LAJU PEMBANGUNAN infrastruktur kota Makassar semakin masif setiap tahun. Beberapa kalangan melihat laju pembangunan ini sebagai tanda bahwa ekonomi tumbuh dengan sehat. Sebagian kalangan lainnya harus menelan kekesalan ketika Makassar sampai akhirnya menggusur salah satu taman kota untuk mendirikan gedung baru. Berangsur-angsur wajah Makassar kian berubah dan perubahan itu mesti merelakan sejumlah artefak ingatan masing-masing warganya turut hancur. Apakah ini risiko bagi Makassar yang berhasil ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional?
Makassar kian acuh dengan manusia yang hidup di dalamnya. Sejauh mana Makassar menerima kehadiran pohon di tepi jalan? Sudahkah trotoar terpikirkan untuk pejalan kaki? Selesaikah aliran air dikerjakan dengan baik? Konyol kiranya ketiga pertanyaan tersebut dijawab oleh Pemerintah Kota dengan klaim Makassar adalah kota dunia dan Makaverse. Sayangnya kepandaian bermimpi ini hanya menjadi kepandaian saja. Tidak lebih.
Kala Teater merekam keluh-kesah-keluh-kesah warga Makassar melalui proyek ‘Kota dalam Teater’. Proyek ini dikerjakan mulai 2015-2025 nanti dan berfokus pada pembacaan isu-isu kota. Pertunjukan kali ini bertajuk “Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota” digelar selama tiga hari (4-6 Desember) di Gedung Kesenian Societ de Harmonie, Makassar, dan terselenggara atas dukungan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Dana Indonesiana, dan LPDP. Hari terakhir pertunjukan dirangkaikan dengan diskusi warga bersama sutradara Shinta Febriany, Aan Mansyur, M. Nawir, dan dipandu oleh Mega Herdiyanti. Penutup yang indah!
Babak 1: Perangkap Kata-kata
Lampu panggung menyala. Pilar-pilar bangunan di Gedung Kesenian yang rapuh menjadi berwarna disorot lampu. Tembakan sorotan lampu ke pilar-pilar bangunan membentuk ruang persegi. Lima aktor Kala Teater memasuki panggung. Mereka tampil memakai aksesoris oven di kepala dan kompak berkostum merah. Dua bentuk persegi yang tampil seperti berbicara bahwa inilah bentuk Makassar sekarang: kotak. Para penonton menghentikan percakapan mereka. Tatapan tertuju ke panggung.
Satu per satu aktor membuka oven di wajahnya dan bersuara. Semua suara yang dituturkan merupakan tanggapan warga kota Makassar tentang suka dan ketidaksukaan mereka selama mendiami kota ini. Kurang lebih setiap aktor melontarkan sepuluh suara. Suara keluh kesah lebih leluasa keluar malam itu. Barangkali kesusahan lebih bisa diungkapkan secara jujur daripada kesenangan. Apa yang didengar malam itu lebih banyak tentang ancaman anak panah, aspal jalan tidak rata, minimnya trotoar, dan banjir.
Pentas Babak 1 “Perangkap Kata-kata” dari Kala Teater | Foto: Ahmad Amri Aliyyi
Bahasa menjadi alat politis dalam menyampaikan kepentingan. Begitu jauh jarak antara warga dan kota. Bentangan tersebut bisa dilihat dari bahasa. Bagaimana kota ini berbicara jika mulutnya adalah pemerintah dan apa yang dikatakan oleh kota jika mulutnya adalah warga. Persilangan semacam itu terlibat dalam keseharian Makassar dan segenap manusianya. Seumpama babak pertama ini adalah pertandingan tinju jalan pertandingan ke depannya akan semakin seru.
Kala Teater menawarkan pertunjukan interaktif. Penonton pun tidak canggung merespons para aktor Kala yang mendekat meminta pintu oven dibuka. Adegan ini membuat suasana menjadi cair serta menunjukkan bahwa pertunjukan diterima baik oleh penonton. Selain itu, dua-tiga penonton juga terdengar tertawa ketika mendengar aktor Kala menyampaikan suara. Mereka tentu menertawai bagian narasi-narasi akrobatik dari walikota tentang kota ini. Ironi semacam ini kerap kali muncul justru berkat tangan pemimpin.
Babak 2: Di Seberang Kekacauan
Mangku mamo mabella
Nia’ma ri se’reang bori
Ansombalangi
Sare kamaseku
Passare batara
Mannamonjo nakamma
Pangngu’rangingku
Ri kau tonji
Ka butta la’biri
Passolongang ceratta
Ri Bawakaraeng
Se’reji kupala’
Ri julu boritta
Sirikaji tojeng
Solanna nania
Areng mabajitta
Ri bori’ maraeng
Nakima’minasa
Te’neki masunggu
Nanacini’ todong
Bori maraengang
Sarroa mangngakkali
Ri kamajuanta
Alunan suara Wawan Aprilianto, aktor Kala Teater, menyanyikan lagu Minasa Ri Boritta (ciptaan Abdullah Sijaya) membuka babak kedua pertunjukan malam itu. Pelan-pelan ia jalan memanjati anak tangga dengan memegang satu pot tanaman. Aktor lainnya muncul setelah Wawan berada di balkon. Dwi Lestari Johan berpakaian sarung dan bando khas Makassar menari sambil memegang dupa. Sabri Sahafuddin memegang satu pot tanaman dan memainkan siluet di layar yang menampilkan power point persentase kriminalitas kota Makassar. Sementara itu, Nurul Inayah melakukan presentasi.
Minasa Ri Boritta menjadi lagu latar selama presentasi berlangsung. Data-data yang ditampilkan Kala Teater merupakan hasil pencarian dari berbagai sumber, salah satunya adalah LBH Makassar. Presentasi tersebut berlangsung selama 15 menit, penonton khusyuk menyimak bahkan ketika Nurul Inayah mengoper presentasi selanjutnya kepada Sabri Sahafuddin, penonton tidak memalingkan fokus. Adegan menampilkan data-data seperti kekerasan seksual yang dialami perempuan, peredaran narkoba, dan pembegalan membuat penonton mengerutkan dahi.
Pentas Babak 2: “Di Seberang Kekacauan” dari Kala Teater | Foto: Ahmad Amri Aliyyi
Keadaan Makassar hari ini tentulah jauh berbeda dari isi lagu Minasa Ri Boritta. Ketentraman dan kehormatan kini berbalik menjadi kecemasan dan kebrutalan. Dua subjek yang berbenturan tersebut menciptakan kekontrasan. Namun, lagu Minasa Ri Boritta dapat dimaknai sebagai pengingat jika sesungguhnya Makassar adalah tempat pulang dan tinggal paling aman.
Babak 3: Bunyi Warga
Setengah dari panggung terbentang net bulu tangkis. Dwi Lestari Johan masuk menenteng tas berisi botol-botol kecil ASI. Ia memompa ASI di atas panggung. Dua aktor selanjutnya masuk, Nurul Inayah dan Sabri Sahafuddin, mereka mengeluarkan raket dari tasnya. Bulu dipukul-dilayangkan. Suara-suara warga kota kembali terdengar. Kini melalui sistem suara. Wawan Aprilianto menyusul masuk ketika suara-suara silih berganti. Laku Wawan ketika masuk menepis semua suara itu dengan raketnya. Aktor terakhir masuk adalah Rifka Rifai Hasan. Ia tidak membawa raket. Ia merespons lanskap kota yang terputar di tembok panggung.
Pentas Babak 3 : “Bunyi Warga” dari Kala Teater | Foto: Ahmad Amri Aliyyi
Suara-suara warga kini membunyikan tentang ‘apa yang akan kau katakan jika memiliki kesempatan bertemu Walikota Makassar?’. Sebagian besar warga menyampaikan harapan-harapan seperti, tata kota yang rapih, bebas banjir, aman dari kejahatan di jalan, dan kesejahteraan. Harapan itu disampaikan tanpa tahu apakah walikota bisa menyediakan telinganya mendengarkan itu semua. Ada juga warga yang pesimis di dalam rekaman suara itu, ia percaya bahwa sekalipun harapannya didengar tidak akan mengubah apa-apa.
Bella tojeng milampakku
Kana simbangmi dolangan
Aule ta’lengu tomma’
Ri buluna butta jawa
Manna mamonjo nakamma
Tuli ji kupariati
Aule parasanganku
Ri butta kalasukangku
Tau lolona natau rungkana
Malabbiri ri pangadakkang
Tau lolona natau rungkana
Malabbiri ri pangadakkang
Alusu rikana-kana
Alusu ri pangagaukang
Mabaji ampe adatta ri mangkasara
Butta Kalassukangku lagu ciptaan Anci Laricci dan Sila Leo dinyanyikan oleh Dwi Lestari Johan di tengah-tengah kegiatannya mengumpulkan ASI. Lakon ibu yang penuh kasih sayang dan memberi hidup kepada anak untuk membesarkannya diperankan oleh Dwi Lestari Johan. Adegan itu seakan-akan memberi tahu welas asih ibu tidak pernah usai bahwa harapan bisa ditumbuhkan.
Menginterupsi Keadaan:
Seni sebagai hiburan mengisi ruang harapan yang mungkin saja hampir pupus. Menghubungkan warga dengan seni adalah jalan alternatif dalam memecah masalah kebuntuan Makassar. Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota memediasi keresahan warga kota tentang Makassar sebagai ruang hidup. Tidak bisa ditampik, kerap kali satu kebijakan bisa saja dilandaskan atas kekuatan kapital sehingga pihak terkait akan diuji keberpihakannya.
Selama tiga malam Kala Teater menginterupsi keadaan Makassar hari ini. Apa-apa yang terjadi dengan Makassar sekarang ini tidak terjadi begitu saja, tetapi terjadi secara terstruktur. Kala Teater merangkum aspirasi warga akar rumput untuk dibincangkan kembali, tetapi dengan bentuk yang pertunjukan. Masalah-masalah yang terangkum seringkali melintas dan menghampiri warga kota, namun ruang teater mengadvokasi masalah tersebut agar kekuatan warga dapat terhubung.
Pentas Babak 2: “Di Seberang Kekacauan” dari Kala Teater | Foto: Ahmad Amri Aliyyi
Selubung-selubung yang diselipkan seperti oven, lagu, bulu tangkis, dan ibu merupakan daya ungkap terhadap sejumlah masalah. Simbol-simbol metaforik yang demikian merangsang kepekaan dalam melihat sesuatu. Katakanlah oven itu sebagai kotak suara pungutan suara yang setiap dibuka berisi keresahan warga kota. Menitipkan harapan indah melalui dua lagu Minasa Ri Boritta dan Butta Kalassukangku kembali menciptakan optimis di benak warga. Suara-suara warga yang ditepis dengan raket. Kemunculan ibu di tengah sekelumit masalah membuat kita percaya jika Makassar masihlah tempat yang aman untuk memangku hidup. [T]
Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota
Aktor: Dwi Lestari Johan, Nurul Inayah, Rifka Rifai Hasan, Sabri Sahafuddin, Wawan Aprilianto | Sutradara & Penulis Naskah: Shinta Febriany | Stage Manager: Mega Herdiyanti | Tim Artistik: Dwi Saputra Mario, Nirwana Aprianty, Sukarno Hatta | Penata Cahaya: Sukma Silanan | Tiket & Logistik: Athira Nur
[][][]