Jantung berdebar. Peluh membasahi tirus wajahku. Napasku memburu, Cepat.
Aku berhenti pada rimbun lebat semak-semak. Ini rimbun yang cocok untukku bersembunyi dari sergapan makhluk itu. Ketakutan menguasai diriku. Aku takut karena membayangkan tubuhku akan dilahap oleh sang buto ijo itu. Aku takut.
Perlahan air mata membasahi pipiku. Tak bisa dibendung.
Untuk sesaat aku merasakan ada yang berdiri di belakangku. Dan benar saja itu adalah dia. Aku terlonjak dan berteriak tetapi percuma juga. Tidak ada siapa-siapa dan tanpa kusadari aku berada di tempat pemakaman umum. Aku terkejut, bagaimana bisa aku berada di sini. Aku menangis sejadi-jadinya. Dan langsung jongkok sambil menutup mata.
“Hahahha. Aku hanya ingin memperingatkanmu bahwa kau harus menghaturkan liwetan untukku. Kalau tidak maka bayi yang ibumu kandung akan kumakan saat gerhana matahari tiba. Tapi sebelum itu maka kau yang harus mati,” kata makhluk itu.
Aku berteriak. Aku memberontak.
Dia mulai menarik tubuhku untuk masuk ke mulut yang mengerikan itu. Aku melawan sekuat tenaga.
***
Aku terbangun dari mimpi dengan peluh bersimbah di sekujur tubuh. Aku langsung pergi mencari ibu. Kudapati ibu sedang memasak didapur.
“Bu, aku tadi bermimpi didatangi buto ijo. Dia memperingatkanku tentang adikku, Bu, yang Ibu kandung. Ia akan memakan adikku di kala gerhana matahari tiba, Bu. Aku sangat takut. Ibu harus melaksanakan tradis liwetan itu, Bu. Secepatnya. Aku sangat takut kehilangan adikku, Bu!” Isak tangisku keluar dan langsung memeluk ibu.
“Tenang sayang. Ibu memang sudah merencanakan hal itu, Sayang. Sekitar satu minggu ini kita akan melaksanakan tradisi liwetan itu. Kamu tidak usah khawatir. Adikmu akan selamat, Sayang. Jangan berpikir yang aneh-aneh,” ucap ibu menenangkanku.
***
Aku tetap penasaran dengan buto ijo itu. Lalu aku berdiskusi dengan teman-temanku perihal makhluk itu.
“Bagaimana kalau kita menyelidiki di mana sebenarnya buto ijo itu berada. Aku sangat geram dibuatnya. Aku tidak ingin sesuatu terjadi dengan calon adikku,” kataku kepada teman-temanku.
“Kamu yakin Ri? Ingin mencari buto ijo itu? Tidak takut terjadi sesuatu padamu?” tanya Emi tampak takut
“Tentu, tidak. Yang aku takuti selama ini hanya Tuhan. Lagi pula sudah lama aku penasaran dengan semua ini. Apakah ini mitos atau fakta. Aku akan mencari jawabannya sebelum gerhana matahari tiba. Apakah kalian mau ikut denganku?” tanyaku dengan wajah memelas.
“Mmmm, maulah. Tapi…?” kata Rusli ragu.
“Tapi apa?” tanyaku bingung.
“Tapi kau harus membawa banyak makanan untuk kita makan selama perjalanan. Tidak mungkin kan perutku kosong? Kau tahu sendiri perutku ini tidak bisa kosong harus diisi terus. Hehehehe,” jawab Rusli sambil nyengir.
Aku menanggapinya dengan sebuah anggukan. Lalu kami semua tertawa. Sahabatku cuma dua orang. Namanya Emi dan Rusli. Mereka selalu ada ketika aku sedih dan bahagia. Aku juga ada di kala mereka sedih dan bahagia. Aku, Maria Shani. Aku tinggal di Mojokerto, umurku 17 tahun. Dan aku calon kakak. Aku tidak ingin sesuatu terjadi dengan adikku. Aku akan melindunginya. Bagaimanapun caranya. Meskipun nantinya aku akan pergi untuk selamanya, aku tidak peduli. Asalkan adikku selamat dari makhluk itu.
Dengan segala perdebatan antara aku, ibu dan ayah, aku berhasil memperoleh restu mereka untuk pergi menjelajah hutan demi membuktikan pertanyaan yang sudah kupendam sejak dulu.
“Sayang, kamu hati-hati, ya. Ibu sebenarnya sangat berat melepaskanmu begitu saja. Tapi kau bilang bahwa akan ada pamannya Rusli yang ikut. Ibu menjadi lega. Rasa khawatir ibu hilang. Restu ibu untukmu, Sayang. Semoga kau berhasil meraih jawabannnya,” ucap ibu seraya memelukku dengan erat.
Kurasakan punggungku basah oleh air mata ibu. Akupun tidak bisa menahan lagi. Isak tangisku keluar di dalam pelukan ibu. Seakan aku tidak akan pernah merasakan pelukan itu lagi.
“Kamu hati-hati ya, Ri. Ayah di sini selalu menunggu kamu pulang. Cepatlah kembali. Sayang, bapak tidak bisa ikut denganmu. Karena bapak harus menjaga ibumu di sini,” ucap ayah merasa bersalah
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting bapak merestuiku!”
Aku langsung menghubungi kedua temanku. Dan langsung mengemas segala macam bahan makanan berupa mie, roti, snack, Selimut, jaket, dan barang lainnya. Sampai menghabiskan tiga tas sekaligus. Sebelum berangkat. Aku berpamitan dengan kedua orang tuaku. Tak lupa aku juga meminta restu dari Ibu Pertiwi, tempat aku tinggal di Mojokerto.
Petualangan dimulai saat kami menemukan hutan yang sangat lebat. Dengan segala perlengkapan yang ada kami menelusuri setiap sudut yang ada. Pepohonan di sini sangat rindang dan besar. Pohon pinus berjejer dengan rapi. Menyambut kami dari kejauhan yang nampak kelelahan. Seakan menawarkan diri untuk kami duduki. Rumput yang setinggi lutut siap menerjang kaki kami yang hanya berselaput celana pendek selutut. Membuatku gatal dan seringkali berhenti untuk menggaruk kaki yang gatal.
“Aduhh. Hutan ini sangat lebat. Banyak pula binatang kecil yang menjijikkan. Issh!” keluh kesah Emi tertuang dengan kata- kata khas darinya.
“Hahahaha, sabar saja, Mi. kamu yakin mau ikut terus ke dalam? Jika tidak kami akan mengantarkanmu pulang. Agar kamu tidak menyesal nantinya,” tawarku yang membuat Emi tampak berpikir sejenak. Lalu mengangguk dengan muka bersalahnya.
“Kalau menjadi perempuan itu harus berani. Masak sama hewan kecil saja kamu takut sampai seperti itu,” ejek Rusli yang menambah Emi menjadi kesal. Dan aku hanya bisa geleng-geleng kepala saja.
Kami pun melangkah semakin dalam dan jauh. Menambah kesan takjub. Ternyata alam di desaku sangat asri dan indah. Mojokerto memang kota yang sangat asri dan menyejukkan hati. Aku semakin cinta dengan Mojokerto.
“Ri, aku sangat lelah. Marilah kita istirahat sejenak saja. Badanku rasanya sudah ingin keropos,” keluh Emi. sambil mendudukkan pantatnya di sebuah pohon besar.
“Iya Ri, aku juga. Perutku sudah tidak mau berhenti bernyanyi dari tadi. Hehehe!” kata Emi sambil menunjukkan tas yang ia bawa.
Lalu kami pun duduk diatas akar sebuah pohon besar. Disini suasananya sangat sejuk.
“:Ri, kenapa kamu sampai bisa berpikir untuk mencari buto ijo itu?” tanya Emi sambil menyantap makanann dengan lahap.
“Aku berpikir. Karena aku cinta desaku, keluargaku, aku tidak ingin mereka tertekan ataupun tergoyahkan dengan berbagai mitos buto ijo ini. Aku sangat geram dibuatnya!” kataku.
“Kau benar, Maria. Kita harus menyelamatkan kampung halaman kita dari buto ijo itu,” kata Emi.
Kami pun terus berbincang sambil tertawa bersama. Menikmati suasana pepohonan yang sangat sejuk dan menakjubkan. Tanpa terasa 45 menit berlalu dan kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Melihat hutan ini muncul rasa berkecamuk di benakku. Takut. Ketakutan mulai muncul di pikiranku. Merajalela menguasai pikiranku. Aku terus berpikir dan berpikir.
“Arghhh!” Tiba-tiba terdengar sesuatu.
Aku refleks menoleh ke belakang. Kudapati Emi sedang tak sadarkan diri. Meringkuh sambil memegang bahunya. Dan Rusli. Di mana Rusli? Kenapa dia menghilang? Dengan cepat aku meraih Emi dan mendudukannya di atas akar pepohonan yang amat besar. Dengan panik aku mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk bahu dan pipinya.
“Emi, bangun. Kamu kenapa?” Aku langsung menghambur memeluk Emi. Sambil terus berpikir apa yang telah terjadi. Kemudian aku merasakan tangan hangat Emi membelai rambutku.
“Emi apa yang terjadi? Di mana Rusli?”
Isak tangis Emi keluar tanpa henti.
“Maria, aku tidak tahu. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Dan lama kelamaan suara Rusli memanggil namaku yang tadinya dekat mulai menjauh dan menghilang. Lalu aku kira itu hanya candaan semata dari Rusli. Akupun menoleh ke belakang dan kudapati Rusli tidak ada di belakangku. Aku sangat panik. Lalu tiba-tiba saja ada sebuah benda besar menghantam bahuku dan membuat aku tak sadarkan diri,” jelas Emi panjang lebar.
Aku mencoba menenangkan Emi yang tengah menangis dengan memeluknya. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Di mana Rusli? Aku mencoba menenangkan diri dengan duduk dan menarik napas dalam-dalam. Kuputuskan untuk berdiskusi dengan Emi perihal mencari Rusli.
“Kita harus mencari Rusli sampai ketemu. Di mana pun dia berada,” kata Emi.
“Iya, Mi, kau benar!” Aku menarik napas dalam. ”Ini semua salahku, Mi. Jika aku tidak mengajak kalian bersamaku. Semua ini tidak akan terjadi. Dan Rusli akan bersama kita sekarang. Semua ini memang salahku. Kau pasli kesal padaku!” Butiran air mata mulai keluar di sela-sela pupil mataku.
“Tidak. Untuk apa kau bicara seperti itu? Ini bukan salahmu, Ri. Mari kita bersama-sama mencari Rusli sampai ketemu. Aku akan menghajar orang yang telah menculiknya,” ucap Emi.
“Baiklah. Mari kita ungkap semuanya, Mi. Rasanya aku ingin memenggal kepala orang yang telah menyakiti Rusli,” geramku.
Emi hanya menjawab dengan sebuah anggukan setuju.
Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Namun sedikit mengubah tujuan semula kami. Sekarang kami hanya fokus untuk mencari Rusli. Dengan bantuan bekas jejak kaki Rusli, kami terus mengikuti jejak tersebut. Sampai kami menemukan petunjuk baru yang membuat hati kami sumringah bahagia. Kami menemukan ceceran barang-barang Rusli.
“Kamu memang pintar, Rusli. Untuk sesaat aku bangga memilikimu sebagai temanku,” ucap Emi gembira.
Kami terus mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Rusli dan segera tiba di penghujung. Kutemukan sebuah gubuk yang sangat tua. Sepertinya tidak berpenghuni. Terlihat sangat rapuh dan banyak sarang laba-laba. Rumputnya juga setinggi lutut yang tidak terawat sama sekali.
Emi berbisik, ”Ri, sepertinya Rusli ada di dalam!
Aku mengangguk ragu.
Kami akhirnya mulai menyelinap masuk ke dalam gubuk tersebut. Tapi sesampainya di depan pagar, kami terpental jauh. Sangat jauh. Kami meringis kesakitan. Benda apa itu? Kenapa bisa terjadi seperti ini? Aku bingung. Ini terasa seperti bayangan semu yang menghantam kami. Sebuah kekuatan magic yang sangat besar. Tak selang waktu lama datanglah seseorang dari dalam gubuk. Terlihat menyeramkan dengan wajah setengah tertutup kain hitam. Dengan topi koboy yang hinggap di kepalanya. Dan balutan pakaian serba hitam dengan pedang dibelakang baju samurai itu. Aku tertegun melihat orang itu.
“Hey. Apa yang kalian lakukan di sini? Ini adalah rumahku. Tak seorang pun yang bisa masuk ke dalam rumahku,” katanya menatapku tajam.
“Maaf, Pak. Kami hanya ingin mencari teman kami yang hilang. Apakah bapak pernah melihatnya?” tanyaku tanpa ragu.
“Hahaha. Jadi kalian yang dibicarakan oleh bocah tengil itu di sepanjang perjalanan?” Dia mulai menatapku tajam. “Bocah itu sudah kujadikam sandera yang akan menjadi makanan lezat untukku. Aku akan menghaturkannya kepada buto ijo, sang raja raksasa di sini. Dan kalian pun juga!” jawabnya sambil berlari mendekat.
Aku berlari sekencang-kencangnya dari kejaran bapak tua itu. Sementara Emi sudah jauh di depanku. Untuk saat ini kuakui Emi sangat cepat dalam berlari. Dengan cepat kami tiba di sebuah semak-semak yang sangat lebat. Cocok untuk kami bersembunyi. Dengan napas yang hampir habis kududukkan diriku di atas rerumputan yang empuk. Lalu kuluruskan kakiku agar tidak tegang sambil mengusap peluh yang ada di sekujur tubuhku. Emi pun melakukan hal yang sama. Karena sudah merasa aman. Kami segera pergi menjauh dari tempat itu.
Tanpa terasa malam pun tiba. Kami berlindung di bawah pohon pinus yang lumayan besar. Aku mulai menurunkan makanan dan pakaian hangat dari tasku yang berat. Lalu mulai menyantap makanan seadanya.. Semilir angin malam menemani kami malam itu. Suara-suara yang menyeramkan menghantui kami. Kami tidur dengan menahan tangis dan takut. Berharap pagi akan datang.
Dan pada akhirnya Sang Surya pun mulai menampakkan dirinya. Menandakan bahwa kami siap untuk melanjutkan perjalanan. Aku merapikan tas dan barang-barang lalu melihat Emi menangis sambil memegang foto kita bertiga, aku, Emi dan Rusli. Aku memegang bahunya dan mengisyaratkannya untuk segera mengemas barang dan pergi. Tak lama kemudian kami beranjak dari tempat itu. Dan kami tiba di sebuah sungai yang sangat indah.
Aku mengajak Emi berenang. Tapi, Emi hanya diam terpaku lalu mulai duduk dan merenung. Aku bisa menebak apa yang tengah ada dipikiran Emi.
“Mi, kita akan bertemu dengan Rusli. Aku berjanji padamu. Aku akan memperjuangkan Rusli. Kita akan kembali pulang kerumah dan hidup bahagia. Aku janji padamu. Tetapi untuk sekarang. Bisakah kau tersenyum untukku? Aku sangat sedih dan merasa sangat bersalah jika melihat keadaanmu yang seperti ini. Emi yang ceria tidak ada lagi!” Aku menunduk dan menangis.
Kurasakan pelukan hangat dari Emi. Setelah beberapa saat Emi mulai melepas pelukannya dan berseru “Aku berpikir. Kalau menunggu gerhana matahari tiba. Apa yang diberikan Pak Tua itu kepada Rusli? Mungkin ia akan sangat rugi, karena Rusli pasti memakan habis makanannya. Kau tahu Rusli kan suka makan!” Tawa pun meluncur dari bibir Emi yang mungil.
Kami mulai tertawa. Dan memutuskan untuk turun ke sungai untuk mandi. Sampai di bawah kurasakan kesejukan. Membasuh peluh yang membuat tubuh kami lengket sejak kemarin. Berendam untuk membuat pikiran kami santai. Sungai ini sangat jernih. Ternyata ada ikan juga di sini. Aku bisa bermain dengan ikan-ikan juga. Tapi tak lama kemudian, aku merasakan ada getaran hebat dari tengah tepatnya di dasar sungai. Aku yang terkejut segera menghamburkan diri untuk keluar dari sungai. Lalu kulihat dari kejauhan. Dengan menyipitkan mataku yang sudah sipit aku mulai melihat sesuatu. Benar-benar mengerikan. Tampak sebuah iblis air seperti ular raksasa.
“Beraninya kalian mengganggu tidurku. Pasti kalian ingin mengambil daun ajaib itu kan? Hahaha. Sudah kukatakan kau harus mengalahkanku untuk mendapatkan daun itu. Sampai sekarang tidak ada yang bisa mengalahku. Hahaha. Sekarang kalian akan menjadi santapanku!” Lalu dia mulai mendekat
Aku menatap bingung. Daun ajaib? Apa itu? Pasti akan berguna. Tapi untuk apa?
“Tunggu!” cegah Emi. Aku refleks menoleh
“Kami bisa mengalahkanmu itu sangat mudah. Tapi kalau kau kalah maka kau harus menyerahkan daun ajaib itu padaku. Apa kau setuju?” tanya Emi membuatku terbelalak. Aku langsung menyambar lengan Emi. Kami mulai diskusi dan akhirnya akupun mengerti.
Emi mendekati ular itu ”Bagaimana ular menjijikan?” t anya Emi menantang.
“Baiklah, ayo lawan aku. Jika kau bisa. Tapi jika aku yang menang maka aku akan menyantapmu sebagai makanan pagiku. Hahahaha!” jawab sang ular
“Baiklah ayo kita buktikan. Tapi sebelum itu kita harus mengumpulkan kayu untuk memperlancar perlombaan ini!”
Mereka pun mulai mencari kayu bakar. Ular itu dengan ganas mencabut semua kayu yang ada. Sedangkan Emi hanya mengumpulkan ranting kayu untuk dibakar.
“Ri. Ambil korek api dan minyak untuk membakar kayu. Tetapi biarkan dulu kami berlari mengelilingi tumpukan kayu ini!” Aku mengerti tentang petunjuk Emi.
“Ular. Kita akan berlomba untuk mengelilingi tumpukan kayu ini selama 5 kali putaran. Jika kau menang maka aku akan bersedia untuk kau makan,” kata Emi.
Ular itu setuju. Dan aku mulai memimpin pertandingan itu. Untuk putaran pertama selesai. Putaran kedua, ketiga, keempat semua berhasil. Untuk sesaat kupikir Emi akan gagal tetapi ketika putaran kelima. Tubuh ular itu tersangkut di antara ranting-ranting yang dicari oleh Emi. Ular tersebut meronta-ronta tetapi tidak bisa keluar.
“Kau sudah kalah. Sekarang serahkan daun ajaib itu pada kami. Atau akan kami bakar dirimu,” ancam Emi.
“Baiklah. Kau menang tapi setelah aku menyerahkan daun itu maka kau akan melepaskanku!” kata ular. “Tentu saja ti…,” ucapanku terpotong oleh Emi.
“Baiklah. Akan kubebaskan dirimu,” kata Emi.
Aku melongo terbelalak mendengar ucapan Emi.
Lalu ular itu memberitahu tentang di mana daun itu berada. Dan dalam sekejap daun itu berada di tangan Emi.
“Sekarang lepaskan aku,” jawab sang ular.
“Dan membiarkanmu memakan kami? Huh, tentu saja tidak. Maria! Mari kita bakar saja dia. Agar dia tidak menyusahkan penduduk kampung lagi,” seru Emi
Aku mengangguk. Emi memang pintar. Bahkan aku pun tertipu olehnya. Aku menyiram ular itu dengan minyak dan mulai menyalakan korek api, dengan sekejap api mulai menyala sedikit demi sedikit. Dan akhirnya…
“Tidaaaak!” Teriakan ular itu menggema di seluruh penjuru hutan.
Kami segera berlari menjauh dari sungai. Kami berlari jauh dan menemukan sebuah rumah. Tapi terlihat berbeda dengan rumah yang lain. Kami mendekat dan tampak orang tua yang membuat kami ketakutan dan berlari. Tapi…
“Tunggu, Nak. Kalian tidak perlu takut padaku. Aku tidak akan apa-apakan kalian!”
Tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara auman yang sangat besar. Pikiranku mensugestikan itu adalah raksasa.
“Bahaya di sini. Mari kita masuk. Kita bicara di dalam saja!” ajak sang kakek.
Lalu kami bergegas masuk dan dituntun oleh kakek itu.
Saat masuk ke dalam pagar rasanya ada aura kedamaian merasuki tubuhku. Aku tersenyum dan aku sedikit melirik Emi juga tersenyum. Aneh. Sebenarnya apa ini?
“Silahkan duduk. Aku akan buatkan teh untuk kalian!” ucap sang kakek seraya meninggakan kami di ruang tamu yang sangat bersih.
Kulihat sekeliling. Terdapat foto-foto tertempel rapi di dinding yang putih bersih. Meja tamu tersusun rapi dan tanpa debu secuil pun. Aku mulai beranjak dan melihat-lihat dari dekat. Mungkin ini adalah keluarga kakek ini. Dan aku menemukan sebuah nama Dani Daniel. Mungkin ini adalah nama sang kakek. Aku terkejut melihat kakek datang dan langsung kembali duduk bersama Emi.
“Ini ada teh untuk kalian. Silahkan minum ya!” katanyaseraya menyerahkan teh kepada kami. ”Aku tahu pasti kalian sangat lelah,” ucapnya lagi.
Kami akhirnya mulai berbincang-bincang dan mengetahui kalau gerhana matahari akan berlangsung dua hari lagi Aku dan Emi menganga. Bagaimana bisa berlalu sangat cepat? Padahal rasanya baru kemarin kita berpetualang. Kami bingung.
“Tapi, Kek. Kami baru kemarin pergi ke sini. Dan itu masih beberapa bulan lagi, Kek. Tapi mengapa berubah sangat cepat?”
“Memang benar. Tapi gerhana matahari tidak tetap tanggal munculnya. Tergantung horoskop dan keadaan langit. Itu akan sangat cepat berubah,” jelasnya.
Lalu kami menjelaskan perihal Rusli kepada kakek Dani. Sampai akhirnya beliau membantu kami.Keesokan harinya kami sangat bersemangat dan siap untuk menuju ketempat buto ijo itu. Dengan berkat dan restu dari kakek Dani. Selama hampir setengah hari, kami akhirnya sampai di tempat itu. Aku melihatnya dari kejauhan. Aku melihat Rusli yang diikat tali dan ditempatkan di depan pintu tepatnya di halaman gubuk itu. Dalam hatiku sangat sedih dan juga geram melihat keadaan Rusli. Kami mulai menyusun strategi untuk menyerang.
“Hey kau buto ijo, keluarlah. Lawan kami jika kau berani,” ucapku berani
Tak berapa lama munculah buto ijo itu. Dengan tubuh serba hijau, mata yang merah padam. Dengan tubuh sebesar raksasa. Sempat muncul di benakku rasa takut dan ngeri. Tetapi aku berpikir tentang Rusli membuatku marah. Tetapi dia hanya muncul dengan tertawa meremehkan. Dengan sigap kami menyerangnya dengan pedang dan panah. Satu persatu panah meluncur ke tubuh raksasa mengerikan itu. Tapi anehnya dia tidak terluka sedikit pun. Dan tertawa keras. Lalu dia mulai menyerang kami dengan pepohonan dan kayu yang ada. Aku dengan gesit menghindar. Tetapi Emi? Dia terkena sebuah ranting tajam yang menghunus tepat didadanya. Aku segera mendekati Emi yang terluka parah.
“Dasar kau raksasa jahat. Aku tidak akan memaafkanmu!” Aku mengajak Emi ke tempat yang aman. Aku memeluknya.
“Ri. Kamu harus berjuang sampai titik darah penghabisan. Aku selalu berdoa untukmu!” suara Emi berhenti. Tangisku pecah dan menghambur memeluk Emi.
Aku mulai mencari sasaran untuk menyerang raksasa itu. Ketika kau mencoba menyerangnya, Rusli mengahampiriku dengan wajah gembira sekaligus takut. Kami akhirnya berbincang dan melupakan semuanya. Membuat sang raksasa leluasa menyerangku. Tanpa kusadari anak panah meluncur ke arahku yang langsung dihadang oleh Rusli.
“Rusli….” teriakku. Rusli terjatuh tersungkur ke tanah dengan bersimbah darah. Dengan cepat aku memindahkan Rusli dengan membopongnya ketempat Emi.
“Aku sangat bahagia bertemu kalian lagi, Ri. Jaga dirimu baik baik. Kalahkan raksasa itu. Demi semua orang. Aku pergi!” ucap Rusli mengakhiri semuanya.
Aku menangis. Semua orang yang kusayangi telah meninggalkanku. “Semua ini gara-gara raksasa itu. Sekarang rasakan ini.” Amarahku semakin memuncak. Kuambil daun ajaib itu dan kutancapkan ke anak panahku yang tajam. Aku mulai mencari tempat yang tepat untuk menyerang. Dengan berlari mengitari raksasa itu. Dia nampak bingung mencariku. Rasakan. Aku mulai membidik dan tepat sasaran Aku mengenai dadanya. Buto ijo itu mulai menggerang kesakitan dan akhirnya jatuh tersungkur. Akhirnya mati. Tapi, badanku terkena panah yang dalam. Dada kiriku disobek oleh panah itu. Aku tidak hanya menyaksikan raksasa itu mati tetapi juga diriku sendiri.
“Akhirnya perjuanganku tidak sia-sia. Adikku akan selamat. Matilah kau iblis!”
Gelap.
***
Aku terbangun oleh usapan tangan ibu yang hangat. Dada kiriku masih terasa nyeri.
“Kamu sudah bangun, Sayang. Ayo bersiap, ini adalah hari tiga bulanan adikmu. Apa kau lupa? Cepat berhias. Rusli dan Emi sudah lama menunggumu di bawah. Kasihan sekali mereka,” ucap ibu.
Aku menganga tak percaya. Lalu, apa itu mimpi?
Aku mulai berdiri dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu di belakangku. Lalu aku menegok ke belakang. Dan… [T]