PEMENTASAN DRAMA BALI MODERN dalam Lomba Drama Bali Modern serangkaian Bulan Bahasa Bali di Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu-Minggu, 18-19 Februari 2023, sungguh-sungguh sangat menyenangkan.
Pasalnya, ada banyak peserta yang bermain secara total. Ada pula yang bermain drama, tapi belum muncul dramanya. Itu mungkin disebabkan karena belum memiliki pemahaman baru dalam Drama Bali Modern.
Begitu kata Dr. A.A. Mas Ruscitadewi,M.Phil.H., salah satu juri dalam lomba itu ketika menanggapi penampilan para peserta lomba drama bali modern itu.
Lomba itu diikuti sebanyak 13 peserta setingkat SMA/SMK yang masing-masing tampil satu jam dimulai dari persiapan.
Selain Mas Ruscitadewi, ada dua juri lain dalam lomba itu, yakni Wayan Sumahardika dari Institut Mula Wali dan I Made Sidia, S.Sp. M.Sn., dosen seni pedalangan ISI Denpasar.
Menurut Mas Ruscitadewi, Bali sesungguhnya mempunyai arja, gambauh juga drama gonng. “Dalam drama itu ada dua dimensi, yaitu sastra dan pertunjukan. Nah, itu mungkin yang belum dipahami,” kata Mas Ruscitadewi.
Untuk dimensi sastra, kata Mas Ruscitadewi, ini yang semestinya tampak secara lebih dominan. Di sini sastra yang mestinya menjadi godokan pertama. Membawakan karya sastra, harus menentukan tema yang menarik dan unik untuk dibawakan. Disitu, ada tetuek atau pesan-pesan yang menarik.
“Ini kan tema tentang laut. Nah, banyak naskah yang bisa diangkat. Namun, kali ini peserta yang tampil bagus itu justru membawakan sastra yang sudah jadi. Maklum saja, mungkin jarang ada yang bisa menulis,” kata Mas Ruscitadewi.
Mas Ruscitadewi menambahkan, kelebihan dan kelemahan kita di Bali, sesungguhnya kita terlalu akrab dengan Ramayana dan Mahaberata, dan Panji untuk cerita Arja itu. Kita sudah disediakan, mata air yang sangat besar dan bagus di sastra itu.
Dalam drama tradisi, tema-tema itu sudah mendarah daging, hanya saja temanya yang mesti ditentukan. “Karena sudah diasah dan disediakan mata air yang besar itu, dan begitu masuk drama Bali modern gagap jadinya. Karena dalam drama Bali modern harus menciptakan atau bisa menyiasati dan bisa meminjam karya sastra yang sudah ada,” kata Mas Ruscitadewi.
Namun, peserta harus ingat, drama itu sebuah tema atau cerita yang digambarkan dengan akting. Drama itu rangkaian cerita melalui akting, bukan dengan narasi. Dalam akting itu, bisa digambarkan tema dan cerita melalui tubuh, mimik, suara, dan kostum.
Di sini, para peserta bisa saling belajar, dari penampilan yang lain. “Mungkin kedepan tak hanya mencari juara 1, 2, dan 3, tetapi ada yang terbaik dari segi bahasa, laku, kostum, tari, dan musik,” usul Mas Ruscitadewi.
Menjadi siutradara drama itu memang perlu kemampuan, karena drama itu multi. Sutradara harus mengerti sastra, juga karakter. Karena dalam sajian ini ada pemaian yang bermain sungguh-sungguh, ada yang berpura-pura, dan ada yang total bermain.
“Sayangnya, ada pemain yang melupakan teks sastra, sehingga banyak yang menggangap bermain drama itu mengangkat keseharian. Padahal hidup sehari-hari itu beda dengan dunia panggung. Bermain drama itu harus belajar,” katanya.
Mas Ruscitadewi mengumpamakan drama itu sebuah metanding karang (menu makanan) dalam upacara dan tradisi Bali. Di situ ada lawar putih, merah, sambel, serapah, jejerukan dan lainnya. Nah bagaimana menampilkan tetandingan itu dengan benar. Bukan tiba-tiba masuk ayam goreng ala Kentucky.
“Secara umum saya sangat kagum dengan pertunjukan drama Bali Modern di ajang Bulan Bahasa Bali ini. Lumayan sangat bagus secara artitisk, lalu digarap secara modern,” kata Mas Ruscitadewi.
Sementara itu, Wayan Sumahardika mengatakan, pementasan drama kali ini sangat bagus. Lomba-lomba seperti ini memang jarang dilakukan. Apalagi melalui lomba ini sebagai satu strategi dalam pengembangan Bahasa Bali, maka lomba ini memiliki potensi yang besar.
“Dalam kerja drama itu ada kerja pengkarakteran, kerja penulisan dan kerja pemanggungan. Semua itu bisa disisipi dengan penggunaan Bahasa Bali di kalangan anak didik dan siswa,” ucapnya.
Artinya lomda Drama Bali Modern ini cukup penting, sehingga perlu ditingkatkan. Kalau bisa, juaranya bukan 1, 2, dan 3, tetapi juga ada juara untuk naskah drama, jika itu wajib dituliskan, ada kategori artisitik terbaik, dan pemain terbaik.
“Namun, terpeting juga di dalam lomba ini kita bisa memilih kasus-kasus dimana peserta belum paham. Mana yang namanya drama, sendratari, dan pertunjukan untuk pembuka acara. Itu menjadi hal yang penting juga, karena dalam konteknya banyak yang melihat lomba ini,” kata lelaki yang bisa dipanggil dengan nama Suma ini.
Kata Suma, peserta masih belum punya kesadaran berbahasa Bali yang lugas. Kesadaran berbahasa yang memang tumbuh dari kontek keseharian mereka. Siswa-siswa yang biasanya berbahasa Indonesia akan kelihatan di panggung. Lalu, ketika memakai bahasa Bali, kesannya sangat baku.
“Padahal dalam kesehariannya ada logat Gianyar, Tabanan, tetapi ketika dipanggung tak kelihatan logatnya itu. Padahal logat itu menjadi penting untuk diperlihatkan di panggung,”kata Suma.
Suma lalu mekankan, justru yang menarik peserta dari desa. Kesadaran bahasa Bali yang lahir dari lingkungan dalam kenyataannya. Ketika penggunaan naskah, lebih banyak dibuat sendiri dengan tergesa-gesa, sehingga kelihatan tidak matang. Maka banyak peserta secara alur penokohan itu banyak kedodoran.
“Akan lebih bagus dalam lomba diadaptasi dicarikan naskah bahasa Bali, atau naskah sudagh ada. Dan yang terpenting proses ini menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya guru teater saja, tetapi bisa berkolaborasi dengan guru bahasa Bali,” ungkapnya.
I Made Sidia mengatakan, lomba ini sagat luar biasa untuk generasi muda di Bali. Selama ini, Bali terkenal dengan drama tradisi seperti drama gong, arja dan lainnya. Maka itu, drama modern ini harus dibangkitkan untuk mengalihkan perhatian anak-anak ke hal modern yang lebih positif. Drama Bali modern ini bisa menyampailan pesan-pesan, tentang kritik sosial, kesehatan lingkungan dan lainnya. Itu karena drama modern ini multi, sehingga bisa memasukan hal-hal propaganda yang positif,” ujarnya.
Melalui drama ini anak-anak muda bisa memasukan unek-unek dalam garapan seni. Apalagi, didukung dengan property, tari, rias, musik dan busana. Maka ini sangat tepat ada dalam ajang Bulan Bahasa Bali, untuk terus dilanjutkan.
“Bila, perlu ada pula dijenjang SD dan SMP. Karena anak-anak tak hanya bisa menari, bermusik dan sambil berdialog, tetapi ada pesan yang penting bisa disampaikan. Dengan begitu, tak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan bagi mereka. Kalau mereka sudah bergaul, paling tidak 70 persen sudah masuk hal-hal penting dalam dirinya,” kata Sidia.
Kalau mereka terlibat sudah otomatis ada catatat dalam memorinya, seperti membuat sampah sembarangan, mengotori air, buang sampah ke laut, menjaga laut dan peduli terhadap pada pertiwi dan sebagainya.
“Ini sangat bagus sekali, bahkan di ISI Denpasar lebih cepat bisa dibuka jurusan teater modern, karena teater modern ini sangat banyak sangat masuk hal-hal universial pesan-pesan berguna bagi pemerintah, masyarakat dan lingkungan,” ujar Sidia. [T][Pan]