawannya tersebut naik, kemudian mengubur Murah secara perlahan.
Dalam film “Harga Mahal yang Dibayar Murah” ini terdapat dua pembagian cerita yang sangat jelas. Babak satu adalah dokumenter kehidupan seorang penari bernama Murah Pranoto. Dan babak kedua bisa disebut mimpi-mimpi buruk yang dialami oleh Murah. Jika babak satu kita melihat bagaimana Murah sudah mampu beradaptasi dan selesai dengan segala persoalan tubuhnya, pada babak kedua mimpi buruk itu tetap ada menghantui Murah.
Dalam film ini kita ditawarkan bagaimana Murah berusaha bertahan dan berkembang. Kita juga diperlihatkan perbedaan skala pada tubuh dengan ruang. Juga dengan penggunaan perspektif orang pertama membuat kita lebih mudah berempati kepada tokoh utama. Film ini tidak hanya bercerita mengenai hubungan manusia dengan ruang fisik-sosialnya, lebih dari itu ia memberikan sebuah perspektif berbeda meski ruang terbentuk tidak sesuai dengan keadaan fisik yang kita miliki. Selama kita hidup dan bernaung di ruang tersebut, selama itu pula kita akan terus berjuang dan beradaptasi dengan cara kita masing-masing.
Dalam pemutaran film ini kita diberikan beragam perspektif bagaimana hubungan ruang dalam (tubuh) dengan ruang luar (tata ruang fisik-sosial). Seperti bagaimana kita merespon dan merasakan ruang-ruang di sekitar selayaknya dalam film “Pinget”. Kemudian bagaimana kita mengenali dan merasakan ruang di sekitar seperti pada film “Sikut Awak”. Juga bagaimana kita yang bertahan serta berkembang pada sebuah ruang selayaknya film “Harga Malah yang Dibayar Murah”.
Ketiga film juga memberikan garis tebal mengenai hubungan tubuh dalam dengan tubuh luar yang tidak bisa lepas dari skala dan citra. Skala yang memberikan perbandingan ukuran antara kita dengan ruang dan benda lainnya. Serta citra yang memberikan kesan dan impresi kepada kita yang bernaung di dalamnya. [T]