ADA SEJUMLAH jalur yang biasa ditempuh para pelancong, petualang, pendaki, atau umat yang hendak sembahyang untuk menuju ke Gunung Bromo di Jawa Timur. Bisa lewat jalur Malang, Pasuruan, Lumajang dan Probolinggo
Pada Kamis, 22 Desember 2022, saya berkunjung di kawasan BTS (Bromo, Tengger, Semeru). Ini untuk ketiga kalinya saya ke wilayah itu untuk tujuan yang berbeda-beda.
Kawasan BTS memang menjadi kawasan taman nasional sehingga kawasan itu dikunjungi oleh berbagai orang yang memiliki macam-macam kepentingan. Ada yang sekadar jadi tris, ada peneliti, ada aktivis lingkungan, ada juga umat Hindu yang punya tujuan untuk sembahyang ke Pura. Di kawasan itu memang terdapat sejumlah Pura sebagai tempat sembahyang bagi umat Hindu.
Saya menuju ke Bromo melewati jalur Probolingo. Perjalanan dari pelabuhan Ketapang , Banyuwangi ditempuh dengan jalur darat kurang lebih 7 jam, lalu lewat di pintu masuk Cemoro Lawang, Probolinggo.
Perjalanan ke Bromo
Pura Luhur Poten berada di tengah hamparan padang pasir
Sebagai orang Bali yang Hindu, tujuan utama saya akan tangkil atau sembahyang di Pura Luhur Poten. Pura itu bisa dikatakan sebagai Pua utama di kawasan Gunung Bromo. Jika para hendak bergerak menuju ke kawah Bromo, kita harus berjalan sejauh kurang lebih satu kilometer melewati lautan pasir dan ratusan anak tangga.
Nah, Pura Luhur Poten itu berada di tengah hamparan pasir, tepat berada di bawah kaki Gunung Bromo. Dari Pura itu kita bisa melihat latar belakang Gunung Batok . Banyak juga yang menyangka Gunung Batok itu adalah Gunung Bromo.
Dengan memesan jeep tour seharga. Rp. 675.000, saya memulai perjalanan tepat jam 02.00 WITA. Rute yang menjadi perjalanan pun sangat menarik.
Jika beruntung, lewat jalur itu kita bisa menyaksikan matahari terbit di penanjakan, Pasuruan, padang pasir Bromo, dan bukit hijau yang biasa disebut bukit teletubies. Namun seperti takdir wisata alam kebanyakan, cuaca adalah kunci. Semua pengunjung agak cemberut sekaligus tampak kedinginan karena badai dan hujan menyambut di penanjakan.
Bersembahyang di Pura Luhur Poten
Tidak tampak matahari terbit. Tetapi satu hal yang saya catat, dari kondisi-kondisi alam semacam itu banyak yang kemudian kebagian rejeki. Mulai dari warung kopi, jajan, sewa toilet, ojek, hingga pedagang jas hujan musiman, selain juga penjual souvenir.
Setelahnya saya pun melanjutkan perjalanan ke Bromo, di mana doa akan saya panjatkan sambil berharap cuaca terang untuk beberapa saat. Tiba di Pura Luhur Poten, sambutan penjaga Pura pun memberi kehangatan di tengah cuaca yang cukup ekstrem.
Gegeni, berdiam di sekitar kayu yang dibakar, di areal luar Pura menjadi hal menarik.
Sebagai pejalan yang berkelindan di dunia wisata kecil-kecilan, saya pun mencatat beberapa hal dari Bromo. Selain tempat suci, di mana umat Hindu dan pengunjung bisa berdoa, Bromo memberi banyak sekali rejeki.
Bersama penjaga pura di Pura Luhur Poten
Di padang pasir saya kembali mencatat setidaknya para pedagang bisa dengan sangat ramah menyapa pengunjung dan menawarkan jualannya. Ojek kuda khas Bromo untuk menuju puncak, sampai jasa gendong anak menuju puncak dan kawah Bromo.
Penjaga di Pura Luhur Poten biasa dipanggil dengan nama Mas Dul. Ia bercerita bahwa masyarakat Tengger hidup dari bertani dan pekerjaan yang berkaitan dengan pariwisata adalah tambahan sekaligus bonus.
Pertanian memang harus tetap ada meski pariwisata tidak ada. Atau pertanian itu adalah pariwisata ,bukan pariwisata yang menghilangkan pertanian. [T]