Sigra, sigra…
Medal sira sang prabu Rewana
Tan ana waneh
Sigra, sigra…
PANGGUNG menyala. Tubuh Rahwana, dari belahan tabir, terlontar ke tengah arena. Hentakan tarian Rahwana begitu keras, pesona kesaktiannya menyihir mata penonton yang tatapannya menyembur ke tengah arena. Mata penonton pun menyala bagai lubang tungku.
“Aku tidak bisa! Aku tidak bisa memperkosanya! Iiihhh…!”
Suara Rahwana bagai bulan terperosok. Buuummm…!
Para raksasa, yang sejak tadi sibuk berdiskusi tentang rencana kerusuhan, tiba-tiba terkesiap seperti pantat tersengat semut. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin raja raksasa, arsitek dari segala strategi kejahatan itu tak bisa memperkosa seorang wanita?
Ah, alangkah mujurnya Dewi Sita!
Panggung menyala. Seluruh mata raksasa padam. Gamelan merintih. Hati penonton berdesir seakan merasakan bibit-bibit bencana merayap dalam aliran darah.
“Betapa tak tega, betapa tak tega aku memperkosa Sita. Lagipula kenapa harus kuperkosa, toh dia akan jadi istriku! Iiihhh…!”
“Istri? Ah, paduka teramat yakin. Padahal perang belum lagi dimulai!”
“Iiihhh…! Kalian ragu, ah?” Rahwana marah. “Apa para raksasa sangsi pada kesaktianku? Apa artinya Rama bagiku? Apa artinya Laksmana? Apa artinya Hanoman, apa artinya pasukan kera, pasukan kera-kera kere yang hanya memiliki suara-suara? Iiihhh…!”
Panggung menyala. Bagai lubang tungku, tatapan para penonton kembali menyala. Begitulah. Ketika Rama, Laksmana, Hanoman dan pasukan kera menyerbu ke tengah Kota Alengka, ternyata Rahwana tetap tenang. Ia begitu andal pada kesaktiannya.
“Bagaimana mungkin suara-suara bisa membunuhku! Iiihhh…!”
Panggung menyala. Dan penonton segera tahu, Rahwana terdesak oleh suara-suara kera, lantas Rama, dengan gaya seorang ksatria sejati, memasang anak panah di lengkung busurnya.
“Ihhh…! Rama, betapa hinanya kau! Jika aku mati, malam bakal terang. Lalu apa gunanya siang? Matahari bakal percuma, dan bulan berkabung. Dunia melongo, dan kau akan meratapi kekeliruanmu seumur hidup. Aku, aku sang raja raksasa. Para dewata menugasiku bikin onar, menculik, menggarong, korupsi, kolusi, merancang kerusuhan, merongrong kekayaan negara, memperkosa istri orang, memperkosa hak rakyat. Bagaimana kau bisa menyalahkan aku? Bahkan istrimu, istrimu yang mempesona itu, masih belum tega kuperkosa padahal sudah seharusnya kulakukan!”
Panggung menyala. Tatapan mata Rama, yang semula meruncing di ujung panah, tiba-tiba redup. Dan hati penonton berdesir seakan merasakan bibit-bibit bencana berkembang biak dalam dirinya.
Panggung menyala. Tubuh Rama ambruk di tengah arena. Panggung menyala. Tawa Rahwana lantas bergema. Bergema seperti lagu pesta berjuta-juta raksasa.
*
DUNIA menyala. Mata Wak Miki memang menyala, tapi sinarnya buram seperti lampu teplok. Maklum, umurnya 60 tahun. Berarti telah begitu sering ia memperalat matanya untuk mengupas rahasia-rahasia perkembangan alam.
Apalagi pagi itu. Lihatlah. Dalam pusaran hawa segar, tubuh Wak Miki ternyata menggeliat seperti sinar matahari senja. Gesekan badannya lamban, seakan tak rela. Sementara tangan bututnya tampak merayap berkali-kali di keningnya. Gelisah.
“Kenapa Rahwana kau biarkan hidup?”
Pertanyaan itu seakan mengadilinya. Sebagai kelian sekeha sekaligus pemeran tokoh Rahwana dalam gambuh yang dipentaskannya tadi malam, atau pada malam-malam sebelumnya, ia sesungguhnya berhak acuh tak acuh. Atau, jika mau, ia bisa menjawab dengan ketus, “Aku yang berkuasa dalam kelompok kesenian ini, aku yang berkuasa mengubah jalan cerita, lantas apa maumu?”
Tapi Wak Miki tak bisa. Sebab sebelum pertanyaan itu meluncur dari mulut penduduk Desa Galuh, tempat di mana Wak Wiki lahir dan tumbuh, sekaligus tempat kesenian gambuh itu sekarang, ia sesungguhnya telah lama mengadili dirinya sendiri, kenapa Rahwana dibiarkan hidup?
“Kenapa Rahwana kau biarkan hidup?”
Pertanyaan itu kian melimpah. Tadi, pagi-pagi sekali ia didatangi kelian desa adat. Datang dengan mata nyalang, kelian itu cuma bertanya kenapa Rahwana, dalam setiap pementasan gambuh selalu dibiarkan hidup.
“Filsafat wayang itu luhur, Wak! Jangan main-main! Orang-orang di desa kita, kau tahu, penghayatan agamanya sangat kuat. Mereka telah nyaman, mereka khusuk, jangan kau kacaukan!”
Besar dan beratnya suara kelian desa adat memaksa kuping Wak Miki untuk mengembang, sehingga lelaki tua itu berkali-kali menggeleng seakan mau melontarkan daun telinganya, yang beratnya terasa seperti anting-anting batu karang, ke atas bumi. Ya, mau berbuat apa lagi? Kalimat yang lugas untuk menyanggah, atau cara lain untuk menyatakan setuju, tidak ia temukan di balik otaknya yang tercilik sekalipun. Apalagi, jika berterus terang, ia sesungguhnya juga tak bisa mengerti tentang apa yang telah ia kerjakan di dunia seni tradisional yang, oleh penduduk desa, telah dianggap bagai dewa itu. Maka, ketika orang yang ia hormati itu nyerocos, hati Wak Miki seakan makecos, meloncat-loncat entah ke mana.
Sampai kelian desa adat itu permisi, dapat diduga, Wak Miki cuma gasar-geser pantat. Ambiennya mendadak kumat. Namun saat tubuh tetua adat itu menghilang di tikungan jalan, ia merasa menyesal juga, kenapa dari mulutnya tak tumbuh sepotong kalimat pun. Apakah ia memang pantas tidak membela diri? Ia cemas, jangan-jangan tingkahnya membikin Pak Kelian marah. Padahal kelian desa adat yang sepatunya berkilat-kilat bagai pejabat birokrat itu mengayun langkah dengan rasa lega. Demi menyaksikan geming Wak Miki, beliau berpikir, bagaimana mungkin seniman desa yang lugu itu tak bakal menghiraukan petuahnya. Mana berani dia. Sebab beliau merasa, dengan agak sombong, wibawa suaranya sudah dipasang sedemikian dahsyatnya.
Ah, dunia memang menyala. Tapi alam pikiran manusia seperti semak hutan, seperti kayonan, seperti gunungan, penuh pohon, penuh ranting, penuh bayangannya.
*
PANGGUNG menyala. Di tengah arena, raung Rahwana berserakan hingga ke sudut-sudut panggung yang kasat mata. Dan mata penonton, yang tatapannya membidik ke tengah arena, juga menyala bagai tungku terbakar.
“Aku tak paham, aku tak paham kenapa suara-suara kera bisa memojokkan raja raksasa, raja raksasa yang sakti mandraguna sekaliber aku! Iiihhh…!”
Panggung menyala. Seluruh mata kera bersinar. Gamelan merintih. Dan hati penonton berdesir seakan merasakan pohon bencana tumbuh dalam dirinya.
“Apa karena aku tak begitu peduli dengan suara-suara? Sebesar apapun gaungnya? Iiihhh…!”
Pasukan kera bersorak. “Ya, seperti itulah, raja serakah! Seperti itulah nyatanya!”
Panggung menyala. Gemuruh sorak pasukan kera mulai membanting-banting telinga Rahwana. Dan penonton segera tahu, ketika Rahwana kebingungan, lantas Rama, dengan gaya seorang ksatria sejati, memasang anak panah di lengkung busurnya. Rahwana terpesona. Dan, ya ampun, raja raksasa itu lagi-lagi memelas.
“Ihhh…! Rama, betapa hinanya kau! Aku telah mati sebelum ujung anak panahmu menembus dadaku. Apa kau tak sungkan? Aku memang kalah. Tapi sesungguhnya kau lebih kalah, karena suara-suara kera ternyata lebih sakti dari senjata klasikmu itu. Ah, betapa terhinanya ujung runcing panahmu jika harus menembus dada raksasa yang tak berdaya, yang sudah tak berdaya oleh suara kera! Iiihhh…!”
Panggung menyala. Tatapan mata Rama, yang semula terpusat di runcing panah, tiba-tiba redup. Dan hati penonton berdesir seakan merasakan pohon bencana bercabang dalam dirinya.
Panggung menyala. Tubuh Rama roboh di tengah arena.
Panggung menyala. Tawa Rahwana lantas bergema. Bergema seperti lagu pesta bermiliar-miliar raksasa.
*
DUNIA menyala.
“Kenapa Rahwana masih kau biarkan hidup?”
Wak Miki masih belum menjawab. Bahkan ketika Ratu Pedanda dari Griya Margarana juga menusuknya dengan pertanyaan serupa, ia cuma menunduk seperti membuang kepalanya hingga menggelinding di atas bumi. Sebab ia juga tak mampu membaca pikirannya sendiri. Fantasinya sedemikian galak. Bahkan teramat galak sehingga ia sendiri merasa diterkam bertubi-tubi.
“Dunia wayang itu dunia kehidupan kita, Wak! Ceritanya adalah cerita kita. Hanya orang suci yang berhak mengubahnya! Kau jangan congkak, kau jangan ciptakan cerita kehidupan yang baru dengan mengacaukan tatanan cerita lama! Bisa-bisa ceritamu malah membikin umat manusia jadi rapuh. Ya, rapuh! Karena pegangannya telah kau jungkirbalikkan!”
Kali ini Wak Miki benar-benar ingin mencopot kepalanya, lalu melemparkannya sampai tertimbun di bak sampah. Baginya, Ratu Pedanda, pendeta brahmana yang pengetahuan agamanya melimpah seakan memenuhi buana itu adalah manusia setengah dewa. Ia menghormatinya, seperti menghormati dewa. Apalagi, secara formal, meski tak pernah tercatat, Ratu Pedanda, oleh penduduk desa telah dianggap sesepuh sekaha gambuh yang dipimpinnya.
Dari kesaktian Ratu Pedanda itulah riwayat gambuh di Desa Galuh bisa dilacak, lalu dilestarikan hingga kini. Dalam sebuah upacara suci Ratu Pedanda melakukan puja semadi agar secara gaib sejarah kesenian gambuh itu bisa diketahui. Usai semadi, Ratu Pedanda menceritakan gambuh itu telah ada sejak Desa Galuh berdiri, ketika alam masih polos seperti gadis perawan telanjang. Lekukan sungai, danau dan gunungnya masih mulus dan suci. Pokoknya, meski dihitung dengan hitungan abad, usia gambuh itu tak bisa disebutkan, seperti menghitung pasir di pantai lepas.
“Para Dewa menciptakan kesenian bagi kita. Seperti menciptakan cermin untuk kita bersuluh!” kata Ratu Pedanda dengan nada suara bagai dewa.
Proses regenerasi dan pelestarian kesenian gambuh itu sendiri cukup aneh. Semuanya bertopang pada kekuatan gaib. Jika kelian sekeha meninggal, maka pas sebelum menghembuskan napas terakhir, dari mulutnya akan merembes semacam busa bening berbau harum. Busa itu kemudian dihirup oleh seorang penduduk, seseorang yang sebelumnya telah ditunjuk oleh tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama Desa Galuh melalui musyawarah. Atau jika penggantinya tak ditemukan dangan cara musyawarah, .warga akan melakukan upacara nyanjan untuk minta petunjuk atau wangsit para dewa. Pasti, mereka akan mengikuti wangsit itu. Biasanya, wangsit disampaikan oleh penari yang kerauhan saat menari dalam upacara nyanjan. Jika seorang sudah ditemukan, maka orang itu akan menghirup busa yang keluar dari mulut kelian sekaha yang sudah meregang dalam sakratul maut. Orang itu otomatis akan terbaptis menjadi kelian sekeha dan sekaligus bakal tiba-tiba saja bisa menari dan memerankan tokoh Rahwana dalam pementasan gambuh. Jika tokoh Rahwana telah ditentukan, maka menentuka tokoh lain biasanya jauh lebih mudah.
“Menari itu sebuah kesaktian, seperti kesaktian Rama atau Rahwana, Wak! Ia bisa memainkan dunia. Kalau perlu, ia bisa membalikkan arah matahari!”
Wak Miki tak pernah tahu, dan tak pernah ingin bertanya, generasi kelian ke berapakah yang ia pangku saat ini. Yang ia ingat, 30 tahun lalu ia telah menghirup busa yang memancar dari mulut Wak Yasa, pamannya sendiri. Dan yang ia herankan, sungguh, saat ini, saat ia memimpin sekeha itu, cerita wayangnya yang telah dipertahankan masyarakat Desa Galuh selama bertahun-tahun tak mampu ia kendalikan. Cerita itu liar, dan ia tak bisa menjinakkannya.
Ah, betapa gundah batin Wak Miki!
“Itu karena bukan kau yang memainkan dunia, Wak. Bukan kau yang membalikkan arah matahari, tapi kau sendiri telah dipermainkan dunia!” Ratu Pedanda memandang Wak Miki dengan mata aneh. “Jadi, hati-hati, Wak!”
Wak Miki menggulung-gulung ujung sarungnya yang putih kumal dengan tangannya yang butut, dan ia merasa hatinya dipilih-pilih: nyeri bercampur malu.
*
PANGGUNG menyala. Rahwana ternyata masih hidup. Gema tawanya seperti lagu pesta di negeri yang dipenuhi raksasa.
*
DUNIA menyala.
“Wak Miki, keluar kau!”
Terdengar pintu digedor. Wak Miki sebenarnya mendengar gedoran itu, tapi ia enggan bangun. Tubuhnya teramat letih.
“Kalau tak mau keluar, kami dobrak pintu ini! Ayo, keluar, Wak Miki! Keluar kau!”
Pintu didobrak. Daun pintu yang sesungguhnya sudah rombeng itu rebah tak berdaya.
“Bangun, Wak, bangun! Kau terpaksa diamankan!”
Wak Miki gelagapan. Bangkit dengan tubuh yang amat letih. “Apa salah saya?”
“Kau telah menyebarkan ajaran sesat! Jika ini dibiarkan masyarakat bisa resah. Jadi terpaksa kau diamankan!”
“Ajaran yang mana?”
“Ah, jangan mangkir! Gambuh yang kau pentaskan tadi malam itu mengandung ajaran sesat. Masa kau bikin Rama bertekuk lutut di hadapan Rahwana yang jelas-jelas jahat?! Itu sesat, tahu?”
Wak Miki dengan tubuh letih berupaya membela diri, tapi petugas berpakaian ketat itu tak memberinya kesempatan. “Nanti jelaskan di kantor,” kata seorang petugas membentak.
Dunia menyala. Tubuh Wak Miki yang keropos itu dilemparkan ke bak truk yang kumuh dan tak pernah dicuci. Wak Miki merintih seperti suara gamelan yang rapuh. Tapi ketika meluncur di jalan desa yang berbatu, truk tiba-tiba dicegat sekawanan kera di tengah jalan. Sekawanan kera liar itu begitu saja menerobos dari hutan di pinggir desa, lantas menyerang petugas-petugas berbaju ketat itu dengan beringas. Suaranya bising. Para petugas menjerit, kemudian lari lintang pukang meninggalkan Wak Miki yang masih meringkuk dalam bak truk.
Wak Miki kemudian tersenyum. Ia seolah-olah mengerti dan memahami tentang peristiwa yang baru saja dilihatnya. Ia mendesah sembari memperhatikan punggung-punggung sekawan kera yang kembali menerobos masuk hutan. “Ribuan kera, di dunia yang menyala tak ingin kehilangan teman. Ribuan kera di panggung yang menyala tak ingin kehilangan musuh,” bisiknya.
Betapa aneh. Dunia memang seperti gunungan, rumit penuh bayangan.
*
PANGGUNG menyala. Masih seperti biasa. Tubuh Rahwana meluncur ke tengah arena. Dan mata penonton, yang tatapannya membidik ke tengah arena, semakin menyala seperti lubang tungku meledak.
“Aku tak terkalahkan! Tak terkalahkan! Lihat! Iiih…!”
Suara Rahwana bagai matahari pecah. Meletus. Pasukan Sang Rama, yang sejak tadi melongo dengan mulut dan mata kosong, tiba-tiba terkesiap seperti mata tertusuk panah. Bagaimana mungkin, bagaimana mungkin raja raksasa, sumber dari segala sumber bencana itu tak bisa mereka kalahkan? Bukankah Rama dan sekutunya para titisan dewa? Bukankah senjatanya demikian sakti? Bukankah kebenaran mesti ditegakkan?
Ah, alangkah mujurnya kebatilan!
Panggung menyala. Seluruh mata dari seluruh pasukan Sang Rama seakan padam. Gamelan merintih. Sungguh-sungguh merintih seperti peri mematahkan sayap. Dan hati penonton berdesir seakan merasakan buah bencana jatuh dalam diri mereka.
Panggung menyala. Tawa Rahwana bergema. Bergema seperti lagu pesta di negeri raksasa.
Panggung menyala. Lalu, “Dooorrr! Dooorrr! Dooorrr!”
Beberapa kali terdengar letusan, seperti terdengar dari langit. Tiba-tiba, di tengah arena, tubuh Rahwana terkapar. Darah merah merayap di atas tubuhnya, di atas arena, di atas bilah-bilah gamelan, di atas tabir yang masih terbuka. Benar-benar darah. Darah merah.
*
DUNIA menyala. Tubuh Wak Miki yang sekarat berlumur darah dibaringkan di lantai kantor Balai Desa, tempat terdekat dari lokasi pementasan gambuh yang mengalami musibah mengerikan itu. Napas kelian sekaha yang dadanya bolong-bolong diterjang peluru panas itu terdengar masih berhembus, meski satu persatu, dan lamban.
“Cepat, siapkan generasi baru, sebelum Wak Miki melontarkan napasnya yang penghabisan!” pekik Kelian Adat dengan suara serak kebingungan. Orang-orang saling tunjuk, saling tuding, saling mengajukan diri, dan ada yang saling berkelit.
Tapi di tengah kegaduhan yang meruyak itu, seketika orang-orang dikagetkan oleh kejadian aneh. Sungguh aneh. Dari bibir Wak Miki yang kering dan keriput itu menjulang asap putih — jadi bukan semacam busa berbau harum seperti biasanya. Asap putih itu menggeliat. Menggeliat seperti asap panas yang melejit dari moncong pistol yang baru ditembakkan.
Asap itu terbang, merambat dan menyerbu segala ruangan. Tanpa sadar semua menghirupnya. Semua orang, tanpa mampu menghindar, menghirup asap putih itu. Semua orang, tidak saja orang-orang di Desa Galuh, tapi juga orang-orang di seluruh dunia.
Kemudian semua orang merasa jadi kelian sekeha gambuh, semua orang langsung bisa memainkan tokoh Rahwana. Dan sialnya, semua orang juga, seperti Wak Miki, tak mampu menjinakkan cerita yang galak, sehingga bertubi-tubi ingin menerkam diri mereka sendiri.
Denpasar, Mei 1997
Catatan:
Gambuh : seni pertunjukan klasik Bali, biasanya memainkan kisah-kisah panji dalam pementasannya, namun dalam cerpen ini gambuh direkayasa memainkan kisah pewayangan
Kelian sekaha : ketua group/kelompok
Kelian desa adat : ketua adat
Nyanjan : upacara suci, biasanya untuk memilih ketua adat dan sejenisnya melalui petunjuk gaib
Kerauhan : trance
*Cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen Padi Dumadi (Buku Arti, 2007)
[][][]