3 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Perempuan Dalam Bejana | Cerpen Ni Wayan Wijayanti

Ni Wayan WijayantibyNi Wayan Wijayanti
April 8, 2023
inCerpen
Perempuan Dalam Bejana | Cerpen Ni Wayan Wijayanti

Ilustrasi tatkala.co

TERDENGAR TAWA ANAK-ANAK yang bermain dengan riang, pada sejengkal tanah kosong di depan rumah ini. Anak laki-laki sbermain layangan. Suara mereka riuh bergembira.

Anak-anak perempuan bermain di bawah pohon singapur yang berbuah merah lebat. Mereka sedang bermain masak-masakan dengan bahan dedaunan dan buah-buah yang gugur.

Beberapa anak memandang ke arah rumah ini. Rumah yang seolah kosong, seperti tidak berpenghuni. Mereka tidak menyadari ada aku, berdiam dalam rumah.

Cat tembok rumah telah pudar berlumut, kusam. Seolah menyerukan rasa kesepian. Tapi tak mengapa, aku memang telah terbiasa.

Sudah sepuluh tahun aku menjalani hidup berpindah-pindah. Bekerja serabutan. Tak ubahnya wanita jalang. Bernyanyi kedinginan.

***

Sepuluh tahun lalu, aku hanyalah gadis desa biasa, yang tak bercita-cita apapun dalam hidupnya. Bagaimana bisa memiliki cita-cita tinggi, sementara aku hanya terlahir dari delapan bersaudara di sebuah keluarga petani kecil. Keseharian kami ialah menggarap sepetak sawah peninggalan leluhur, turun temurun.

Tanah leluhur yang terletak di desa terpencil, sehingga membuat akses pendidikan pada waktu itu masih sangat sulit kami jangkau. Meski pemerintah giat menyuarakan pemerataan pendidikan, namun hal itu tidak berarti banyak bagi kami.

Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat lanjut, kami harus menempuh jarak puluhan kilometer ke pusat kota. Tentu saja hal itu bukan sesuatu yang mudah bagi kaum seperti kami.

“Terimalah lamaran Pak Banyu menjadi istri kesembilannya!” Suara bapak masih terdengar jelas di kepala. Kadang suara-suara itu suka sekali muncul tiba-tiba dalam benak. Rasa sakit oleh kenangan itu pun tidak pernah hilang barang setitik, meski telah berlalu bertahun-tahun.

“Kapan lagi ada laki-laki kaya yang mau melamarmu? Dengan menikahinya, kau angkat derajat keluarga ini.”Suara itu kembali merongrong. Tubuhku bergetar oleh rasa benci yang entah bagaimana bisa aku ungkap, dan entah kepada siapa.

“Tapi pak, usia Pak Banyu sudah 50 tahun. Lebih pantas dia kupanggil paman,”teriak hatiku. Namun nyatanya, aku hanya mengangguk tanpa suara.

Suara? Kami perempuan bahkan tak memiliki hak melakukannya. Mulut kami dibungkam oleh patriarki, dan saat itu aku masih berusia 16 tahun. Usia di mana aku belum mengerti banyak hal. Usia di mana seharusnya diriku bisa menghirup rasa kebebasan sebebas-bebasnya.

Meski begitu, toh pernikahan kami akhirnya berjalan, dalam pesta meriah yang bagiku amat sangat lama dan membosankan.

Menjelang sore, akhirnya acara selesai. Aku menghela napas lega. Gelungan hiasan kepala yang berat ini, akhirnya bisa dilepas. Aku bersuka-cita seolah merayakan berakhirnya segala penderitaan. Berakhir, hanya sementara.

Bapak memandangku dengan mata berbinar-binar. Seolah dia telah berhasil menggenggam bongkahan emas. Mahar tiga ekor sapi itu mungkin dirasa lebih dari cukup untuk menukar aku. Setidaknya dia bisa menjual sapi itu dan mendapatkan uang banyak kelak dikemudian hari.

Melihat sorot mata bapak, aku baru paham makna ungkapan yang mengatakan banyak anak banyak rejeki. Kalimat yang sering dilontarkan orang-orang untuk mengajak pasangan pengantin baru agar memiliki banyak anak.

Toh, memang benar kenyataanya, yang terjadi pada hidup orang tuaku sendiri. Bahwa makin banyak anak (perempuan) yang kau punya, makin banyak mahar yang kau terima.

Bagi mereka, menikah adalah solusi dari kemiskinan. Solusi atas ketidakmampuan orang tua dalam merawat dan membesarkan anak-anaknya. Menganggap kami sebagai barang yang harus cepat-cepat ditukar dengan beberapa ekor sapi, sebagai imbal hasil atas jasa telah melahirkan kami.

Orang tua ingin cepat-cepat menikahkan anak perempuan mereka, berharap agar anak-anak perempuan itu tidak perlu lagi mereka biayai. Orang tua itu berpikir bahwa dengan menikahkan anak perempuan, tanggungan nasi dan lauk-pauk dapur akan berkurang.

Jangan salahkan kami berdiam. Kami hanya pengikut, sebagaimana mahar beberapa ekor sapi yang telah dicocok hidungnya, tidak berdaya.

Bukankah selepas acara pernikahan ini, yang perlu aku lakukan hanyalah mengangkang? Untuk kemudian beranak pinak menghasilkan keturunan jantan dan betina seperti halnya hewan ternak.

Keturunan, yang jika anak itu terlahir laki-laki, akan kami peras keringatnya untuk dijadikan tabungan hari tua. Sedangkan jika dia terlahir perempuan, akan dinikahkan sedini mungkin agar bisa ditukar dengan mahar hadiah barang secuil.

Meski rupa Pak Banyu – suamiku itu amat buruk, tapi siapa yang peduli? Meski setelah ini seumur hidup aku akan merasa hina atas diriku sendiri, karena telah disetubuhinya secara sah, tapi siapa yang peduli?

Di mataku, pria tua itu tak ubah seorang penjahat yang mencari gadis-gadis muda perawan desa untuk dinikahi. Kemudian nantinya akan dibuang jika sudah busuk lubangnya, tak berguna lagi. Selanjutnya mereka akan diganti dengan tunas baru yang bahkan belum sepenuhnya ranum.

Pada malam pertama saat tiba waktu harus melayaninya, aku berusaha menghibur diri sendiri dengan membayangkan hal-hal indah. Tapi hal indah yang aku bayangkan malah membuatku menangis.

Seringai pria itu tajam menatapku. Sebagaimana iblis kelaparan yang hendak memangsa hidup-hidup buruannya. Malam itu tengah mendung seperti saat ini. Petir menyambar beberapa kali, pertanda gerimis datang. Membuat aliran listrik padam dan semua gelap.

Aku ingat, pria tua itu tertawa terkekeh-kekeh.“Makin gelap, makin menantang.”Begitu ucapnya di sela-sela tawa. Siluet tubuh dengan perutnya yang buncit itu, samar-samar tampak membuka pakaiannya dengan ganas. Aku pun telah bersiap menerima pelukannya. Bersiap dengan sehunus pisau belati dalam genggaman tangan.

Saat tubuh besar itu hendak menindihku, bagai ada yang merasuki sukma, tiba-tiba tanganku menghujaminya dengan belati. Sembarang hujam saja, kulakukan berkali-kali pada tubuhnya yang berlemak. Dia memang iblis, tapi kini aku telah berubah menjadi setan.

Terdengar raungan Pak Banyu mengerang kesakitan. Cairan lengket darahnya membanjiri tangan kananku.“Keparat!” teriak Pak Banyu memaki. Sebelum akhirnya ia tumbang tanpa suara.

Saat lampu menyala kembali, tampak mayat lelaki tua itu tersungkur di bawah kakiku. Aku sangat puas, mendapati kenyataan bahwa dia tersungkur di kaki seorang perempuan. Pisau itu aku buang jauh, dan bergegas lari sekencang-kencangnya. Berpasrah ke mana takdir yang mengalun membawaku pada nasib.

Melibas hutan, menyeberang sungai. Ternyata kaki-kaki ini berlari menuju pusat kota nun jauh di balik bukit. Aku harap kota bisa mengubur masa lalu. Aku harap diriku ini pergi menghilang dan kemudian dilupakan seolah tak pernah ada.

***

Langit sore yang mendung menjadi semakin gelap. Gerimis merintik. Anak-anak yang sedari tadi asyik bermain di sepetak tanah kosong di depan rumah ini, sudah tak tampak lagi batang hidungnya. Mungkin mereka takut gerimis menjadi hujan lebat, sebagaimana aku yang takut akan badai tentang masa lalu.

Sebuah mobil berhenti di depan pagar yang berkarat. Tiba-tiba pintu didobrak. Tampak beberapa laki-laki berseragam coklat menodongkan pistol bergerak mendekatiku. Aku tanpa perlawanan dengan patuh mengikuti mereka.

Tak ada yang bisa aku lakukan selain hanya diam, karena kini aku memang seorang (buronan) perempuan. Bagaimana bisa perempuan lemah sepertiku mampu melawan laki-laki bersenjata?

Namun bibirku menyunggingkan senyum bangga. Sepuluh tahun sudah mereka baru menemukanku. Betapa lihai aku sembunyi. Bersandiwara menjadi orang gila. Menggelandang di luar sana. Sendirian, lapar.

Andai pun mereka mengurungku di balik jeruji besi, toh tiada yang bisa menghidupkan kembali laki-laki tua itu lagi. Laki-laki itu telah mati, sehingga tak perlu lagi dia mencari gadis-gadis muda untuk dinikahi. Laki-laki itu telah mati, bersama suara kami para perempuan yang bisu dibungkam.

“Tangkap wanita gila ini!” Sesosok letnan memerintah anak buahnya memborgolku. Namun aku tetap tak bisa berhenti tertawa. “Hahahaa…!” Tawaku lepas, menggema bersama gemuruh hujan yang coba kutepis. Borgol itu terasa dingin, namun rasa itu sudah tidak asing bagiku. Aku telah terbiasa. [T]

Bali, 3 Maret 2023

BACA cerpen-cerpen lainnya

Sisir Itu | Cerpen IGA Emma Suryani
Betapa Pekat Asap di Puncak Semeru | Cerpen Arnata Pakangraras
Pohon Waru Teluk Selat Bali | Cerpen Satria Aditya
Tags: Cerpen
Previous Post

“Foot Note”, Merayakan Kertas, Membicarakan Wayan Teher, Maestro Lukis dari Tabanan

Next Post

Pandan Berduri dan Ketajaman Pikiran

Ni Wayan Wijayanti

Ni Wayan Wijayanti

lahir di kota seni Gianyar-Bali pada 30 April. Menulis cerpen adalah hobinya sejak masih anak-anak. Cerpen karya-karyanya telah beberapa kali dimuat di berbagai media seperti Kompas, Ceritanet, Indonesiana.Id, Cerano, dan lain-lain. Saat ini aktif sebagai seorang SEO Content Writer untuk beberapa media dan sales marketing di salah satu penginapan wilayah Ubud.

Next Post
Penyesalan Kelelawar

Pandan Berduri dan Ketajaman Pikiran

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Pindang Ayam Gunung: Aroma Rumah dari Pangandaran yang Menguar di Ubud Food Festival 2025

UBUD Food Festival (UFF) 2025 kala itu tengah diselimuti mendung tipis saat aroma rempah perlahan menguar dari panggung Teater Kuliner,...

by Dede Putra Wiguna
June 2, 2025
GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori
Panggung

GEMO FEST #5 : Mahasiswa Wujudkan Aksi, Bukan Sekadar Teori

MALAM Itu, ombak kecil bergulir pelan, mengusap kaki Pantai Lovina dengan ritme yang tenang, seolah menyambut satu per satu langkah...

by Komang Puja Savitri
June 2, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co