Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dijabarkan dalam tiga program payung, seperti GLS (Gerakan Literasi Sekolah), GLM (Gerakan Literasi Masyarakat), dan GLK (Gerakan Literasi Keluarga) sedemikian masif karena kejutan-kejutan eksternal negara. Pemerintah ingin “nyeduh mi instan” untuk menaikkan peringkat tes PISA. Tapi literasi sama sekali tidak bisa dicapai dengan cepat.
Rupanya pemerintah amat “jengah” lalu menggebrak dengan GLS. Lewat GLS dan ikon gerakan ini membaca 15 menit, praktik literasi mewarnai kegiatan sekolah. Siswa mendapat pengalaman baru: baca buku bersama, di halaman upacara sekolah.
Beberapa sekolah melakukan praktik baik GLS dengan sangat hebat. Berbagai pojok baca dibangun. Festival literasi selalu disambut baik. Berbagai lomba literasi (seperti menulis cerita) diikuti. Ini terjadi di sekolah yang memiliki kepala dan guru yang literat. Sudah pada ghalibnya, masih jauh lebih banyak sekolah “tidur”. Di sekolah-sekolah ini, guru dan kepala sekolah berdalih, “tidak ada buku”, waktu sangat terbatas”, “jadwal padat”. Mereka tidak suka dengan GLS.
Demikianlah ceritanya GLS. Tapi bagimana kabar literasi mahasiswa? Esai ini mengulas perkara literasi mahasiswa.
Literasi mahasiswa setali tiga uang dengan literasi siswa sekolah menengah pada umumnya. Mahasiswa tidak membaca. Hal ini tampak dari wawasan mereka terhadap pengetahuan umum. Padahal cara belajar di universitas sangat membutuhkan kemampuan literasi mahasiswa. Sayang memang, khazanah pengetahuan manusia yang tidak terbatas ini, yang mestinya sudah dibaca secara bertahan, ketika mereka di SD, di SMP, dan di SMA/SMK; tidak pernah tersentuh.
Selama 12 tahun siswa tidak membaca buku secara mandiri, sebagaimana filosofi GLS. Sekolah gagal menamatkan lulusan yang literat. Para alumni sekolah Dasar-menengah hanya tahu sedikit pengetahuan dari buku pelajaran dan ceramah guru yang juga mengulangi lagi materi-materi dalam buku ajar.
Dengan menggunakan indikator kepemilikan pengetahuan atau wawasan yang luas, mahasiswa kok sedemikian rendah karena mereka tidak cukup memadai memiliki pengetahuan dan wawasan. Dampaknya adalah pada kegagapan berpikir logis dan kritis, misalnya ketika membangun analogi atau melakukan perbandingan. Dampak lainnya terlihat pada kegagapan beropini. Mereka tidak mampu beropini. Pikiran mereka buntu ketika berhadapan pada satu kasus.
Keterampilan literasi yang tinggi sangat dibutuhkan oleh mahasiswa milineal saat ini. Berbagai kompetisi Program Kreativitas Mahasiswa tidak dapat sambutan yang bagus. Jumlah mahasiswa yang tertarik ikut selalu sangat terbatas jika dibandingkan dengan luas Indonesia. Mereka tidak tahu apa yang harus dirancang. Mereka tidak sanggup menelorkan gagasan kreatif.
Tulisan-tulisan mahasiswa juga sangat rendah mutunya. Mereka tidak terampil berbahasa secara tertulis. Hal ini salah satu indikator kaum intelek. Menulis memang identik dengan literasi, di samping membaca. Keadaan yang demikian paranghnya tentu dapat saja dimafhumi bahwa sejak SD-SMA keterampilan literasi mereka tidak dikembangkan.
Konsep literasi itu sungguh sangat sederhana nampun penting dan praktis. Literasi selalu berhubungan dengan pengetahuan. Pengetahuan pada konteks literasi dibatasi pada buku-buku tempat para penulis, pemikir, ahli teknik, politikus, sastrawan, dll. Menyimpan pengetahuan yang mereka miliki. Karena itu, membaca adalah jalan satu-satunya dalam literasi.
Tidak semua orang mampu memaparkan ulang ilmu pengetahuan yang tidak terbatas itu dan juga karena ancaman meninggal dunia, maka buku digunakan mengabadikan. Huruf dan ejaan dicimptakan di berbagai kebudayaan sebagai aplikasi literasi organik. Maka jalan masuk ke alam semesta tiada berbatas dari pengetahuan itu, adalah literasi atau membaca!
Lewat membaca manusia mendapat pengetahaun yang banyak. Pengetahuan ini digunakan untuk hidup. Cara lain manusia mendapat pengetahuan adalah lewat sekolah. Ini disebut belajar. Sejalan dengan ini, manusia ketika baca buku pun disebut belajar. Karena itu, literasi dengan pokok kegiatan membacanya itu, adalah praktik nyata belajar sepanjang hayat. Belajar ini tanpa guru, bukan dalam sistem lembaga, dan kurikulum disesuaikan dengan yang belajar.
Literasi mahasiswa kurang mendapat perhatian. Seolah-olah mereka sudah mencapai intelektual yang literat. Dalam rangka ini, mungkin kampus sedang mengalami kemunduran. Dimensi literasi intelektual tidak tersentuh. Mahasiswa terjerumus ke dalam dunia materi yang praktis di bawah ideologi kewirausahaan.
Apapun ideologi yang dikembangkan di kampus, harus ditopang oleh fonadi literasi. Ideologi kewirausahaan adalah hilirisasi berdimensi ekonomi yang kuat dari alur ilmu pengetahuan yang masih ada dalam jaringan filosofinya: ontologi, epestemologi, dan aksiologi.
Pengembangan ilmu ke hilir yakni ke arah aksiologi, menjawab pertanyaan “Untuk apa ilmu pengetahuan?’ membutuhkan keterampilan literasi. Lantas ideologi kewirausahaan di kampus pun kandas karena mahasiswa tidak memiliki wawasan pengetahaun dalam suatu bidang tertentu.
Budaya literasi pada mahasiswa mendorong merek selalu membaca untuk mendapatkan pengetahuan dan setelah dipertemukan dengan ideologi wirausaha, mahasiswa berpikir untuk menggring ontologi suatu objek kajian ke arah hilir kehidupan yakni pada aksiologi. Di sini teori atau teorema diubah jadi prototipe produk yang akan diuji untuk dapat digunakan oleh umat manusia.
Di sinilah arti penting literasi kampus dalam rangka mendukung praktik-praktik baik ideologi kewirausahaan.[T]