Persekolahan SMAN Bali Mandara sebuah jembatan emas bagi rakyat Bali untuk meninggalkan kebodohan dan kemiskinan yang absolut. Menghapus sekolah tersebut berarti menarik paksa kembali rakyat Bali mundur seribu tahun.
Awal tahun 2022, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan kebijakan mengejutkan yaitu menghapus persekolahan SMAN Bali Mandara. Mengubah sistem khusus berasrama menjadi persekolahan reguler. Pertimbangannya kala itu, pemerintah mengakui tidak memiliki anggaran yang mencukupi pada postur APBD 2022.
Kritik tajam dari publik terlontar deras kepada pemerintah. Kebijakannya disebut keliru (jika tidak ingin disebut salah). Dukungan terhadap kebijakannya sangat minim. Tenggelam oleh arus deras kritik publik.
Di tengah derasnya kritik, pemerintah mencoba meligitimasi kebijakan itu dengan kajian ilmiah dari seorang akademis, yang juga seoran rektor sekaligus koordinator kelompok ahli pembangunana Bali, yaitu Prof. I Made Damriyasa.
Berdasarkan kajiannya tersebut, pemerintah lantas menyatakan bahwa prestasi SMAN Bali Mandara tidak lebih baik dari sekolah reguler sehingga layak untuk hapus.
Pemerintah mencoba memberikan citra buruk kepada SMAN Bali Mandara sebagai sekolah yang gagal melalui legitimasi seorang akademisi.
Yang kemudian berhasil dikupas oleh kelompok kritis bahwa kajian itu keliru. Melenceng dari kaidah ilmiah. Misalnya saja, mengambil sampel dengan membandingkan sekolah SMAN Bali Mandara yang inputnya siswa miskin dan bodoh dengan sekolah negeri reguler yang secara tradisi, inputnya adalah siswa cerdas dan orang tuanya kaya.
Pemerintah berhadapan dengan kritik yang semakin keras dan tajam. Lembar fakta demi fakta dibeberkan untuk menyangkal citra buruk yang disematkan oleh pemerintah kepada SMAN Bali Mandara.
Para alumninya, mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Pendidikan (FKPP) Bali, dan tokoh kritis sembari melontarkan kritik juga menghadirkan solusi (untuk mencapai jalan tengah untuk menyudahi polemik yang berakar dari kebijakan pemerintah).
Rupanya, pemerintah terkesan menyelepekan kritik dari publik. DPRD Bali setali tiga uang dengan Gubernur Koster. Mereka seolah mengabaikan aspirasi publik.
Kritik yang tajam terhadap kebijakan pemerintah harus dianggap bahwa pendidikan di SMAN Bali Mandara sebagai sesuatu yang penting, esensial, dan substantif untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan mobilitas strata sosial siswa miskin di Bali.
Fakta yang Tak Ternilai
SMAN Bali Mandara hanya dalam satu dasa warsa telah mampu menjadi pintu gerbang (short cut) generasi Bali yang terkubang dalam kemiskinan dan kebodohan.
Sistem persekolahan SMAN Bali Mandara membuktikan dirinya sebagai pendidikan pembebasan dari kebodohan dan kemiskinan (Paulo Freire, 2001). Sistem persekolahan berhasil mengakhiri kebodohan anak didiknya. Berhasil melepaskannya dari jerat kemiskinan absolut yang turun temurun dari orang tua dan leluhurnya.
Fakta-faktanya jelas, siswa sekolah ini, rata-rata sebanyak 90 persen adalah anak bodoh. Tidak memiliki prestasi akademis. Masuk akal, karena mereka tinggal bersama orang tua yang tingkat kesejahteraannya sangat rendah. Pendapatan rata-rata orang tuanya hampir di bawah Rp 2 juta dalam setahun.
Penghasilan itu tentu hanya cukup untuk bertahan hidup. Tidak cukup untuk memenuhi gizi dan nutrisi semenjak dilahirkan. Tentu sangat kontras dengan sampel yang diambil Prof Damriyasa, hanya untuk mendegradasi SMAN Bali Mandara.
Persekolahan SMAN Bali Mandara sangat relevan dengan paradigma pendidikan Paulo Freire, karena terbukti anak-anak miskin itu berubah menjadi siswa cerdas dan berprestasi. Dimana alumnusnya sebanyak 96 persen lulusannya diterima di perguruan tinggi internasional (1,29%), perguruan tinggi negeri (46,7%), perguruan tinggi swasta (47,4%), dan ikatan dinas (4,5%).
Anak-anak yang miskin dan kumuh itu juga telah berhasil lepas dari jerat kemiskinan. Saat ini, lulusannya telah memiliki penghasilan rata-rata sebesar Rp 7,5 juta per bulan. Yang mengejutkan, mereka memiliki naluri yang sangat mulia, menjadi kakak asuh dari anak-anak miskin di desanya.
Mundur Seribu Tahun
Pemerintah sebaiknya tidak menutup pintu dialog dengan alumni, mahasiswa yang tergabung dalam FKPP, dan tokoh/pemerhati pendidikan yang kritis. Pemerintah seyogyanya bijak menanggapi kritik publik. Tidak menggangap kritik tajam dari publik sebagai hal yang sepele.
Sebuah kebijakan yang mendapatkan reaksi positif dan negatif menandakan terdapat persoalan yang substansif. Yang perlu ditanggapi dengan membuka ruang dialog, melakukan kajian ulang, menemukan titik unggul dan kelemahannya. Tidak bisa kebijakan menghapus diambil terburu-buru karena akan berdampak buruk di masa mendatang.
Misalnya saja, sekali saja sistem persekolah SMAN Bali Mandara dihilangkan maka selamanya akan hilang. Tidak butuh menunggu setahun, 10 tahun, atau 100 tahun. Sehari setelah kebijakan penghapusan dilakukan, saat itu juga persekolahan yang sarat prestasi ini langsung punah.
Menghapus persekolahan SMAN Bali Mandara sama saja dengan menarik paksa kembali rakyat Bali ke seribu tahun lalu. Di masa dimana rakyatnya dicitrakan hidup dalam kubang kebodohan, kemiskinan, dan gemar melakukan amuk.
Dimana pada abad ke-10, kemiskinan dan kebodohan adalah satu satu citra peradaban yang melekat pada rakyat Bali, di jaman kerajaan dan kolonial. Ketika itu, Bali direkayasa oleh kaum kolonial sebagai Bali yang tak berarti apa-apa kecuali identik dengan bodoh, tenaga kasar, buruh, manusia brutal yang tak segan-segan mengamuk (Darma Putra, 1994).
Untuk itu, dibutuhkan kebijakan dari pemerintah, DPRD, tokoh publik, generasi muda, alumni sebagai para pelaku langsung untuk membuka ruang dialog agar dapat mengambil keputusan yang tidak keliru sehingga berdampak buruk di masa depan. Inginnya maju 100 tahun ke depan, karena kesalahan kita, Bali mundur kembali ke era seribu tahun lalu. [T]