BELUM GENAP TIGA BULAN dikenakan, jas kuning milik Ridwan Kamil menuai polemik. Jas kuning tersebut digunakan Gubernur Jawa Barat yang sekarang kader partai Golkar pada saat bertemu siswa SMPN 3 Tasikmalaya secara daring.
Video tersebut lantas mengundang pelbagai komentar dari warganet. Tidak hanya jas, latar tulisan pun bernuansa kuning. Hal ini langsung disambut komentar ribuan warganet. Salah satunya adalah Muhammad Sabil Fadhilah, seorang guru tidak tetap di SMK Telkom Sekar Kemuning, Kota Cirebon, Jawa Barat.
Sabil yang belakangan diketahui sebagai pendukung Ridwan Kamil pada saat Pilkada Jabar tahun 2018 lalu menulis komentar “Dalam zoom ini, Maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil?”
Komentar tersebut lantas menjadi sorotan, hal ini dikarenakan Sabil menggunakan kata “maneh” yang dianggap kurang pantas ditujukan kepada seorang gubernur, ditambah kata itu keluar dari seorang guru. Tentu saya tidak akan mengomentari lebih lanjut soal bahasa yang digunakan, mengingat saya kurang memahami tingkatan bahasa Sunda. Jadi saya akan mengomentari hal lain yang masih berkelindan dengan persoalan ini.
Sabil Adalah Kita
Saya pikir komentar yang disampaikan Sabil terhadap unggahan Ridwan Kamil adalah hal yang wajar. Hal serupa juga terlintas di kepala saya saat melihat unggahan tersebut. Setelah saya amati kembali akun Instagramnya, memang sebelumnya Ridwan Kamil beberapa kali sudah mengunggah video dengan nuansa kuning. Dua diantaranya memang secara terang membahas partai. Sisanya adalah aktivitas sebagai Gubernur Jawa Barat, seperti video call dengan pelajar asal Jawa Barat yang sedang belajar Turki dan ngobrol dengan siswa SMPN 3 Tasikmalaya.
Sebagai pemimpin, Ridwan Kamil harusnya tidak menitikberatkan pada pilihan kata yang digunakan Sabil. Substansi dari komentar tersebutlah yang harus jadi pokok pembahasan. Setidaknya itu yang saya bayangkan. Alih-alih menanggapinya dengan lebih bijak, Ridwan Kamil justru memilih untuk menyematkan komentar Sabil dan mengirim pesan ke tempat Sabil bekerja. Buat saya sendiri, menyematkan komentar warganet, yang di dunia nyata juga adalah warganya adalah hal yang tak patut dilakukan seorang pemimpin.
Dengan menyematkan komentar Sabil, Ridwan Kamil secara sadar memberi ruang warganet lain—yang berpihak padanya untuk menyerang akun dari Sabil. Dan benar, akun Sabil mendapat begitu banyak menerima hujatan, kemudian berdampak pada karirnya. Sabil pada akhirnya menerima surat pemberhentian kerja dari Yayasan Miftahul Ullum yang menaungi sekolah tempatnya mengajar.
Apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil tersebut saya kira adalah strategi agar keributan tidak terjadi secara vertikal, tetapi secara horisontal. Artinya biarkanlah yang menghakimi Sabil adalah sesama warganet, sedang dirinya cukup memantau saja. Hehe, ini hanya dugaan saya saja ya.
Politik Simbol di Tahun Politik
Simbol dan politik adalah dua entitas yang tidak dipisahkan satu dengan lainnya. Apalagi di Indonesia yang menganut sistem multipartai yang kemudian mendatangkan konsekuensi persaingan cukup ketat. Persaingan tersebut berdampak pada ideologi yang dibawa oleh masing-masing partai tidak jauh berbeda. Realitas ini menggiring partai politik untuk memformulasikan strategi agar mudah dikenal oleh publik, salah satunya melalui simbol.
Simbol merupakan tanda gambar, bentuk, warna, atau benda yang dapat mengantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan atau masa lalu. Makna atas simbol sendiri diperoleh dari kesepakatan bersama dalam memaknai sesuatu. Simbol sendiri digunakan untuk menyalurkan hasrat manusia karena enggan untuk menyampaikan pesan secara gamblang.
Oleh karena itu, pesan disampaikan melalui perwujudan yang berbeda namun memiliki makna serupa. Pada intinya penggunaan simbol adalah cara untuk menghaluskan penyampaian pesan guna mencapai tujuan tertentu.
Sejak resmi bergabung, sudah lima unggahan Ridwan Kamil di Instagram yang bernuansa kuning. Seperti yang saya katakan sebelumnya, hanya dua yang secara terang-terangan diunggah untuk menyosialisasikan partainya. Lalu sisanya bagaimana? Kalau bahasa anak mudanya, Ridwan Kamil sedang tepe-tepe alias tebar pesona dengan menggunakan pakaian bernuansa kuning, seperti jaket dan jas kuning.
Penggunaan jas atau jaket kuning secara tidak langsung adalah langkah untuk memperkenalkan partai Golkar—partai yang dikenal dengan warna kuning menyala. Langkah tersebut tentu dapat saya dan anda identifikasi sebagai langkah Ridwan Kamil dalam menyampaikan pesan. Pesan bahwa dirinya sudah bergabung dengan partai Golkar, dan mengajak warganet memilih partai Golkar pada saat Pemilu nanti. Dua pesan itu adalah hal yang pasti dan lazim disampaikan oleh para politisi, tak terkecuali Ridwan Kamil.
Sebagai tokoh publik dengan jumlah pengikut yang besar, Ridwan Kamil sudah memiliki awareness, likely, education, dan electability. Empat hal tersebut adalah langkah dalam membranding diri, dan saya kira Ridwan Kamil telah memiliki semuanya. Masyarakat sudah “ngeh” atas keberadaannya, hal tersebut dibuktikan dari segala aktivitasnya selalu menjadi bahan perbincangan.
Ia juga disukai oleh banyak orang, bukti sederhananya adalah ia banyak menerima komentar positif dari warganet. Ia sebagai tokoh publik telah melakukan pelbagai edukasi lewat sosial medianya. Dan terakhir, ia juga sudah memiliki tingkat keterpilihan dari masyarakat—bahkan masuk bursa Cawapres. Tentu modal yang dimiliki sangatlah besar.
Tapi berbeda cerita ketika ia berperan sebagai kader partai. Apa yang telah dimiliki seorang Ridwan Kamil hari ini adalah branding sebagai tokoh yang tidak terikat partai. Kini ia adalah kader partai yang harus ikut aturan main partai. Perlahan namun pasti, Ridwan Kamil mencoba memperkenalkan ke publik bahwa dirinya kini adalah bagian dari partai Golkar.
Penggunaan jas kuning adalah langkah awal memunculkan awareness publik terhadap dirinya yang kini adalah kader partai. Selanjutnya, bagaimana ia dengan identitas baru dapat disukai oleh publik dan dapat menuntaskan tahap likely?
Saya berasumsi bahwa langkah Ridwan Kamil ke tahap selanjutnya akan lebih sulit. Hal ini tidak lepas dari pemberhentian Sabil sebagai guru akibat komentarnya terhadap jas kuning Ridwan Kamil. Belum lagi kebiasaan Ridwan Kamil menyematkan komentar warganet.
Ada juga asumsi bahwa Ridwan Kamil sengaja melakukan ini agar dirinya terus diperbincangkan publik. Perbincangan publik tentang dirinya dan jas kuning yang intens tentu secara tidak langsung mempengaruhi alam bawah sadar publik, kemudian bisa saja mempengaruhi referensi publik dalam memilih nanti.
Apa kalian ada asumsi lain? [T]